Randai Saedar Siti ke Rumah Nan Tumpah -->
close
Pojok Seni
06 April 2019, 4/06/2019 05:27:00 AM WIB
Terbaru 2019-04-05T22:27:34Z
Seniteater

Randai Saedar Siti ke Rumah Nan Tumpah

Advertisement


pojokseni.com - Melanjutkan beberapa program tahun ini yang sudah berjalan, Komunitas Seni Nan Tumpah akan menyelenggarakan program selanjutnya, yaitu Ke Rumah Nan Tumpah (KRNT). Pada penyelenggaraan yang pertama di tahun ini, KRNT akan diisi dengan pertunjukan randai berjudul Saedar Siti oleh Kelompok Randai Saedar Siti.

Kegiatan ini akan diselenggarakan pada 6 April 2019, pukul 20.00 WIB, dan bertempat di Nan Tumpah Arena, sekretariat Komunitas Seni Nan Tumpah, Perumahan Bumi Kasai Permai, Jalan Kalimantan Dalam Blok AA Nomor 31, Korong Kasai, Nagari Kasang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Kelompok Randai Saedar Siti adalah kelompok randai yang setia memainkan pertunjukan randai dengan judul yang sama yang berasal dari Jorong Balubuih, Nagari Sungai Talang, Kecamatan Guguak, Kabupaten Limopuluah Koto, Sumatera Barat, dan sudah ada sejak tahun 1880-an dan sampai saat ini masih aktif memainkan cerita tersebut secara turun-temurun. Para pemain randai dari kelompok randai yang ada saat ini adalah generasi kelima dari generasi pertama pada tahun 1880-an tersebut.

Pertunjukan randai Saedar Siti yang akan dibawakan ke program KRNT adalah pertunjukan Saedar Siti dengan durasi yang sudah diubah-suai dari durasi aslinya berlangsung bisa sepanjang 3 (tiga) malam. Pertunjukan yang dipersiapkan kali ini diarahkan oleh Rijal Tanmenan, seorang pegiat musik etnik, ketua Menata Arts, dan sekaligus inisiator I.M.A.M.

Rijal Tanmenan mengatakan, “Selain terhadap durasi pertunjukan, beberapa lain yang juga disesuaikan dan dikembangkan adalah dari kumpulan gerak silek Balubuih yang menjadi dasar pijakan tata gerak (koreografi), pendalaman tata laku ketokohan, pengolahan aspek musik (sajian ragam dendang khas Luhak Limopuluah yang muncul pada gurindam, serta penataan musik perkusi etnis ensemble talempong pacik), dan hal-hal teknis. Penyesuaian ini dilakukan dengan harapan agar pertunjukan Saedar Siti bisa mendapatkan publik penonton yang lebih luas, baik dari daerah pertunjukan dilangsungkan maupun usia penontonnya.”

Dalam proses latihan dan eksplorasi pengembangan, pertunjukan Saedar Siti kali ini juga dibantu beberapa pihak, di antaranya: Mak Ipan dan Mak Buyuang untuk dasar silek Balubuih, pendalaman seni peran oleh kawan-kawan Komunitas Seni Nan Tumpah, tata latar suara oleh Georgie Chrisandy, perekaman suara oleh Karta Kusumah, dan Mushardi “Boy Bolang”selaku tuo randai.

Tiga tahun belakang, Saedar Siti sudah dipentaskan di pelbagai tempat dan agenda, di antaranya: Pameran Seni Rupa TAMBO “Sandi 2” melalui Video dokumentasi yang diproduksi oleh Tanmenan Merekam; Lomba Randai dalam acara memperingati Hari Pahlawan di RRI Bukitinggi yang meraih juara Harapan I; pergelaran apresiasi seni Taman Budaya Sumatera Barat di Kota Padang; pementasan Konser Tunggal “Saedar Siti” di Taman Budaya Sumatera Barat di Kota Padang; Pekan Budaya Kabupaten Lima Puluh Kota, di Tanjung Pati; AIREF (Andalas International Relation Fair) di Selasar Istano Basa Pagaruyuang, Tanah Datar, Batusangkar; Pasa Harau Festival di Harau; Sambilan Pucuak Arts Festival di Nagari Sungai Talang, Limopuluah Koto; Payokumbuah Literary Festival di Padang Tongah, Payakumbuh; dan Pentas Silaturahim SAEDAR SITI di Padang Tinggi, Payakumbuh.

Ke Rumah Nan Tumpah adalah program empat bulanan Komunitas Seni Nan Tumpah yang digagas pada tahun 2017, dan telah terselenggara sebanyak 6 kali. Mahatma Muhammad, direktur Komunitas Seni Nan Tumpah, yang juga sebagai penggagas Ke Rumah Nan Tumpah, mengatakan, “Komunitas Seni Nan Tumpah sudah mulai bersekretariat dan menetap di Korong Kasai sejak pertengahan tahun 2016, namun sampai dengan akhir tahun 2016 belum ada program Komunitas Seni Nan Tumpah yang secara khusus dipersembahkan untuk masyarakat sekitar Korong Kasai, karena penyusunan program Komunitas Seni Nan Tumpah berlangsung di awal tahun. Sebab itu, pada tahun 2017, kami menggagas program ini.” Lebih lanjut, Mahatma menerangkan bahwa bentuk kegiatan di KRNT berupa pertunjukan seni tradisi, lokakarya, pemutaran film, dan literasi yang diprioritaskan untuk anak-anak dan remaja.

