Afrizal Malna di Tengah Reruntuhan Kota Global: Seni Tanpa Bandrol Supermarket (Bagian III) -->
close
Pojok Seni
17 November 2025, 11/17/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-11-17T01:00:00Z
Narasi

Afrizal Malna di Tengah Reruntuhan Kota Global: Seni Tanpa Bandrol Supermarket (Bagian III)

Advertisement


Oleh   Zackir L Makmur*


Setiap ambisi besar selalu menanggung bahaya yang sepadan. Ketika Jakarta menapaki jalan menuju kota global, di balik gegap gempita infrastruktur dan ambisi ekonomi, terselip tiga krisis yang mengintai seperti bayangan panjang: krisis lingkungan, krisis sosial, dan krisis tata kelola. Banjir yang berulang, polusi udara yang kian pekat, serta tanah yang terus menurun bukan sekadar problem teknis, tetapi gejala ekologis dari keserakahan modernitas. 


Di sisi lain, jurang ketimpangan sosial makin terbuka: gedung-gedung pencakar langit berdiri di atas permukiman yang rawan digusur, sementara birokrasi yang berlapis kerap kehilangan arah moralnya. Henri Lefebvre pernah menulis tentang right to the city—hak setiap warga untuk menentukan masa depan ruang yang mereka diami. Maka pertanyaan yang harus diajukan bukanlah bagaimana menjadikan Jakarta kota global, melainkan: kota global untuk siapa?


Membaca Peringatan dari Suara Bajaj


Pidato kebudayaan Afrizal Malna, “Suara Bajaj dari Cikini”, sesungguhnya adalah jawaban puitis terhadap pertanyaan itu. Afrizal tidak memandang kota sebagai lanskap teknologis, melainkan sebagai organisme yang hidup dan menderita. Suara bajaj yang meraung bukan hanya bunyi mesin, melainkan tanda perlawanan terhadap penghapusan memori rakyat kecil. Di tengah kota yang disusun atas logika efisiensi, Afrizal mengingatkan bahwa yang sederhana pun memiliki martabat. 


Bajaj di sini jadinya adalah metafora: kendaraan yang terus bergerak meski tak dianggap, simbol ketahanan rakyat di tengah perubahan yang tak menunggu. Dalam bahasa kebudayaan, Afrizal sedang memperjuangkan right to the city itu sendiri—hak rakyat kecil untuk tetap menjadi bagian dari denyut Jakarta yang kian modern. Dengan begitu pembangunan yang terlampau mengandalkan narasi global, sering lupa bahwa bumi kota memiliki batas, dan bahwa manusia memiliki kebutuhan akan keberlanjutan. 


Maka kritik terhadap antropocentric urbanism—cara berpikir yang menempatkan kota hanya sebagai alat produksi dan konsumsi, harus dikabarkan. Ini adalah tuntutan agar pembangunan dikembalikan pada keseimbangan antara manusia, ruang, dan alam. Setiap banjir bukan hanya soal drainase, tetapi tentang hilangnya kesadaran ekologis; setiap kemacetan lalu lintas bukan sekadar persoalan transportasi, tetapi refleksi dari sistem sosial yang tak lagi berpihak pada kehidupan bersama.


Lefebvre mengajarkan bahwa hak atas kota bukan hanya hak untuk tinggal, tetapi hak untuk membayangkan dan mencipta ruang secara kolektif. Dalam semangat itu, suara bajaj Afrizal Malna menjadi simbol politik yang lembut namun mendalam. Ia menolak pembangunan yang meminggirkan pengalaman rakyat kecil. Ia menuntut agar warga tidak hanya menjadi pengguna kota, tetapi juga pencipta maknanya. 


Ketika warga miskin kota, seniman jalanan, dan pengemudi bajaj diakui sebagai bagian dari wacana kebijakan, barulah Jakarta dapat disebut kota yang adil. Sebaliknya, bila mereka terhapus dari peta pembangunan, maka globalisasi hanya akan menjadi bentuk baru kolonialisme dalam wajah modern. Maka Jakarta hari ini berada di persimpangan antara ambisi dan kebijaksanaan. Menjadi kota global memang penting, tetapi menjadi kota yang manusiawi jauh lebih mendesak. 


Afrizal Malna telah menunjukkan bahwa seni dapat menjadi cermin bagi politik ruang: ia mengingatkan kita bahwa di balik angka pertumbuhan dan indeks global, ada manusia yang bernafas dan bermimpi. Suara bajaj dari Cikini adalah seruan moral bagi Jakarta—agar tak membangun masa depan dengan melupakan yang kini. Sebab kota yang kehilangan hak warganya untuk bersuara bukanlah kota global, melainkan sekadar panggung megah tanpa jiwa.


