Musikalisasi Puisi : Proses Kreatif yang Sangat Tak Terbatas -->
close
Pojok Seni
18 August 2015, 8/18/2015 07:21:00 PM WIB
Terbaru 2015-08-18T12:21:55Z
BeritaMateri TeaterSastra

Musikalisasi Puisi : Proses Kreatif yang Sangat Tak Terbatas

Advertisement

Oleh : Adhyra Irianto

#1 Puisi seperti apa yang bisa dimusikalkan?

Bukan maksud untuk membantah, atau apapun itu namanya dari tulisan sebelumnya milik salah satu orang yang saya hormati, Emong Soewandi berjudul Memahami Musikalisasi Puisi : Definisi yang tak terdefinisikan. Namun, saya hanya mencoba menyederhanakan definisi yang begitu sulit diartikan oleh kaum awam (seperti saya) dalam makalah tersebut.

Pertama, dalam buku Intisari Kesusastraan Indonesia (Supratman Abdul Rani, dkk) ada definisi yang lebih bersahabat tentang musikalisasi puisi, yakni menampilkan puisi dengan memasukkan unsur-unsur musik secara dominan. Dengan demikian, penggunaan musik dalam musikalisasi puisi ditujukan untuk menjadi salah satu jalan atau sarana pemain untuk menyampaikan isi puisi pada audiensinya. Hakekat puisi dibuat adalah untuk dibaca. Bukan hanya puisi, tetapi seluruh karya sastra dan karya tulis ilmiah sekalipun, juga ditulis untuk tujuan dibaca. Hanya saja, untuk puisi, membacanya lebih berupa apresiasi. Selain itu, membaca puisi juga berbentuk melisankan puisi sebagai bentuk pengungkapan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batin. (Waluyo, 1991)

Selama tidak keluar dari konteks puisi itu sendiri dan berlawanan dengan maksud penyair lewat puisinya, tentu apapun bentuk musikalnya, tidak akan salah. Satu statement yang membuat para seniman enggan berkreasi adalah : puisi yang “bisa” dimusikalkan adalah puisi yang sudah memiliki struktur musical didalamnya. Nah, apa pula struktur musikal itu? Secara etimologi, definisi struktur musical adalah rangkaian suatu susunan unsur yang membentuk sebuah karya music. Apa saja? Antara lain melodi, ritme, harmoni dan dinamika. Setidaknya itu yang tertulis dalam buku panduan belajar gitar dasar. Dimana kita mencari puisi yang memenuhi unsur musical itu? Ternyata semua puisi bisa mengandung keempat unsur itu, terlihat ketika puisi tersebut dibacakan. Fakta ini menunjukkan hal yang baru, semua puisi bisa dimusikalkan. Meskipun itu puisi berbentuk mantra khas Sutardji Calzoum Bachri. Bagaimana bentuk musiknya? Itu tantangan bagi anda untuk memikirkan bentuk musiknya yang sesuai dengan isi dari puisinya. Ada terlalu banyak jenis aliran music yang bisa di eksplorasi. Bahkan, ada beberapa lagi yang belum pernah “tersentuh” oleh para composer dalam membuat sebuah karya musikalisasi puisi seperti aliran : Metal, Rap, Funky, Psydelic hingga Reagge.

