Fakta "Mengerikan" Di Balik Naskah Drama "Orang-Orang Setia" Karya Iswadi Pratama -->
close
Adhyra Irianto
04 March 2019, 3/04/2019 11:26:00 PM WIB
Terbaru 2019-03-04T16:26:32Z
ArtikelResensi

Fakta "Mengerikan" Di Balik Naskah Drama "Orang-Orang Setia" Karya Iswadi Pratama

Advertisement
Pentas Orang-Orang Setia oleh Teater Satu Lampung

Oleh: Adhy Pratama Irianto

Saya teringat pernyataan dua orang yang saya kagumi sekaligus hormati, bang AYE (Ahmad Yulden Erwin), seorang sastrawan asal Lampung dan bang Ari Pahala Hutabarat, seniman dan sutradara Kober Lampung. Keduanya pernah menyatakan hal yang sama, yakni tentang "situasi batas" atau "chiffer-chiffer". Kedua hal itu terkait tentang kedalaman tema dari satu karya sastra, yang menandakan karya tersebut berkualitas.

Tentang pembicaraan terkait tema dan situasi batas, saat itu bang Aye menyampaikannya dalam acara peluncuran tiga buku puisinya. Dikatakan bang Aye, situasi batas atau chiffer-chiffer ini menjadikan puisi tersebut dikatakan baik secara komposisi puitik. Situasi batas ini juga yang menjadikan suatu puisi, dapat menyentuh getaran jiwa terdalam dari orang lain.

Sedangkan di lain kesempatan, bang Ari Pahala Hutabarat juga bercerita tentang situasi batas. Berbagai garis situasi batas seperti penderitaan, kesepian, kesedihan, kehilangan, kegembiraan dan batas terakhirnya adalah kematian. Beberapa orang harus merasakan dulu "situasi batas" itu sebelum menyampaikannya dalam karya, selanjutnya dari karya tersebut dapat menyentuh situasi batas orang lain.

Itulah kenapa, ada banyak orang yang harus gila, depresi, menggelandang, terkurung dalam kesepian tiada akhir, sampai akhirnya baru "mengimplementasikan" (alih-alih menceritakan) hal-hal tersebut dalam karyanya. Semakin dalam orang lain tersentuh jiwanya, maka karya itu akan abadi di dalam relung jiwa semua orang, maka karya tersebut juga akan terus abadi.

Romeo mencintai Juliet, tapi terpisah karena orang tua mereka saling bertentangan dan berselisih. Kemudian pada akhirnya, cinta mereka menjelma menjadi racun dan pisau yang memisahkan jasad, namun menyatukan raga mereka. Perjuangan cinta, meski berakhir tragis, menjadikan masterpiece dari William Shakespeare ini mampu mencapai situasi batas yang dimaksud. Kepedihan itu, kesendirian itu, kematian itu, malah menjadikan karya Romeo dan Juliet menjadi karya abadi sepanjang masa.

Karya Virginia Wolf, ditulis ketika ia sedang depresi, juga muncul sebagai karya yang menyentuh sanubari pembacanya. Di Indonesia, karya-karya monumental yang juga berhasil menyentuh jiwa seperti "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" (Buya Hamka), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Salah Asuhan (Abdul Muis), Jalan Tak Ada ujung (Mochtar Lubis), sampai beberapa novel era 2000-an seperti Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan) mencuat ke permukaan, bukan hanya karena permainan diksi, atau alur cerita, tapi "situasi batas" yang berhasil dicapainya.

Situasi Batas dalam Orang-Orang Setia

Orang-Orang Setia oleh Teater Senyawa Curup

Beberapa waktu lalu, terhitung sejak November 2018, saya dan Teater Senyawa memulai garapan pementasan Orang-Orang Setia karya Iswadi Pratama. Dua orang yang ngobrol ngalor ngidul, ada banyak topik yang diangkat dari obrolan mereka. Sekilas, drama ini hadir sebagai sebuah cerita realis tentang kehidupan dua orang yang miskin. Satu memiliki wawasan lebih, karena suka membaca. Sedangkan satu lagi tak suka membaca, namun gemar mendengarkan. Sama saja, suka membaca dan suka mendengarkan.

Namun, setelah hampir satu bulan menganalisa naskah tersebut, saya harus terkejut. Di balik kalimat-kalimat yang mengundang tawa, saya justru mesti menerima kenyataan bahwa ada fakta yang lebih mengerikan di dalam naskah ini.

Bayangkan bila situasi batas yang dimaksud adalah menangis karena kepedihan hidup, kesendirian, kesepian, kemiskinan, tidak dianggap ada, menipu diri sendiri hanya untuk berbahagia yang semu, mencoba bersetia dengan kata hati meski perih, dan berakhir dengan rumah yang digusur. Begitu menyayat hati, bukan?

Sekarang, bayangkan apabila Anda "bertemu" dengan situasi batas tersebut: kepedihan hidup, kesendirian, kesepian, kemiskinan, tidak dianggap ada, menipu diri sendiri hanya untuk berbahagia yang semu, mencoba bersetia dengan kata hati meski perih, dan berakhir dengan rumah yang digusur tapi Anda tidak menangis, justru tertawa gembira.

Tertawa dengan suka hati, dengan suka ria. Kalaupun ada air mata, itu adalah airmata kebahagiaan. Mana yang lebih pedih antara menangis karena kepedihan yang menimpa diri, atau tertawa karena kepedihan yang menimpa diri? Iya, Anda tidak salah baca, tertawa bahagia atas penderitaan dan kepedihan yang menimpa diri Anda. Apakah itu mengerikan?

Situasi batas adalah batas terakhir ketika manusia sudah tidak mampu lagi untuk menerimanya. Tapi, apabila ia justru tertawa, bukankah itu berarti ia telah melampauinya?

Di balik fakta yang mengerikan di balik naskah drama Orang-Orang Setia, tentunya saya mesti mengatakan bahwa naskah ini adalah naskah yang menarik. Oleh karena itu, setelah proses selama November 2018 hingga Februari 2019, naskah ini dipentaskan di Curup, 24 Februari 2019 lalu. (Baca: Mengulas Pementasan Teater Senyawa dalam "Orang-Orang Setia")

Drama ini juga akan kembali dipentaskan di Kepahiang, pada tanggal 31 Maret 2019 mendatang. Tertarik untuk "menertawakan orang yang tertawa atas kepedihannya sendiri" ini? Yuk, datang ke pementasan Teater Senyawa di Kepahiang. 

Ads