Neron Gratis Bersama di Danau Dendam Tak Sudah, dan Sejarah Unik di Balik Kata Neron -->
close
Pojok Seni
08 December 2018, 12/08/2018 04:00:00 AM WIB
Terbaru 2018-12-08T00:05:38Z
ArtikelBudaya

Neron Gratis Bersama di Danau Dendam Tak Sudah, dan Sejarah Unik di Balik Kata Neron

Advertisement

pojokseni.com - Kata "neron"  kerap terdengar di masyarakat Lembak Kota (warga Suku Lembak yang tinggal di Kota Bengkulu), khususnya wilayah Dusun Besar, Jembatan Kecil dan Pasar Panorama. Namun kata "neron" ini tidak begitu familiar beberapa kelurahan lain yang basis masyarakat Lembak lainnya di Kota Bengkulu, seperti Pagardewa sampai Betungan serta wilayah Lembak 8 sekitarnya. Dalam perjalanannya, kata "neron" lebih dikenal dengan istilah ngopi atau ngeteh. Ada sejarah unik dari kata "neron" yang juga menjelaskan kenapa kata ini hanya dikenal di tiga desa tersebut, namun tidak dikenal di luar wilayahnya, meski sama-sama mayoritas diisi masyarakat Lembak.

Sejarah Neron 



Dari seorang seniman muda Lembak yang tinggal di Kota Bengkulu, Dedi "Sucenk" Suryadi, PojokSeni mendapatkan cerita tentang asalmula kata neron. Neron berasal dari nama sesorang yang juga bernama Neron. Si Neron ini, konon menurut orang Lembak di wilayah Kota Bengkulu, adalah orang yang pertama kali yang membuat "gule abang" atau gula merah. Beliau tinggal di wilayah Tanyung Gelam, sekarang merupakan wilayah Kelurahan Dusun Besar, Bengkulu. Sehari-hari, Neron bekerja sebagai pembuat Gula merah. Setiap hari, ia memisahkan air nira hasil sadapan untuk gula merah dan diminum bersama tamu datang.

Kemudian, masyarakat setempat mulai mengenal istilah untuk pergi minum bersama ke "rumah Neron" dengan kata yang lebih pendek, "ke Neron". Kemudian, istilah "neron" mulai digunakan untuk menggantikan istilah "minum bersama". Pada saat ini, tentu saja tradisi minum bersama tersebut bukan hanya sekedar minum air nira, atau air gula merah saja, tapi sudah merujuk ke minum kopi atau teh bersama.

Dari cerita para tetua, si Neron tersebut hidup pasca era Aji Tue. Aji Tue adalah nama yang diberikan pada seorang warga Lembak yang pertama kali melakukan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah. Sedikit tentang Aji Tue, dari beberapa cerita, banyak yang percaya bahwa Aji Tue itu pergi ke Mekkah menggunakan batang pisang sebagai perahu melewati laut dan samudera dari Indonesia. Tidak hanya itu, keramat Puyang Aji Tue saat ini menjadi keramat induk dari wilayah Danau Dendam Tak Sudah.

Versi lainnya, pada era kolonial Inggris di Bengkulu, Inggris menerapkan tanam paksa kopi di seluruh wilayah Kota Bengkulu. Warga asli Bengkulu, termasuk suku Lembak, juga diikutkan dalam tanam paksa tersebut. Warga yang menanam kopi, tidak diperbolehkan mengambil biji kopi yang mereka tanam sendiri, melainkan harus disetorkan ke Inggris. Apabila ada yang ketahuan mengambil kopi hasil yang mereka tanam sendiri tersebut, akan ditangkap dan disiksa.


Hal itu mengakibatkan kemarahan warga, termasuk masyarakat Lembak, terhadap penjajah Inggris. Akibatnya, amukan warga, termasuk dari tiga dusun besar yang dihuni masyarakat Lembak (Dusun Besar, Sukarami dan Tabalagan) bersatu padu menyerang Benteng Marlborough, pusat pemerintahan dan pertahanan Inggris di Bengkulu. Penyerangan di tahun 1807 tersebut terjadi di malam hari. Selain menyerang benteng, warga juga menyerang Mount Felix, yang merupakan rumah dinas Residen Inggris di Bengkulu saat itu, Thomas Parr, serta asistennya Charles Murray.

