Pantomime, Seni Pertunjukan Universal (Masih) Sepi Penggarap -->
close
Pojok Seni
12 November 2015, 11/12/2015 07:19:00 PM WIB
Terbaru 2015-11-12T12:19:59Z
BeritaSeni

Pantomime, Seni Pertunjukan Universal (Masih) Sepi Penggarap

Advertisement
Pantomime

Oleh : Iman Kurniawan

pojokseni.com - Pantomim, merupakan salah satu kesenian yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Namun, jika kita ibaratkan, pantomime seperti lahan yang sangat luas, tetapi hanya beberapa kapling saja yang tergarap, saking sedikitnya pelaku pantomim (pantomimer) di Indonesia ini. Di Indonesia, hanya ada beberapa orang yang konsisten berada di jalur pantomime. Di antaranya, Jemek Supardi, Septiyan Dwi Cahyo dan beberapa orang lainnya. Seperti, Broto Wijayanto dan Ende Riza (Yogyakarta). 
Hal tersebut jauh berbeda jika dibandingkan dengan jenis-jenis kesenian lainnya, yang memiliki sederet nama terkenal. Sedangkan, pantomime ini merupakan seni pertunjukan yang universal, artinya bisa diterima di mana saja. Seorang pantomimer Indonesia tidak perlu susah-susah mencari penterjemah atau menterjemahkan karyanya ketika sedang pentas di luar negeri. Sebab, seorang pantomimer menggunakan imajinasi yang diekspresikan dengan bahasa tubuhnya dan sudah pasti harus dibekali penjiwaan yang baik. 
Berbeda dengan pertunjukan seni lainnya. Jika penonton tidak mengerti Bahasa Indonesia, tentu akan kesulitan ketika harus mengapresiasi. Pantomime merupakan bentuk seni yang sangat luwes. Seorang pantomimer bisa mengekspresikan apa saja, termasuk sesuatu yang mungkin sebelumnya dianggap tidak masuk diakal. Tetapi, memiliki pesan tersirat (satir) dengan kondisi kekinian. Misalnya, dalam sebuah adegan seorang pantomimer melakukan operasi otak. Setelah terbelah, ternyata di dalam otak tersebut berisi handphone (Hp), gadget dan duit. Setelah terbelah, tiba-tiba seorang “dokter” yang melakukan bedah, justru bermain media sosial menggunakan handphone pasiennya.  
Hal tersebut menunjukkan perilaku seorang manusia yang di dalam kepalanya tidak bisa lepas dari teknologi dan media sosial, hingga seorang dokter yang melakukan bedah pun, lupa dengan pekerjaannya karena keranjingan media sosial. Tentu, adegan di atas tidak sungguh-sungguh. Hanya imajinasi yang digambarkan menggunakan bahasa tubuh, tetapi memiliki pesan yang dalam. Dengan kemampuan komunikasi yang baik, seorang pantomimer bisa menggodok emosi penonton. Marah, sedih, gembira, cemas dan membuat deg-degan. Pertunjukan pantomime tidak mesti beradegan komedi, bisa juga dari adegan pertama hingga akhir, berisi cerita serius dan menegangkan. Hanya dengan menggunakan bahasa tubuh dan imajinasinya, seorang pantomier mampu memainkan emosi penonton. Meskipun di dalam gedung pertunjukan banyak penonton dari negara berbeda-beda atau dari latar belakang yang berbeda. 
Sayangnya, hanya segelintir orang saja yang konsisten menjadi pelaku pantomime. Di beberapa sekolah, pantomime hanya dibutuhkan ketika ada even-even tertentu saja. Seperti saat perpisahan dan ketika akan menghadapi perlombaan yang digelar oleh pemerintah. Pelakunya pun terkesan dadakan, berlatih beberapa hari pada saat menjelang lomba saja. Begitu pun berikutnya, orangnya sudah berganti lagi. Tetapi saya salut kepada Septiyan Dwi Cahyo, bersama komunitasnya melakukan road show ke sekolah-sekolah memperkenalkan kesenian pantomime.

*tulisan ini juga bisa ditemukan di Kompasiana.com  

Ads