Seni sebagai Nafas Kota


Seni dan budaya, bagi kota seperti Jakarta, harusnya bukan sekadar ornamen yang menghiasi wajah metropolitan, melainkan akar yang menahan agar pohon modernitas tidak tumbang oleh badai globalisasi. Di tengah gedung-gedung yang terus menjulang dan deru kendaraan yang tak henti, seni menjadi bahasa senyap yang menegaskan keberadaan manusia di antara benda-benda. Dari lenong Betawi yang riang hingga mural di dinding kumuh yang berbicara lebih jujur daripada baliho politik, Jakarta menulis sejarahnya dengan tinta estetika rakyat. 


Di situlah denyut sejati kota terasa—pada simpul-simpul kehidupan yang tak terdata dalam rencana tata ruang, tetapi hidup dalam napas warga yang terus bermimpi. Afrizal Malna, dalam pidato kebudayaannya, menyingkap lapisan terdalam dari relasi antara seni, kota, dan manusia. Baginya, seni bukanlah ruang steril yang dipagari kurator, melainkan “suara bajaj dari Cikini”—suara kehidupan yang berisik namun jujur, kasar namun tulus. Ia mengingatkan bahwa seni tak bisa dipisahkan dari tubuh kota yang porak-poranda, dari ingatan yang terpotong-potong oleh beton dan kemacetan. 


Dari sini Jakarta adalah arsip hidup yang disusun oleh fragmen, oleh debu dan peluh, oleh ketidaksempurnaan yang justru membuatnya bernilai manusiawi. Kota yang terlalu rapi sering kehilangan cerita, sementara kota yang berantakan menyimpan puisi dalam retaknya. Ketika pembangunan kota berorientasi pada kecepatan, efisiensi, dan pertumbuhan ekonomi, seni justru mengajarkan kelambanan—bahwa membangun kota sejati berarti juga membangun kesadaran dan rasa. Dalam ruang-ruang publik yang kian terkomodifikasi, seni hadir untuk memulihkan hak warga terhadap ruangnya. Sebuah mural di tembok gang bisa menjadi manifesto tentang keadilan; sebuah pertunjukan teater jalanan dapat menjadi kritik terhadap kemunafikan kekuasaan. 


Di tangan para seniman, ruang kota berubah menjadi medan solidaritas. Mereka menolak untuk diam, karena diam berarti menyerahkan kota sepenuhnya kepada mesin dan modal. Seni tidak hidup di ruang hampa. Ia bergantung pada kebijakan, keberanian politik, dan etika tata kelola. Ketika ruang publik disempitkan, ketika kebebasan berekspresi dikekang atas nama ketertiban, maka seni kehilangan napasnya. Jakarta yang bermimpi menjadi kota global harus berani mengakui bahwa kreativitas adalah bentuk keberadaban. 


Kota yang membungkam senimannya, sesungguhnya, sedang kehilangan kemanusiaannya sendiri. Maka, tugas pemerintah bukan sekadar membangun infrastruktur budaya, melainkan menjamin agar seni tetap menjadi hak publik—hak untuk menghirup keindahan di antara polusi dan beton. Di sinilah pula seni adalah cara kota berbicara kepada dirinya sendiri. Ia adalah cermin di mana Jakarta menatap wajahnya yang penuh luka, tetapi juga penuh cahaya. 


Dari lorong-lorong kampung hingga gedung pertunjukan, dari suara pedagang kaki lima hingga orkestra di taman kota, semuanya membentuk harmoni yang tak sempurna namun jujur. Seni adalah kehidupan itu sendiri—tak bisa dipoles tanpa kehilangan denyutnya. Bila Jakarta ingin menjadi kota global yang berjiwa, ia harus lebih dulu menjadi kota yang mampu mendengar suara seninya: suara rakyat, suara ingatan, dan suara masa depan yang masih sedang ditulis.


Ruang Penyembuhan Kota


Ketika Afrizal Malna berbicara tentang “seni yang menolak diam”, sesungguhnya ia sedang mengajukan satu bentuk penyembuhan: bukan penyembuhan yang menghapus luka, tetapi yang berani menatap luka itu dengan mata terbuka. Kota, baginya, adalah tubuh yang retak oleh modernitas, oleh arus barang, citra, dan suara yang bersilang tanpa jeda. Namun dalam reruntuhan itu, seni menjadi satu-satunya ruang yang masih memberi napas, tempat manusia kembali mengingat bahwa dirinya bukan sekadar alat produksi, melainkan makhluk yang merasakan dan bermimpi. 


Maka seni bukanlah pelarian, melainkan jalan pulang. Ia adalah cara kota menyembuhkan dirinya sendiri melalui kesadaran estetika yang berpihak pada kehidupan. Penyembuhan kota tidak lahir dari kebijakan teknokratis semata, tetapi dari keberanian membangun ruang makna—ruang di mana manusia dapat kembali berdialog dengan lingkungannya. Di sinilah peran seni menjadi vital: ia menembus batas birokrasi, menembus suara bising pasar, dan menembus logika efisiensi yang sering menyingkirkan nurani. 


