Teater Indonesia Era 1900-1945 -->
close
Pojok Seni
22 December 2018, 12/22/2018 01:20:00 AM WIB
Terbaru 2018-12-23T05:18:28Z
Artikelteater

Teater Indonesia Era 1900-1945

Advertisement

pojokseni.com - Tahun 1900-an Indonesia memasuki era modern, dalam arti Indonesia memasuki zaman baru, dari masyarakat tradisional yang  berdasarkan hubungan desa-kraton menjadi masyarakat desa-kota. Lembaga kraton dan seperangkat masyarakat pendukung budayanya telah berangsur lenyap, digantikan oleh lembaga pemerintahan birokrasi-modern Belanda dengan masyarakat pendukung budayanya pula. Elit budaya kraton digantikan dengan elit budaya modern yang terpusat pada kota-kota pemerintahan pusat kota atau daerah. 

Di sinilah berkumpul kaum terdidik modern, baik Belanda, Indo-Eropa, peranakan Arab, India, maupun pribumi dari berbagai suku. Dalam hal ini perlu ditekankan perbedaan pengertian antara “teater modern Indonesia” dengan “teater Indonesia modern”. Terjadinya perubahan social mengakibatkan terjadinya perubahan keburuhan masyarakat atas seni dan keindahan.

Baca juga: Ingin Mendalami Seni Teater? Ini Rekomendasi 5 Sekolah Seni Terbaik Untuk Jurusan Teater

Masyarakat modern membutuhkan seni teater yang berbeda dengan masyarakat tradisional yang berpusat di kraton-kraton. Tentu saja, pada awal perubahan masyarakat ini, masih terjadi kemungkinan adanya kebutuhan teater tradisional kraton-rakyat di lingkungan masyarakat kota-modern yang bersegmen budaya yang bersangkutan. Bahkan sampai tahun 1950-an, penduduk kota masih gemar menanggap wayang kulit atau wayang gole di lingkungan masyarakat Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Sistem nilai estetika suatu lapisan masyarakat dengan sendirinya akan menuntut jenis teater yang memenuhi harapan system nilainya tersebut. Setiap system budaya akan melahirkan jenis teater teaternya sendiri. Pembicaraan tentang teater baru Indonesia sesudah kemerdekaan tidak dapat diperlakukan secara linier, tetapi zigzag dalam saling interaksinya.

1. Masyarakat Kota dan Teaternya

Masyarakat kota di Indonesia terdiri dari berbagai lapisan dan golongan. Dalam zaman kolonial ini, terdapat tiga golongan masyarakat yang membentuk jenis teater mereka sendiri dengan public teaternya masing-masing dengan estetika yang sesuai dengan system nilai budayanya, yakni kaum terpelajar yang amatur, teater rakyat kota yang propesional, dan teater peranakan Tionghoa yang juga amatur.

2. Teater Rakyat Kota

Teater rakyat kota yang awal adalah teater bangsawan. Disebut demikian karena asal jenis teater ini dari masyarakat rumpun melayu di Malaysia, Sumatra, dan Singapura, kemudian menyebar di pulau Jawa. Teater bangsawan berasal dari nama grup Pushi Indera Bangsawan of Penang yang dibentuk oleh Mamak Pushi pada tahun 1885. Bentuk pentasnya telah mengambil unsur budaya barat, yaitu penggung proscenium dengan layar latar yang dilukis menggambarkan tempat adegan. Sebagian besar lakon yang dipentaskan berupa cerita-cerita dari hikayat melayu dan cerita-cerita popular tertulis dari khasanah sastra zamannya, serta beberapa cerita Arab, Hindu serta Cina. Lakon dimainkan dalam pembagian babak dan adegan amat longgar, karena tiadanya naskah lakon tertulis.
Saudagar keturuan Turki, Jaafar, yang mengambil alih bentuk teater bangsawan ini dan mengembangkannya menjadi teater stambul. Teater stambul segera mencapai kesatuan dengan publiknya dalam rombongan teater propesional Komedie Stamboel pimpinan August Mahie seorang Indo Prancis. Penyandang dananya adalah keturuan tionghoa, Yap Goan Hay dan pimpinan artistic diserahkan kepada Cassim, mantan pimpinan rombongan teater bangsawan. 

Struktur pertunjukan teater istambul tidaklah berbeda jauh dengan teater bangsawan. Pertunjukan dibagi dengan babak dan adegan yang sangat longgar, dalam arti alur cerita dimainkan sengat lamban akibat banyaknya selingan antar babak atau adegan nyanyian dan lawan yang tidak berstruktur apabila menarik perhatian publik. Inilah sebabnya sebuah lakon dapat dimainkan sampai tamat dalam dua atau tiga malam.
Teater rakyat kota adalah teater eskapisme, melarikan diri dari kehidupan nyata yang keras di kota-kota yang sedang tumbuh. Estetika teater ini menggambungkan idiom teater barat dengan teater tradisional. Teater barat diwujudkan dalam panggung proseneum, berlatar layar adegan atau babak dibuka dan ditutup dengan layar, alur lakon berdasarkan karya-karya sastra tertulis. Sedangkan ciri tradisionalnya Nampak dalam gado-gado suasana sedih dan gembira dari satu lakon. Setiap lakon selalu ada adegan-adegan lawaknya berdasarkan karakter baku yang telah dikenal oleh publiknya. Ciri tradisional ini juga nampa dari kreativitas baru stambul, yakni memperkenalkan seluruh pemain yang memegang karakter tertentu sebelum pertunjukan dimulai. 

Seperti halnya teater bangsawan yang tidak mendasarkan pementasan pada naskah lakon tertulis, maka tentang propesonalisme dalam improvisasi pemeranan di atas panggung amat dituntut. Keadanya tidak jauh berbeda dengan pentas semacam srimulat masa sekarang. Dengan demikian public teater rakyat kota semacam itu sebenarnya di Indonesia telah berusia tua, yakni sejak awal abad 20 ini.

1925 Tio Tiek Djen atau terkenal sebagai T.D. Tio Jr, seorang lulusan sekolah dagang Batavia, dengan mendirikan rombongan teater propesional, Orion. Pembaruan yang dilakukan oleh Orion adalah, struktur lakon dan pertunjukan diperketat dengan pembagian babak dengan adegan yang terinci, adegan perkenalan diri pemain dihilangkan, selingan dihilangkan, satu lakon diselesaikan dalam satu malam pertunjukan, dan repertoar lakon berupa cerita-cerita asli rombongan itu yang bersifat “Realisme” dan menjauhkan diri dari sifat khayali lakon-lakon bangsawan dan stambul. 
Semangat pembeharuan yang cenderung pada selera intelaktual ini, ternyata tidak mendapatkan tanggapan dari selera public stambul masa sebelumnya.

Pentas-pentas Orion mulai ditinggalkan penontonnya, karena persoalan di panggung merupakan penekanan persoalan nyata dalam kehidupan sebenarnya lingkungan mereka. Teater rakyat kota adalah teater eskapisme bukan teater realisme. 

Pada tahun 1926 muncullah saingan dari rombongan The Malay Opera Dardanella dibawah pimpinan Willy Klimanoff yang terkenal dengan nam A. Piedro. Rombongan Darnella dengan cepat juga terkenal di kalangan publiknya karena memiliki bintang-bintang panggung yang lebih banyak, seperti Tan Tjeng Bok, yang dikenal dengan julukan Douglas Fairbank from Java lantaran kepiawaianya dalam bermain pedang seperti layaknya bintang Hollywood termasyur itu. 

Meskipun arah selera intelektual mulai Nampak, namun ciri-ciri eskapisme dalam Dardanella tetap dipertahankan, sehingga penulis resensi Tzu You mengatakan bahwa lakon-lakon Dardanella lebih romantic dari pada realis, juga Nampak kemauan didaktinya dalam memandang persoalan-persoalan masyarakat. 

3. Teater Peranakan Tionghoa

Tionghoa mengambangkan kebudayaannya sendiri dengan teaternya. Berkembangnya teater tionghoa ini bersamaan dengan teater stambul, sehingga dalam beberapa idionya meniru stambul, misalnya dengan memperkenalkan diri para pemain, adegan menyanyi untuk mengutarakan suasana hati, iringan music.

Ada dua jenis teater tionghoa yang muncul sekitar tahun 1910, yakni teater amatur yang lebih dikenal sebagai opera derma atau tjoe tee hie dan teater propesional. Teater amatur ini mirip dengan teater kaum terpelajar kota. Teater professional disebut tjie im. Teater professional tionghoa pertama adalah soei Ban Lian yang dipimpin oleh Sim Tek Bie. 

Sumbangan terpenting dari kegiatan teater opera derma ini adalah sejumlah besar sastra lakonnya yang rata-rata ditulis oleh kaum terpelajar Tionghoa. 

4. Teater Kaum Terpelajar

Lakon-lakon kaum terpelajar banyak ditulis oelah kaum pujangga baru pada tahun 1930-an dengan tema utama nasionalisme melalui symbol-simbol kesejarahan. Kerelaan berkorban demi tanah air adalah tema yang amat digemari. Sedang pementasannya sendiri kurang tercatat. Teater kaum terpelajar, seperti teater amatur tionghoa, hanya dipentaskan dalam peristiwa-peristiwa organisasi atau lembaga sebagai penyandang dan. Dengan sendirinya estetika teaternya juga kurang terbina secara berkesinambungan.

Hanya patut dicatat, bahwa jasa teater kaum terpelajar adalah dipakainya bahasa Indonesia sebagai bahasa teater.


5. Teater Zaman Jepang

Kegiatan teater pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) dapat dibagi menjadi tiga, yakni teater professional, teater amatur dan teater propaganda Jepang. Kegiatan teater professional melanjutkan keberadaan teater rakyat kota dari masa dardanella. Rombongan-rombongan teater ini adalah Bintang Surabaya pimpinan Fred Young, Astaman, Dahlia dan Tan Tjie Bok. Dalam rombongan lain adalah Dewi Mada yang dipimpin pelah Ferry Kok.

Grup amatur yang terkenal adalah Sandiwara Penggemar Maya yang dipimpin oleh Usmar Ismail, D. Djajakusuma, Rosihan Anwar dan Abu Hanifah. Grop-grop teater amatur semacam inilah yang setelah kemerdekaan berkembang terus dan membentuk tradisi teater modern di Indonesia sampai sekarang. 

Kegiatan teater ketiga adalah teater propaganda jepang untuk kepentingan perang jepang. Kegiatan teater propaganda ini diorganisir oleh badan propaganda Jepang. Naskah-naskah teater propaganda terlebih dahulu diperiksa oleh Jepang sebelum dipentaskan. 

Begitulah, pada zaman pendudukan jepang telah terjadi perubahan mendasar dalam perteateran Indonesia, yakni semakin pentingnya kedudukan naskah lakon dalam teater, semakin berperannya kaum terpelajar dalam kegiatan teater, dan semakin berkembangannyagrop-grop teater amatur di lingkungan para siswa, mahasiswa, dan kaum profesi terpelajar. Teater zaman Jepang ikut menentukan terbentuknya tradisi teater modern Indonesia yang berlangsung di lingkungan kaum terpelajar intelektual. (isi/pojokseni)

Sumber : Teater Indonesia (Konsep, Sejarah, dan Problema)

Ads