Warga Lembak memegang teguh hukum adat yang berlaku bagi mereka, salah satunya "Banyak lan banyak uli" yang berarti siapa yang melakukan kesalahan, dia yang mendapat hukuman. Itulah kenapa depati dari 3 dusun tersebut menyelamatkan dan tidak membunuh istri Thomas Parr, Frances Roworth dan disembunyikan di bawah tempat tidur agar tidak melihat kejadian ketika suaminya terbunuh. Charles Murray juga sebenarnya tidak menjadi sasaran malam itu, ia hanya terluka berat karena mencoba melindungi atasannya. Lalu, beberapa hari kemudian ia juga meninggal karena luka yang dialaminya begitu parah.

Nah, kata "neron" muncul sebagai jargon perjuangan rakyat melawan ketidakadilan atas keputusan dan kesewenang-wenangan Thomas Parr saat itu. Penyebabnya, karena tidak diperbolehkan memetik biji kopi, maka warga hanya diperbolehkan untuk memetik daun kopi, sehingga kebiasaan "neron" warga berubah dari minum kopi, menjadi minum air daun kopi yang diseduh. Untuk memperjuangkan itulah, mereka menggunakan kata "neron" sebagai manifestasi perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan itu.

Selanjutnya, neron terus berkembang dan menyajikan banyak eksperimen baru. Ada istilah neron seketap, yakni minum teh sambil menggigit gula aren sebagai pemanis dan tambahan santan. Namun, kata "neron" sekarang lebih merujuk ke minum kopi bersama. Karena berdasarkan cerita versi kedua, istilah neron digunakan sebagai jargon perjuangan untuk memperjuangkan hak rakyat atas kopi yang mereka tanam sendiri. Oleh karena itu, kopi menjadi simbol kemenangan, juga simbol lepas dari penjajahan Inggris. Ditambah lagi, kopi menjadi salah satu andalan dan memiliki peran besar terhadap Provinsi Bengkulu, dibuktikan dengan adanya gambar kopi di samping padi yang ada di logo Provinsi Bengkulu.

Neron Gratis Sambil Menikmati Pemandangan Danau Dendam Tak Sudah


Dedi "Sucenk" Suryadi juga merupakan salah seorang yang mempopulerkan istilah neron di Bengkulu. Ia bahkan menggelar kegiatan "Neron Gratis Bersama" di tepi Danau Dendam Tak Sudah, Kota Bengkulu. Lewat acara neron bersama tersebut, ia mengajak orang-orang yang berkumpul di danau dan menikmati pemandangan danau sambil menikmati kopi gratis, lalu bersama-sama membersihkan danau dari sampah dan hal yang mengganggu keindahan danau lainnya.

Lewat kegiatan itu, Sucenk dan rekan-rekannya yang tergabung dalam Komunitas Tobo Berendo, ikut menjaga keindahan alam Danau Dendam Tak Sudah, yang selanjutnya bisa memberi dampak positif pada warga sekitar dan Kota Bengkulu. Acara neron gratis bersama tersebut sudah berhasil menarik banyak pengunjung ke Danau Dendam Tak Sudah, serta menjaga kebersihan dan keindahan alam salah satu objek wisata di Kota Bengkulu tersebut. Apalagi, selama ini daerah tersebut jarang mendapat perhatian, sekarang sudah menjadi titik kumpul yang ramai.

Pengunjung yang datang untuk kumpul minum kopi atau teh bersama, bisa membuat sendiri kopi dan teh yang sudah disediakan di markas Tobo Berendo, Danau Dendam Tak Sudah. Tidak sekedar ngopi, tapi gelasnya juga unik, terbuat dari batok kelapa yang diproses sedemikian rupa sehingga unik dan artistik. Terhitung hingga hari Minggu (9/12/2018) mendatang, berarti kegiatan ini sudah 12 kali berturut-turut digelar setiap minggunya. Tidak hanya bergerak sendiri, tapi Tobo Berendo, seperti diungkapkan Sucenk, juga pernah didatangi tim kesehatan yang menyediakan cek kesehatan gratis, serta beberapa komunitas atau grup lainnya juga pernah terlibat dalam kegiatan neron bersama di tepi danau ini.

"Khusus edisi minggu ini, Tobo Berendo akan bersinergi dengan mahasiswa IAIN Bengkulu Studi IPA. Jadinya, mereka juga ikut membantu kami melestarikan budaya neron, keindahan alam Danau Dendam Tak Sudah, serta mempererat silaturahmi. Bila tidak ada aral rintangan, minggu ini mereka akan menyediakan juada (panganan ringan khas Bengkulu) untuk dibagikan secara gratis bagi yang berkunjung ke acara neron bersama ini. Jadi, bagi siapa saja yang ingin berkunjung, silahkan datang untuk menikmati pemandangan sambil ngopi bersama plus ada juada gratis minggu ini," jelas Sucenk. (ai/pojokseni) 

Ads