#2 Musik tidak identic dengan lagu? Sampai saat ini saya masih beranggapan bahwa proses musikalisasi puisi adalah menjadikan puisi sebagai lagu. Apakah lagu tidak identik dengan music? Bagaimana bisa tidak identik, kalau lagu adalah produk dari proses musikalisasi. Musik adalah suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik, yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama melodi, harmoni, bentuk/struktur lagu dan ekspresi. (Safrina, 2003) Dari pendapat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa bentuk music adalah Lagu. Apa definisi lagu? Bila melihat bentuk kata tersebut sebagai kata kerja (melagukan) maka terbentuk definisi : teks yang dengan sengaja dan sadar dinotasikan dengan nada-nada. Tapi bila kita definisikan dalam bentuk kata benda (lagu) maka terbentuk definisi : “ragam suara yang berirama”.
Proses musikalisasi bisa diartikan sebagai menyusun nada atau suara untuk menghasilkan komposisi yang seimbang. Selain itu, juga harus mengandung irama, lagu dan keharmonisan. Proses musikalisasi puisi berarti menjadikan teks puisi sebagai sebuah karya music. Apa itu, jelas sebuah lagu. Steve vai misalnya, lewat petikan gitarnya berjudul “Whispering a prayer”. Ia menangis, ia meraung dan ia menjerit, lewat gitarnya. Tanpa vocal! Tetapi itu adalah sebuah lagu, lagu yang berbentuk komposisi music dan tercipta dari sebuah proses musikalisasi. Nah, lagu dan vocal bukan sebuah sinonim. Bagaimana dengan nasyid, choral, al chapella, rubaiyah, syair, gending dan sebagainya. Itu adalah lagu. Musikalisasi puisi juga bisa dibuat tanpa menggunakan iringan alat music hanya mengandalkan kemampuan natural vocal manusia. Berarti jangan ragu lagi untuk menyatakan bahwa proses musikalisasi puisi adalah proses merubah sebuah teks puisi menjadi sebuah lagu.

#3 Jangan menjadikan puisi sebagai Subordinat!

Tan Lio Ie menyatakan, jangan menjadikan puisi sebagai subordinat dalam musikalisasi puisi. Sangat benar! Puisi tidak boleh menjadi korban dalam proses musikalisasi. Dalam hal ini, “penyakit” yang sering ditemukan adalah, membuat sebuah karya musical tanpa mengetahui isi puisi. Hal yang diinginkan oleh Tan Lio Le adalah, puisi benar menjadi sebuah lagu namun tidak keluar dari maksud puisi tersebut. Mari bicara tentang Alih Wahana. Sapardi Djoko Damono menyebutkan bahwa alih wahana merupakan transformasi dari wahana satu ke wahana yang lain. Ingat, Transformasi! Bukan adaptasi. Berarti perubahan rupa, untuk contoh pada puisi dari sebelumnya dibaca menjadi dinyanyikan. Dalam istilah alih wahana, tidak ada maksud, pesan atau amanat dari wahana sebelumnya yang hilang atau berubah. Meskipun pada akhirnya, bentuk wahana tersebut sangat jauh berbeda. Sebelumnya sempat dikenal istilah Ekranisasi, ketika sebuah novel (karya sastra) dirubah menjadi sebuah film.

#4 Kesimpulan 

Musikalisasi puisi adalah salah satu proses kreatif yang sangat tak terbatas. Batasan yang dimiliki oleh seorang seniman adalah ia tidak boleh “merusak” puisi demi lagu. Biasanya, yang semacam ini musiknya sudah “jadi duluan” sebelum membaca isi puisinya. Tidak ada batasan riil dalam musikalisasi puisi, juga tidak ada aliran music yang “dilarang” dalam musikalisasi puisi. Kenapa hasil proses musikalisasi puisi dewasa ini cinderung monoton. Ada dua hal yang penulis duga sebagai penyebabnya. Pertama, terlalu takut lagunya akan “merusak” puisi. Dalam hal ini solusinya adalah lakukan analisa mendalam terhadap puisi tersebut. Gunakan berbagai pendekatan dalam analisa puisi agar maksud dan pesan juga perasaan penyair dapat diketahui secara tepat, meski tidak seratus persen. Kedua, mungkin sesuai dengan ungkapan “Semakin banyak makan, semakin banyak keluarnya”. Istilah yang jorok. Tetapi bila anda ingin menjadi seorang penulis, maka perbanyaklah membaca. Jika ingin menjadi seorang pemusik, maka perbanyaklah mendengar. Biarkan seluruh jenis music dari ratusan jenis musisi masuk ketelinga anda dan tangkap semua struktur melodinya. Selanjutnya, ketika hendak membuat sebuah karya musikalisasi puisi, setelah dilakukan pendalaman dan analisa yang tepat dari sebuah puisi, maka anda juga dapat segera mendapatkan bentuk music yang tepat untuk puisi tersebut.

Tulisan yang ini serius.

(Tulisan ini juga dimuat di kupasbengkulu.com dan kompasiana.com)

Ads