Dalam pidatonya yang juga menampilkan video-video terhadap benda-benda sehari-hari—kursi patah, papan reklame, pasar, terminal, dan sudut-sudut gang—menjadi simbol bagi ingatan kolektif yang terlupakan. Melalui estetika semacam itu, kota disembuhkan bukan karena ia menjadi rapi, melainkan karena ia kembali memiliki jiwa. Kota menjadi ruang yang tidak hanya ditinggali, tetapi juga dirasakan. Jadinya seni yang menolak diam, adalah seni yang menyembuhkan karena ia menumbuhkan empati. 


Seni yang begitu juga mengajarkan bahwa di tengah logam dan beton, manusia masih memiliki hati yang bisa bergetar. Dalam konteks Jakarta dan kota-kota Indonesia hari ini, pesan Afrizal Malna terasa kian relevan: kita membutuhkan seniman yang tak hanya menciptakan karya, tetapi juga menyalakan kesadaran sosial. Karena penyembuhan kota bukan sekadar memperindah fasadnya, melainkan mengembalikan denyut kemanusiaan di dalamnya. Maka selama masih ada yang berani menulis, melukis, dan berbicara di antara reruntuhan, kota tak akan benar-benar mati—ia hanya menunggu untuk disembuhkan oleh kejujuran dan keberanian sebuah karya seni.


Kota yang Berpikir dan Berjiwa


Kota global sejati bukanlah kota tanpa batas, melainkan kota yang memahami akar sejarah dan denyut kemanusiaannya. Dalam arus globalisasi yang menggulung nilai dan identitas, Jakarta dihadapkan pada pertanyaan paling mendasar: apakah kemajuan harus berarti kehilangan jiwa? Ketika dunia memburu efisiensi dan keseragaman, Jakarta justru dituntut untuk merayakan keberagamannya sebagai sumber kekuatan. 


Ia harus menjadi kota yang mengingat dari mana ia tumbuh—dari tanah rawa dan pelabuhan, dari pertemuan manusia-manusia yang datang membawa bahasa, cita rasa, dan doa. Di situlah keindahan sejati kota global: bukan pada gedung yang menjulang, tetapi pada keberanian untuk tetap menjadi diri sendiri di tengah pusaran dunia. Afrizal Malna, dalam pidato kebudayaannya, mengingatkan bahwa kota tidak hidup dari beton dan kabel, melainkan dari imajinasi warganya. 


Suara bajaj di Cikini, mural di tembok gang, dan teater kecil di pinggir trotoar adalah tanda-tanda bahwa seni masih bernapas di antara mesin-mesin modernitas. Di ruang-ruang kecil itulah, warga Jakarta terus menegosiasikan haknya untuk menjadi manusia—bukan sekadar penghuni ruang, melainkan pencipta makna. Dalam pandangan ini seni adalah bentuk perlawanan terhadap dehumanisasi kota, cara untuk memastikan bahwa modernitas tidak menghapus kemanusiaan.


Jakarta hari ini memang tengah bertransformasi menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ), kota pasca-ibu kota yang mencari bentuk baru sebagai pusat inovasi dan kebudayaan. Namun transformasi itu hanya akan berarti bila disertai dengan kesadaran kultural. Kota yang ingin menjadi global tidak cukup membangun MRT, LRT, dan gedung tinggi; ia harus membangun ruang dialog antarwarga, memperluas akses terhadap kebudayaan, dan menumbuhkan rasa memiliki yang lahir dari interaksi sosial yang setara. 


Di sinilah seni dan budaya memainkan peran strategis sebagai soft power Jakarta. Di tengah kompetisi global antar-metropolis, kekuatan Jakarta tidak hanya diukur dari daya saing ekonomi, melainkan dari kemampuannya menampilkan wajah kemanusiaan yang plural dan terbuka. Diplomasi budaya, festival rakyat, ruang publik kreatif, dan pertukaran seniman adalah cara-cara baru membangun citra kota yang bukan sekadar efisien, tetapi juga beradab. Dunia kini menilai kota bukan hanya dari skyline-nya, tetapi dari bagaimana ia memperlakukan warganya—terutama yang paling rapuh dan tak bersuara.


Maka Jakarta harus memilih: menjadi metropolis tanpa makna, atau kota global yang berakar, berpikir, dan berjiwa. Pilihan ini bukanlah urusan teknokratis, melainkan moral dan kultural. Sebab kota tanpa budaya adalah kota tanpa ingatan; kota tanpa ingatan adalah kota tanpa masa depan. Dalam denyut kehidupan yang makin cepat, Jakarta perlu berhenti sejenak untuk mendengarkan suaranya sendiri—suara bajaj dari Cikini, nyanyian ondel-ondel di Setu Babakan, tawa anak-anak di gang sempit—sebab di sanalah jantungnya berdetak. Dan selama detak itu masih terdengar, Jakarta belum kehilangan dirinya: kota yang hidup dari keberagaman, dan bertumbuh bersama kemanusiaan. ***


* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads