Cerpen: Bola Phobia -->
close
Pojok Seni
09 April 2019, 4/09/2019 01:34:00 AM WIB
Terbaru 2019-04-08T18:34:15Z
Sastra

Cerpen: Bola Phobia

Advertisement

Adhyra Irianto

Akhir-akhir ini, bermain sepak bola menjadi begitu mewabah di kampungku. Sayangnya, aku lebih memilih untuk menghabiskan masa kecilku dengan bermain gitar dan membaca buku sastra. Seringkali, aku begitu iri melihat anak-anak yang dengan ajaib bisa melantun-lantunkan bola di kaki, lebih dari sepuluh menit. Anak-anak perempuan di desa lebih mengiris hati, mereka dengan ikhlas membuang tenaga sia-sia, untuk berteriak histeris di pinggir lapangan. Mendukung anak-anak lelaki desa  yang berputar-putar di tengah lapangan, berebutan bola, dalam liga sepak bola antar desa. Tapi itu dulu, sewaktu aku belum terjangkit sindrom bolaphobia.

Ibuku pernah berkata, lebih baik aku bermain gitar atau membaca buku sastra saja. Tidak usah ikut-ikutan bermain bola. “Paling parah, kamu cuma luka sedikit di ujung jari, tidak akan sampai patah kaki,” kata Ibu.

Suatu sore, aku menyusuri jalan sempit menuju kerumah. Aku baru saja pulang dari tempat kursus bermain gitar, dengan membawa gitar dalam soft case-nya, berbentuk seperti tas dan kugendong dibelakang punggung. Sebelum sampai rumah, aku harus melewati sepetak tanah kosong, yang biasanya ramai dengan anak laki-laki sedesa bermain bola.

Begitu juga sore itu. Puluhan anak, separuhnya ku kenal dan separuhnya lagi tidak pernah ku kenali, sedang asyik berebutan bola. Aku sengaja terus menatap kedepan, sampai akhirnya bola dari tendangan keras seorang anak meluncur deras kearah kepalaku.

“Bruk.”

Dan aku terjatuh. Sialnya, mereka malah tertawa bahagia. Aku jadi trauma dengan bola!

**

Ketidak-sukaan terhadap sepak bola semakin menjadi-jadi. Kemarin siang, anak-anak di desaku diserang oleh anak-anak desa sebelah. Penyebabnya, anak desa sebelah tidak terima kekalahan mereka dalam final pertandingan sepak bola. Mereka menuding anak-anak desaku bermain curang dan (tuduhan paling spektakuler) anak anak di desaku diduga telah menyuap wasit pertandingan. Gila, mana ada mereka uang yang cukup banyak untuk sogok menyogok itu!

Tapi berkat perseteruan itu, bukan main akibatnya. Keadaan kampungku menjadi begitu horor. Anak-anak tidak ada yang berani keluar dari desa. Tentu saja, karena aku merasa tidak ada hubungan dengan peristiwa ini, dengan santai aku melangkah gontai menuju tempat kursus gitar. Satu yang perlu kalian ingat, aku ini adalah seorang musisi. Bukan atlet sepak bola!

Tapi, anak-anak di desa sebelah tidak bisa menerima apapun status, profesi, hobi dan alasanku. Bagi mereka, aku adalah anak kampung sebelah, dan termasuk musuh mereka. Ketika aku melewati desa mereka, sepulang dari kursus gitar, mereka kemudian menyerangku, membabi buta.

“Dia anak Desa Teladan I, serang dia!” teriak seorang anak, dengan semangat tentara Yunani kuno. Begitu Spartan!

“Tunggu-tunggu! Aku bukan pecinta bola ataupun pemain bola, kenapa kalian menyerangku?”

Mereka mungkin tuli, jadi tidak  mendengar alasanku. Mereka telah salah sasaran dan dengan seenaknya saja menyerangku. Puluhan tinju, terjangan dan lemparan batu bersarang ke tubuhku. Bahkan, seorang anak bertubuh tinggi besar, dengan sembrono menerjang gitar kesayanganku. Tubuhku limbung, penuh luka, pandanganku nanar dan gitar kesayanganku rusak parah. Aku berusaha sekuat tenaga –yang tersisa- untuk kabur dari tempat itu, lalu masuk ke tempat yang sangat aman, desaku.

Sesampai di rumah, Ibuku yang membukakan pintu. Kalau kalian menjadi Ibuku, mungkin kalian juga akan melakukan hal yang sama. Menangis sambil memelukku. Betapa tidak, anak kesayangannya, yang tadi keluar rumah dengan sehat sentosa, pulang dengan pakaian lusuh, kancing lepas dua, gitar rusak parah, memar di wajah dan lebam dimana-mana.

