Carito di Bukik Tui : Kepahitgetiran Penambang Kapur -->
close
Pojok Seni
17 April 2017, 4/17/2017 03:53:00 PM WIB
Terbaru 2017-04-17T15:53:22Z
BeritaMateri TeaterProfilResensi

Carito di Bukik Tui : Kepahitgetiran Penambang Kapur

Advertisement


“Jika kami harus pergi, tuntunlah kemana kami harus pergi. Karena kapur ini telah menjadi penyambung hidup kami!” sepenggal teks dari lakon Carito di Bukik Tui karya Tya Setiwati.

pojokseni.com - Carito Di Bukik Tui, sebuah kisah menyayat hati dari selatan kota Padangpanjang, tepatnya di lereng Bukit Tui antara Rao-rao hingga Tanah Hitam. Kisah tentang masyarakat penambang kapur yang seakan membunuh diri mereka sendiri secara perlahan demi kelangsungan hidup keluarganya. Maut selalu menghantui pekerjaan mereka yang terbilang sangat berbahaya. Tak hanya mengesampingkan ketakutan akan Galodo (longsor), mereka juga menahangan tiap-tiap partikel kapur yang memaksa masuk ke dalam paru-paru dan menganggu pernapasan mereka.


Telah bertahun-tahun masyarakat di lereng Bukit Tui bergantung hidup dari kapur. Seakan kapur telah menjelma menjadi tulang punggung mereka. Namun, hal-hal faktual itu seakan tak pernah muncul dalam bahasan rapat-rapat pemerintahan.  Aroma-aroma bantuan pemerintah tak tercium sampai ke lereng Bukit Tui. Dan ketika aktivitas penambangan kapur mulai dinilai sebagai perusak ekosistem dan mencemari udara segar. Para penguasa memutuskan untuk menutup lahan penambangan kapur itu secara sepihak. Dilema seketika seakan menghantam kepala setiap keluarga di sana. Mereka tak tahu lagi harus apa dan bagaimana, karena kapur telah mendarah daging bagi mereka. Begitu juga para penguasa, mereka tak jua memberikan kejelasan atas nasib masyarakat Bukit Tui. Seandainya lahan tambang kapur ditutup dan mereka harus pergi, lalu kemana lagi langkah kaki mereka akan mengais rezeki. Karena tak adanya kejelasan tentang lahan pekerjaan yang baru sebagai ganti dari lahan tambang kapur.

Kiranya, itulah yang ingin Tya Setiawati sampaikan melalui naskah Carito di Bukik Tui. Sutradara perempuan berdarah sunda ini kiranya sangat memiliki rasa empati yang tinggi dan peka terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam beberapa karya-karyanya beberapa tahun terakhir ini, Tya selalu mencoba menggugah kesadaran penonton secara khusus dan masyarakat secara umum. Naskah yang lahir dari kegelisahan Tya sebagai pengkarya kepada kisah Bukik Tui yang seakan ditutupi kabut tebal. Dengan penelitian yang cukup memakan waktu, Tya mulai mencoba menyusun kontruksi awal teks dramanya. Dengan penambahan peristiwa-peristiwa fiksi sebagai kebutuhan estetikanya. 


Tya Setiawati

Naskah drama Carito Di Bukik Tui ini, awalnya berjudul Dongeng Mande Dari Bukik Tui. Pertama kali naskah ini selesai di tulis, pada tahun 2011. Kemudia Tya memilih teater sebagai media penyampaian kegelisahannya. Tya seakan menerobos tebalnya kabut hitam pada Bukit Tui, kemudian membawanya ke atas panggung. Tidak sebatas itu saja, untuk mengorasikan keprihatinannya atas ketidakpedulian beberpa pihak akan kelangsungan hidup masyarakat di Bukit Tui, naskah yang ia tulis ini, ia pentaskan di beberapa kota besar, yaitu Lampung, Jogjakarta, Semarang, Surakarta, Pekanbaru dan Jakarta.

Tak puas sampai disitu, Tya kembali membawakan kisah Bukik Tui ini kebeberapa tempat lagi seperti di kota Padang dan Padangpanjang. Baru-baru ini (17 Sepember 2016), Carito di Bukik Tui kembali dipentaskan dalam acara Ajang Teater Sumatra (ATS) di Pekan Baru.

Dibantu oleh sang suami yang juga bertindak sebagai Supervisor, kisah Carito di Bukik Tui ini dipentaskan dengan berbagai bentuk, aliran dan gaya. Sehingga kisah-kisah yang dihadirkan Tya dalam teks dramanya dapat dinikmati dan diresapi dari berbagai golongan masyarakat. Seniman atau nonseniman. Tya Setiwati seakan mencoba menggiring para penonton untuk tak hanya larut dalam emosi cerita, namun juga dapat menangkap makna-makna filosofis yang disampaikan secara metafora.

Meski mengusung gagasan konseptual yang berat. Dengan capaian mempertajam rasa empati penonton dari isu-isu lingkungan sekitar. Setiap pertunjukan Carito di Bukik Tui terkesan sangat akrab kepada penonton. Penonton seakan terjun langsung ke lereng Bukit Tui. Kiranya Tya ingin setiap jiwa-jiwa penonton yang menyaksikan pertunjukannya akan tersucikan dengan rasa empati yang besar.

Semangat Tya Setiawati layaknya mendapatkan acungan jempol. Tak banyak lagi seniman di Indonesia yang peka terhadap lingkungannya. Yang mengangkat problematika sosial dan isu lingkungan sebagai tema dari karya-karyanya. Seniman-seniman sekarang lebih mementingkan keindahan bentuk dan rupa pertunjukannya, sementara melupakan problematika realitas yang berada di sekitarnya.  Kiranya seniman-seniman saat ini lebih mementingkan segi estetika dan kepuasan jiwa dalam berkesenian.

Seperti kata WS Rendra dalam sepenggal dari puisi “Sajak Sebatang Lisong”

Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya

Semangat Tya merupakan sebuah Reflesksi kepada kita semua, agar tak terperangkap kepada jeratan pemikiran Seniman-Seniman Salon. (isi/pojokseni.com)

Ads