Menganalisa Puisi Jaenudin Nachiro Namamu karya Fadli Zon yang Sarat Provokasi -->
close
Pojok Seni
11 December 2018, 12/11/2018 12:32:00 PM WIB
Terbaru 2018-12-11T05:32:23Z
Analisis PuisiBeritaSastra

Menganalisa Puisi Jaenudin Nachiro Namamu karya Fadli Zon yang Sarat Provokasi

Advertisement

pojokseni.com - Fadli Zon, wakil Ketua DPR RI, juga anak dari sastrawan besar Indonesia, Taufik Ismail, kembali menjadi bahan perbincangan setelah ia menuliskan puisi berjudul Jaenudin Nachiro Namamu, yang dipostingnya di akun Twitter beberapa hari lalu. Sontak saja, kontroversi kembali hadir, dan hampir semua warganet tahu ke mana puisi tersebut ditujukan.

Ini puisi berjudul "Jaenudin Nachiro Namamu" karya Fadli Zon yang kontroversial itu:

Jaenudin Nachiro Namamu

Jaenudin Nachiro namamu
Otak pas-pasan setengah dungu
Matamu menyala merah
Moncong putih berliur ludah

Jaenudin Nachiro namamu
Meniti realita padahal semu
Narasi pandir kosong tak berisi
Membuat malu seantero negeri

Nachiro sulap jadi pembalap
Naik chopper gaya alap-alap
Nachiro bermahkota ala raja
Bicara gagap tak punya data

Nachiro tunjukkan kuasa
Bikin sempurna mau ketawa
Nachiro kerja minus prestasi
Mengigau di tengah mimpi

Nachiro oh Nachiro
Potret zaman sontoloyo

Fadli Zon, Citeureup, Bogor, 5 Des 2018

Analisis puisi Jaenudin Nachiro


Sebelumnya, siapa itu Jaenudin Nachiro? Hampir seluruh warganet tahu bahwa kalimat tersebut sebenarnya adalah " Zainuddin yahtirom"  yang merupakan bagian atau sepenggal dari lirik lagu Diin Assalam yang dipopulerkan di Indonesia oleh grup musik Sabyan. Presiden Joko Widodo mengucapkannya dengan "Jaenudin Nachiro" sehingga memancing gelombang "bullying" dari pihak oposisi. Dari kejadian ini, diketahui bahwa tujuan "Jaenudin Nachiro" ini dipastikan adalah Presiden Jokowi.

Kalimat berikutnya jelas bernada hinaan, "otak pas-pasan setengah dungu". Sedangkan dua baris selanjutnya mengarah ke partai pendukung Presiden Jokowi, PDI Perjuangan. Sebab, kalimat yang digunakan yakni "Matamu menyala merah" dan "Moncong putih berliur ludah" jelas ditujukan ke lambang partai tersebut.

Beralih ke bait selanjutnya, tentunya Fadli Zon ingin melanjutkan bahwa sebenarnya si "Jaenudin Nachiro" adalah orang yang mengedepankan pencitraan, padahal tidak punya prestasi. Sedangkan bait berikutnya, "Nachiro sulap jadi pembalap" mengingatkan kita bahwa Presiden Jokowi saat pembukaan Asean Games lalu melakukan "sulap" menjadi seorang pembalap.

Bait berikutnya juga bernada penghinaan dan kebencian. Intinya adalah penulis ingin mengatakan semua yang dikatakan si "Jaenudin Nachiro" sebagai prestasi hanyalah mimpi. Ditutup dengan bait terakhir yang menggunakan kalimat "potret zaman sontoloyo" tentunya mengarah lagi pada kalimat Presiden Jokowi yang mengungkapkan politikus yang pandai mengkritik padahal tidak tahu apa-apa sebagai "politikus sontoloyo".

Kesimpulan


Dari puisi yang penuh muatan kebencian, penghinaan serta provokasi ini, menyadarkan kita semua. Bahwa oleh politikus, setelah agama dijadikan kosmetikasi politik, sekarang giliran puisi yang dijadikan media untuk saling menjatuhkan. Tentunya, semakin tersadar bahwa politik memang kejam, semua akan digunakan demi mencapai tujuan baik pribadi, maupun golongan.

PojokSeni menyayangkan puisi dijadikan alat politik, namun hanya bertujuan untuk memprovokasi. Bila dinilai dari kadar estetika, tentu saja puisi Fadli Zon ini tidak ada apa-apanya, baik muatan, maupun diksi. Namun, dampak dari puisi ini luar biasa. Menghina presiden, atau rakyat jelata tentu saja sama-sama menghina. Menggunakan puisi sebagai alat untuk menghina (bukan mengkritik), tentunya juga malah menghina sastra dan puisi itu sendiri.

Akhir kata, Fadli Zon bukannya menghina Presiden Jokowi saja dengan apa yang dilakukannya, atau puisi yang diciptakannya. Lebih dari itu, beliau juga menghina puisi. (ai/pojokseni)

Ads