Hati Ibuku hancur, seperti tulang belulangku. Remuk redam! Sekali lagi aku katakan, aku benci sepak bola. Trauma!

Ayahku, yang baru pulang sore harinya begitu murka melihat keadaanku. Ia datang sendiri ke desa sebelah dan mendatangi rumah anak-anak berandalan, pelaku kejahatan pasal  itu. Belum puas sampai disitu, hari itu juga Ayahku melaporkan penganiayaan itu ke kantor polisi.

Baguslah, mudah-mudahan mereka jera!

**

Suatu siang yang terik, ketika aku tidak ada jadwal les gitar. Aku duduk di ruang keluarga, sambil berguling santai membaca buku. Meskipun masih terlalu kecil (kelas 5 Sekolah Dasar) tapi untuk bacaan, aku tidak suka membaca karya yang didedikasikan untuk anak-anak. Bahkan, siang ini aku hampir saja khatam membaca novel karya Jhon Grisham setebal 554 halaman. Selain musik, aku begitu tertarik dengan sastra. Malahan aku pernah bermimpi, menjadi seorang penulis besar sekaligus musisi handal dan jenius, semacam Bethoven, mungkin.

Aku masih terlarut dalam mimpiku, sebelum suara keras disertai bunyi pecahan kaca berserakan di lantai keramik. Mimpiku pecah berantakan, seiring pecahnya kaca depan rumahku. Aku langsung bergegas ke ruang tamu, dan darahku langsung mendidih. Sebuah bola kaki menggelinding seenaknya di ruang tamu, sedangkan kaca depan rumahku pecah, berhamburan dan berserakan.

Untuk anak kecil seusiaku, satu hal yang bisa kulakukan adalah, berteriak memanggil Ayahku!
Seperti yang kutebak, Ayahku marah besar. Darahnya lebih mendidih daripada darahku tadi, sampai ia mengambil pisau dan kemudian menikam bola itu berkali-kali. Tentu saja, anak-anak nakal yang datang ke rumahku, untuk mengambil bola sambil mencoba meminta maaf, hanya bisa pasrah.

Seseorang diantara mereka menangis sendu, kutebak dialah pemilik bola itu.

Tapi dampak dari kejadian itu benar-benar mengerikan. Ayah yang mengidap darah tinggi dan sedikit gangguan di jantungnya, langsung roboh, sesaat setelah ia dengan bengis menusuk-nusuk bola itu. Aku panik dan berteriak ke sana ke mari. Lebih tepatnya, hanya itu yang bisa aku lakukan.

Tak lama kemudian, mobil ambulance menguing-nguing ke rumahku. Ayahku, segera dilarikan ke rumah sakit. Sebagai anak yang berbakti, tentu saja aku berada dalam mobil ambulance itu, merasa khawatir dengan keadaan Ayah.

Untungnya, setelah semalam menginap di rumah sakit, Ayah diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah pulih dan ia sudah bisa tertawa dan menggendongku lagi. Tapi, rasa sakit hatiku pada si kulit bundar sudah tak bisa tertahan lagi. aku benar-benar membenci sepak bola, atlet sepak bola dan bolanya sekaligus!

**

Beberapa tahun, aku lewati tanpa bermain bola. Setiap ada pelajaran olahraga, aku memilih untuk bermain catur. Olahraga yang paling kecil kemungkinan untuk membuat pemainnya cedera. Setidaknya, itu adalah satu-satunya olahraga yang aku sukai. Sampai aku beranjak remaja ini, aku masih sangat membenci bola. Benci sebenci-bencinya.

Tapi tidak dengan adik perempuanku. Oh, aku lupa untuk menceritakan tentang adik perempuanku, karena terlalu asyik bercerita sepak bola. Dia bernama Ratih, usianya hanya terpaut dua tahun dariku.

Satu hal yang dia lakukan, tanpa sepengetahuanku adalah, ia pacaran! Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan anak kelas I SMA berpacaran, mengingat zaman edan macam sekarang, anak SD juga berpacaran!

Tapi, satu hal yang tidak bisa aku terima, dengan akal sehatku. Bagaimana bisa, adikku berpacaran dengan seorang atlet sepak bola SMA! Apa dia tidak ingat, sepak bola sempat hampir merenggut nyawa ayah dan kakaknya, sekaligus!

Aku pernah mendatangi rumah pacar adik perempuanku itu. Kemudian, ketika bertemu dengannya, yang baru hendak keluar rumah, aku langsung memukul kepalanya. Ia sebenarnya hendak membalas, tapi setelah melihat yang memukulnya adalah ‘calon kakak ipar’, ia membatalkan rencana pembalasan itu.

