Beban Estetik dan Jangkauan Publik -->
close
Pojok Seni
19 April 2017, 4/19/2017 10:19:00 AM WIB
Terbaru 2017-04-19T19:02:33Z
ArtikelBeritaMateri Teater

Beban Estetik dan Jangkauan Publik

Advertisement
Publik Seni

oleh Ikhsan Satria Irianto (pojokseni.com)

TAK dapat dielakkan, sebuah peristiwa teater membutuhkan publik sebagai spektator. Seperti apa yang dikatakan Sumardjo dalam buku Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, “Kesenian adalah ekspresi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain.” Sehingga setiap ekspresi jiwa seseorang memerlukan orang lain untuk mengapresiasinya. Meskipun Jerzy Grotovsky, seorang tokoh teater dunia pernah melakukan pembatasan pada jumlah penonton. Namun hanya pada taraf membatasi bukan menihilkan. Karena pada hakikatya, pengkarya, karya dan penonton memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat dan tak dapat dipisahkan untuk melengkapi teciptanya peristiwa teater. Sehingga, pengkarya seharusnya menyediakan ruang-ruang yang berpihak kepada penonton pada setiap garapan pertunjukannya.

Sebagai bahan acuan, mari kembali melihat bentuk teater tradisional di Indonesia. Yang mana teater tradisional Indonesia berangkat dari fenomena-fenomena yang sangat akrab pada masyarakat tanpa ada batasan kelas dan kasta. Tema-tema karya sangat populis dan merakyat, sehingga teater menjadi sarana hiburan yang cukup diminati. Dengan garapan yang akrab dan ide cerita yang ringan namun sarat akan makna, teater-teater tradisional tetap berada di hati rakyat dalam konteks hiburan.

Namun, ini bukan bermaksud memuja kejayaan lama atau mengtradisionalisasikan teater Indonesia hari ini. Karena kesenian khususnya teater memiliki tempat yang sejajar bagi perkembangan bangsa. Jadi, kesenian akan terus berevolusi. WS. Rendra juga sepakat dengan istilah berkembangnya kesenian tradisional di Indonesia. Dalam buku Mempertimbangkan Tradisi Berucap, ia berkata: “Fitrah hidup itu tumbuh dan berkembang. Tradisi yang tidak mampu berkembang berarti menyalahi fitrah hidup.”

Pada perkembangannya, kebudayaan di Indonesia telah mengalami asimilasi, akulturasi, difusi, dan adaptasi. Hal ini juga berpengaruh pada perkembangan teater Indonesia. Bentuk-bentuk teater baru yang bersumber dari wilayah kontinental yang memiliki kompleksitas yang lebih dengan cepat meresap dan menjamur di Indonesia. Terjadilah proses tukar menukar dan  pinjam meminjam. Hal ini merupakan angin segar bagi perteateran di Indonesia. Para seniman teater berlomba-lomba untuk memformulasikan bentuk teater inovatif. Gagasan-gagasan lokal dikemas dalam baluntan konvensi barat, atau sebaliknya. 



Pada kenyataannya hari ini, hari dimana konvensi-konvensi kesenian telah kabur dan bercampur baur. Berpijak pada istilah seni merupakan ekspresi jiwa, seniman-seniman teater mulai tergoda pada eksplorasi gagasan tanpa batas untuk kebutuhan estetika ekspresinya. Sebagian mereka percaya bahwa teater bukanlah sekadar media komunikasi antara seniman dan publik, tetapi lebih luas dan liar lagi. Sehingga, pertunjukan teater pada beberapa dekade ke belakang di Indonesia tak lagi memberikan kisah atau peristiwa. Teater Indonesia hari ini lebih mengutamakan bentuk, teknik, paham, filsafat dan teori-teori. Sehingga pertunjukan teater kian berani mengusung tema yang berat,  amoral, abnormal dan nonkonvensional. Sehingga teater Indonesia hari ini terkesan milik kaum borjuis atau tontonan urban.

Hal ini menyebabkan pengkarya terkesan arogan, tak tersentuh dan tak terpahami. Subyektifitas pengkarya sangat kentara pada setiap karya teaternya. Nihilnya pemahaman tunggal atau tak adanya objektifitas dalam setiap karya teater, merupakan faktor utama teater kian ditinggalkan oleh penonton. Pertunjukan-pertunjukan teater terasa sangat angkuh dan tak terjangkau oleh sebagian orang. Hingga terkesan bahwa teater hari ini telah menolak bahwa setiap kesenian selalu memiliki tempat yang penting pada masyarakat.

Inilah kecenderungan teater Indonesia hari ini, panggung-panggung menyajikan simbol-simbol metafora yang berat ditangkap maknanya hingga membingungkan sebagian penikmatnya. Gagasan-gagasan subjektif  nonkomunikatif memberikan pelaung bagi publik untuk meninggalakan teater. Seniman teater hari ini lebih memikirkan beban estetik pada pertunjukannya, tanpa memikirkan jangkaun publik yang menikmatinya. (pojokseni.com)


Ads