Tahun ini, Ke Rumah Nan Tumpah akan diselenggarakan sebanyak 3 (tiga) kali. Selain pertunjukan randai dari Kelompok Randai Saedar Siti, pada 6 April nanti, Ke Rumah Nan Tumpah juga akan diselenggarakan pada 3-8 Agustus 2019 dengan bentuk kegiatan berupa lokakarya menggambar dan pemutaran film untuk anak oleh Gang Arang dan Street Photo Festival (SPF) serta pameran fotografi jalanan dan seni pertunjukan selama sepekan oleh Street Photo Festival (SPF); dan pada 1 Desember 2019 dengan menghadirkan produksi tunggal KSNT dalam bentuk Drama Musikal Anak Korong Kasai, sutradara Emilia Dwi Cahya.

Manager Produksi KSNT, Desi Fitriana,  mengatakan, “KRNT  adalah satu dari empat program Komunitas Seni Nan Tumpah sepanjang tahun 2019. Selain KRNT ada program rutin tahunan Nan Tumpah Masuk Sekolah (NTMS) yang sudah berlangsung sejak tahun 2011, program Nan Tumpah Akhir Pekan (NTAP) yang diselenggarakan setiap akhir pekan dan sudah berlangsung sejak awal tahun 2019, serta program dua tahunan festival seni Pekan Nan Tumpah (PNT) yang sudah terselenggara sejak tahun 2011 dan tahun ini memasuki penyelanggaran kelima.

Lebih lanjut, Desi Fitriana menerangkan, hadirnya Saedar Siti pada program Ke Rumah Nan Tumpah pada 6 April 2019 nanti adalah atas kerjasama yang terjalin antara Komunitas Seni Nan Tumpah, Menata Arts, I.M.A.M, dan Saedar Siti.

Sinopsis Pertunjukan Saedar Siti


Saedar Siti yang semula bermaksud hendak pergi balimau, namun ditengah perjalanan bertemu seorang pria bermenung diri. Adalah PamimbangDunie, seorang raja yang rendah hati dari negeri Kuok Bangkinang yang sedang murung mengenang nasib hidup. Karena keterharuan puteri seorang hartawan terpandang dari Payakumbuh itu, sehingga pemuda tersebut diajak ke rumah ayahnya. Tetapi Amirullah, sang ayah menolak. Adalah suatu hal tak wajar bagi seorang anak perempuan Minangkabau membawa laki-laki tak dikenal. Tak ada mahfum yang dapat jadi pegangan. Maka konflik muncul dan meradang. Namun seiring waktu berjalan, semua mereda dan ayah mulai dapat menerimanya.

Kedekatan dua rangmudo itu berlanjut hingga ke pelaminan. Dengan restu ayah, kedua pasangan berbahagia itu setelah pernikahan berangkat dengan niat hendak memohon restu pada DatukMarikamJali, yaitu ayah sang suami. Tapi malang tak dapat ditolak, ditengah perjalanan mereka berdua mendapat musibah. Dihadang empat orang bengis komplotan penyamun tanpa ampun.

Dipimpin oleh Inyiak Baransang Alam, beranggotakan; Ampanglimo Hitam, Ampanglimo Biru, dan Ampanglimo Cakap. Pertarungan hebat tak dapat terelakkan. Akhirnya komplotan penyamun berhasil melumpuhkan suami Saedar Siti, dicampakkan ke jurang. Harta benda habis dirampas. Dalam hutan belantara di Gunung Kelok Tigo, Saedar Siti tinggal seorang diri.

Nasib Saedar Siti hari demi hari semakin menyedihkan dan memilukan. Hingga pada suatu ketika ia ditemukan oleh seorang panglima bergelar Dubalang Ampanglimo Garang, saat memimpin rombongan raja yang sedang berburu. Seorang raja yang tempramental bernama Sutan Limbak Tuah dari negeri Rantau nan Salapan. Kini nyawa Saedar Siti terancam. Dipaksa menikah dengan sang raja.

Seorang pria menghampiri tua peladang di sebuah kebun saat sayup ia mendengar suara alunan irama musik talempong pacik dari kejauhan. Tua peladang bernama Patikawa, memberi kabar bahwa sedang diadakan pesta pernikahan sang raja dengan seorang puteri yang dijumpainya saat berburu. Geram mendengar berita dari tua peladang itu, pria tersebut pergi mendatangi perhelatan itu.
Ternyata didapati yang bersanding dengan sang raja tempramental Sutan Limbak Tuah tersebut adalah istrinya sendiri.

Saedar Siti seketika tercengang dan terkejut. Melihat suaminya masih hidup dari petaka pertarungan hebat dengan penyamun yang berempat. Pamimbang Dunie pulih dan kembali menjemput Saedar Siti. Tapi Sutan Limbak Tuah tidak peduli. Kemelut pun tidak dapat dihindari. Kedua raja saling murka dan berkelahi. Maka hukuman yang adil dari Datuk Juaro Balaimenjadi suatu pelerai pada kedua raja yang bertikai.

Ibarat pepatah Minangkabau;
"Pulangkan pinang ke tampuknya, Kembalikan sirih kegagangnya."

Bahwa setiap kemelut suatu hal yang dihadapi meminta jalan pulang pada "pangkal"-nya, dialurkan menurut "sandi"-nya.(rp/pojokseni)


*Naskah seni randai Saedar Siti disadur-susun oleh Rijal Tanmenan, 2017.

Ads