“Kenapa Bang Juki memukulku? Apa salahku?” katanya membela diri.

“Aku peringatkan kau! Jangan pernah lagi dekati Ratih! Atau kau akan menyesal seumur hidup!” aku menggertaknya, persis pemimpin mafia.

Dia hanya tertunduk, kemudian berlalu pergi meninggalkanku. Tanpa kusadari, tindakan sembrono, bermotif dendam masa lalu, itu akhirnya terdengar ke telinga adikku. Ia menangis sejadi-jadinya dan hingga seminggu, dan selama satu minggu ia tidak mau menegurku. Bahkan, melihat wajahku saja dia tidak mau.

“Hei, Ratih! Kau boleh pacaran dengan siapa saja, asal jangan dengan pemain bola!” kataku suatu hari, ketika melewati pintu kamarnya. Ia baru saja keluar kamar hendak mandi. Namun, karena melihatku di depan pintu kamar yang sekaligus membentaknya, ia langsung masuk lagi dalam kamar. Tidak lupa, ia menutup pintu dengan sekuat tenaga.

Lalu, sayup-sayup kudengar suara tangisannya di dalam kamar. Begitu sendu dan menyayat hati. Sebenarnya, aku tidak tega melihatnya menangis, tapi apa boleh buat.

Ayah dan ibu juga tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, mereka sedih dengan nasib malang yang menimpa adikku, tapi di sisi lain, mereka juga sepakat dengan pendapatku. Anti bola, pemain bola, dan permainan sepak bola. Sekaligus!

**

Hampir dua tahun kemudian, aku pulang kerumah karena libur kuliah. Aku kuliah di luar kota, dan tinggal di kos-kosan, dan (tentu saja) jarang pulang. Hubungan antara aku dan adikku sudah cukup membaik, meskipun tidak sedekat dulu, sebelum dia berpacaran dengan si pemain bola. Tanpa sepengetahuanku, hubungan mereka malah tambah mesra. Mungkin, bagi adikku, pemain bola itu adalah sosok lelaki terbaik kedua, setelah ayah. Hebat sekali, karena sebagai kakak kandung, aku hanya menempati posisi ketiga di hatinya.

Suatu malam, aku berencana menonton televisi, karena ada konser dari salah satu band favoritku. Disiarkan langsung di televisi, malam itu. Kecintaanku pada dunia musik, semakin menggila, ditambah lagi, aku kuliah musik. Tapi, niat untuk menonton konser itu mendadak batal, setelah melihat Ratih sudah berada di depan televisi (dan menguasainya).

Aku tercekat melihat apa yang ditontonnya, sebuah pertandingan sepak bola antara tim nasional Indonesia U-21 melawan Malaysia. Aku benci bola –kalian tahu itu-, tapi aku tidak ingin terus merusak kesenangan adikku. Aku memilih putar badan, kembali ke kamar, mungkin membaca beberapa buku dan novel. Apa lagi, kisah Sherlock Holmes ciptaan sang maestro kisah misteri, Sir Arthur Conan Doyle baru saja aku beli kemarin sore. Dan, belum sempat terbaca. Kurasa ini waktu yang tepat untuk membacanya.

Tapi langkahku terhenti, ketika salah satu lagu terbaik di jagad raya ini mengaum gagah dari televisi. Lagu Indonesia Raya, karya ajaib dari tangan WR Supratman itu menderu, menembus telingaku. Aku membalikkan badan, melihat para punggawa tim nasional muda Indonesia meletakkan tangan kanannya di dada, tepat di lambang Garuda. Kemudian, mereka bernyanyi sepenuh hati –beberapa di antaranya memejamkan mata- diringi paduan suara dari ribuan orang di stadion itu.

Lagu itu berkumandang, dan terbang ke angkasa, merobek langit dan bagai petir, ia menyambar langsung ke ulu hatiku. Baru kali ini, aku begitu bergetar. Bulu kudukku berdiri. Aku merinding. Kakiku tambah bergetar hebat, ketika lagu itu sudah sampai di chorus dan berulang-ulang.

“Indonesia Raya, merdeka, merdeka, tanahku negeriku yang kucinta.”

Aku langsung terngiang kisah peperangan tentara dan rakyat negeri ini mengusir penjajah, lalu mayat mereka berserakan, demi sebuah kata ‘Merdeka!’. Mataku sampai berkaca-kaca, dan aku mendekati adikku, duduk di sebelahnya, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menonton sepak bola!

Ratih tersenyum melihatku mulai meneteskan air mata. Ia langsung paham, pengalaman ini baru sekali aku rasakan. Menyaksikan ribuan orang  bernyanyi Indonesia bersama, begitu mengagumkan. Lalu, setelah lagu selesai berkumandang, penonton memberi tepuk tangan meriah. Membagi semangat yang mereka punya, pada sebelas orang yang berada di lapangan hijau itu.

Mereka tidak sekedar bermain bola -seperti anak-anak di kampungku-. Tapi lebih dari itu, mereka membela nama negara, berjuang habis-habisan, meneteskan ribuan peluh untuk negaranya dan membiarkan puluhan rasa sakit mendera tubuhnya. Salah satu jalan yang modern dan elegan untuk bela negara.

Lalu, aku terhanyut dalam emosi. Merasa begitu sumringah ketika pemain berbaju merah, celana putih dengan lambang burung garuda didadanya, berada di jantung pertahanan lawan dan membuat peluang. Juga merasa begitu khawatir ketika pemain lawan yang berganti menguasai bola dan mengancam pertahanan tim merah putih.

Melihat aku sudah ikut terhanyut dalam pertandingan bola, Ratih akhirnya berani buka suara.
“Bang, coba lihat pemain belakang dengan nomor punggung lima itu,” katanya tiba-tiba.

Seperti dihipnotis, aku langsung mengikuti kata-katanya. Mataku jalang mencari pemain belakang dengan nomor punggung lima. Akhirnya, terlihat seorang pemain, mati-matian mengejar, menekel, membuang bola demi pertahanan tim Indonesia. Badannya tinggi besar, (postur yang sangat baik untuk pemain belakang) dan tubuhnya tegap. Kulihat dengan teliti wajahnya, sepertinya aku mengenalinya!

“Itu Ardi, pacarku, yang Bang Juki pernah pukuli, beberapa tahun lalu,”

Aku kaget. Sempat ada penyesalan dalam hatiku. Kemudian, dengan berat aku berkata pada Ratih.

“Katakan padanya, aku minta maaf, sedalam-dalamnya.”

Ratih tersenyum, kemudian memelukku. Setelah itu, kami menikmati pertandingan itu sampai selesai. Kami begitu bahagia, karena pertandingan itu berakhir dengan kemenangan timnas Indonesia.

**

Suatu hari, sebuah kotak kiriman sampai ke rumahku. Di kotak itu tertulis nama adikku, dan namaku. Nama pengirimnya, “Ardiyanto Nugraha”. Aku berteriak memanggil adikku, yang kemudian terburu-buru menuju ruang tamu. Sepertinya, dia tahu bahwa ada kiriman yang akan datang hari ini. Dari wajahnya yang sumringah, aku paham bahwa dia sudah menunggu kiriman ini sejak lama.

Langsung saja kami berdua membuka kotak itu. Ada dua helai baju, kaus timnas yang resmi, tentu sangat mahal harganya. Kaus itu bernomor punggung lima dengan nama “Ardi” di atas nomornya, berukuran kecil, sepertinya untuk adikku. Dan satu lagi berukuran besar, sepertinya untukku. Berbeda dengan adikku, kostumku bernomor 20, dengan nama Pamungkas di atas nomornya. Di dalam kotak itu juga ada dua lembar surat. Seperti kaus timnas, surat itu juga tertuju padaku dan adikku.

Aku langsung membaca surat yang ditujukan padaku. Pendek saja isinya, membuatku terharu campur bahagia.

“Buat Bang Juki, aku sudah memaafkan Abang, sejak beberapa tahun yang lalu. Semoga abang berkenan menerima aku, untuk menjadi adik abang disuatu hari. Aku janji, Bang, akan membahagiakan Ratih seumur hidupku. Dan jangan lupa, doakan aku dan Timnas, agar bisa terus memperoleh kemenangan. Tertanda, Ardianto.”

Ah, bisa saja pemain sepak bola ini mengambil hatiku, dengan tujuan mengambil hati adikku. Surat yang ditujukan untuk adikku jauh lebih panjang. Ratih tidak mau memperlihatkan surat itu padaku. Dengan wajah bersemu, ia berlari menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras.

Meskipun demikian, aku sempat melirik sedikit isi suratnya. Hanya sampai satu kalimat yang terbaca, sebelum akhirnya Ratih sadar dan membawa lari surat itu. satu kalimat yang terbaca olehku membuatku tersenyum.

“…..Doakan aku dan timnas, serta biarkan aku tetap menjadi lelaki terbaik ketiga di hidupmu…”

Sepertinya, kalian dan aku akan sependapat tentang arti kalimat itu, kan?

Bengkulu, 2019

Ads