Afrizal Malna di Tengah Reruntuhan Kota Global: Seni Tanpa Bandrol Super Market (Bagian II) -->
close
Pojok Seni
14 November 2025, 11/14/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-11-14T01:00:00Z
Artikel

Afrizal Malna di Tengah Reruntuhan Kota Global: Seni Tanpa Bandrol Super Market (Bagian II)

Advertisement


Oleh   Zackir L Makmur*


Dalam sejarah urban, Jan Pieterszoon Coen hadir sebagai bayangan panjang di balik fondasi Jakarta. Ia membangun Batavia bukan sebagai rumah, melainkan benteng kekuasaan. Ia menyusun jalan-jalan lurus dan kanal-kanal teratur dengan logika imperial, bukan dengan kepekaan terhadap kehidupan. Di bawah simetri yang rapi itu mengalir darah dan keringat rakyat jajahan yang dipaksa menjadi bagian dari kota tanpa memiliki hak atasnya. 


Coen adalah paradoks sejarah: licik sekaligus visioner, penakluk sekaligus arsitek. Batavia, kota global versi abad ke-17, menjadi pusat perdagangan dunia, tetapi terputus dari kemanusiaan warganya. Ia adalah kota yang terhubung ke luar, namun tercerabut ke dalam—sebuah warisan yang hingga kini masih terasa dalam nadi Jakarta modern.


Namun sejarah tidak pernah berhenti pada satu tangan. Kota yang dulu dibangun dengan bayonet, kini bergerak dengan ingatan dan resistensi. Dalam pidato kebudayaan Afrizal Malna, perkara itu memperjelas bahwa Jakarta bukanlah sekadar tata ruang, melainkan tubuh yang bernafas. “Suara bajaj dari Cikini” bukan sekadar kebisingan urban, melainkan musik perlawanan terhadap sterilitas modernitas.


Bayangan Coen dan Suara Afrizal


Kota sejati bukan dibangun oleh tangan penguasa, melainkan oleh imajinasi rakyat yang terus beradaptasi dan menolak dibungkam. Afrizal Malna, dalam tafsir kebudayaannya itu, menegaskan bahwa setiap kota adalah arsip perasaan. Gedung-gedung bertingkat mungkin mencerminkan kemajuan, tetapi gang sempit dan pasar tua menyimpan sejarah yang lebih jujur. Di tengah ambisi Jakarta menjadi kota global, suara ini sering tertinggal. 


Ketika pembangunan hanya dipahami sebagai peningkatan infrastruktur, maka yang lenyap adalah makna manusia yang mengisinya. Di titik inilah seni memainkan fungsi politik yang mendalam: ia mengembalikan makna ruang, menciptakan kehadiran bagi yang tak terlihat. Pidato Afrizal adalah seruan untuk menulis ulang urbanisme Jakarta—dari peta kekuasaan menjadi peta kemanusiaan.


Kini, arah kebijakan kebudayaan DKI Jakarta mulai mencoba menyentuh denyut ini. Program revitalisasi ruang publik seperti Taman Ismail Marzuki, Kota Tua, hingga trotoar-seni di Cikini dan Setiabudi merupakan upaya memulihkan hak warga atas ruang budaya. Seni jalanan, festival lokal, dan kolaborasi antara seniman serta pemerintah menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Dan tantangan sesungguhnya terletak pada menjaga keseimbangan: bagaimana menjadikan seni bukan sekadar ornamen kota, tetapi sarana pembebasan dan pendidikan publik. Jakarta dapat belajar dari pandangan pidato Afrizal—bahwa seni bukan pelengkap estetika, melainkan ruang politik yang menghidupkan manusia di tengah deru mesin globalisasi.


Jakarta hanya akan menjadi kota global sejati jika mampu menjadi kota manusia. Coen mewariskan logika kekuasaan; Afrizal menawarkan logika kemanusiaan. Di antara keduanya, kita menemukan arah baru: kota yang tidak lagi mengukur kemajuan dari gedung-gedungnya, melainkan dari sejauh mana ia mendengarkan warganya. 


Ketika kebijakan kebudayaan berpihak pada kehidupan, bukan sekadar pertumbuhan; ketika seni hadir di jalan, bukan hanya di galeri; maka Jakarta tidak lagi berdiri di bawah bayangan Coen, melainkan melangkah bersama suara bajaj dari Cikini—suara yang sederhana, jujur, dan tak pernah berhenti mengingatkan bahwa modernitas tanpa manusia hanyalah reruntuhan yang bersinar.


Suara Bajaj di Tengah Indeks Global


Naiknya peringkat Jakarta ke posisi 71 dalam Global Cities Index 2025, sejatinya bukan hanya kemenangan administratif, melainkan penanda perubahan makna eksistensial: dari kota birokrasi menjadi kota peradaban. Setelah tak lagi menyandang status ibu kota, Jakarta kini menapaki identitas baru sebagai Daerah Khusus Jakarta (DKJ)—ruang yang tak lagi sekadar mengatur kekuasaan, melainkan merawat kehidupan. 


Ia berusaha menjadi simpul ekonomi dan kebudayaan dunia tanpa kehilangan wajah manusianya. Dalam pandangan Saskia Sassen, kota global bukan hanya laboratorium kapitalisme, tetapi juga arena pertarungan nilai, tempat keadilan sosial diuji oleh ambisi pasar. Maka, capaian peringkat global bukanlah akhir, melainkan panggilan: untuk menakar kembali apakah Jakarta sedang membangun manusia, atau justru membiarkan manusia tersingkir di balik beton yang gemerlap.


Pidato kebudayaan Afrizal Malna, “Suara Bajaj dari Cikini”, menggemakan kesadaran ini dari kedalaman artistik. Afrizal tidak berbicara tentang kota dari menara, melainkan dari jalanan, dari suara bajaj yang meraung di tengah debu dan lampu merah. Di sanalah, seni menjadi saksi bisu pergeseran zaman: dari becak ke bajaj, dari manusia ke mesin, dari kehidupan komunal menuju individualisme digital. Maka suara bajaj itu bukan nostalgia, melainkan metafora perlawanan—bunyi yang menolak ditenggelamkan oleh retorika modernitas. Ia mewakili rakyat kecil yang masih ingin punya ruang di tengah kota yang terus berlari. 


Dalam konteks itu, seni bukanlah pelengkap pembangunan, tetapi jantungnya; ia menjaga agar kota tetap bernapas di antara beton dan algoritma. Transformasi Jakarta menuju kota global sejatinya adalah perjalanan moral. Ia menguji sejauh mana kota dapat memelihara keseimbangan antara efisiensi dan empati. Pembangunan MRT, LRT, dan portal digital hanyalah alat, sementara maknanya ditentukan oleh bagaimana ia menghubungkan manusia satu sama lain. 


Ketika publik terlibat, ketika ruang terbuka menjadi panggung dialog, dan ketika kebijakan kota berpihak pada mereka yang tak bersuara, maka di situlah globalisasi menjadi manusiawi. Tanpa itu, Jakarta hanya akan menjadi replika metropolitan dunia: modern di permukaan, tetapi sunyi di dalam. Afrizal Malna, dalam sensibilitasnya yang puitis, menghadirkan cara lain membaca kota—sebagai teks yang ditulis oleh ribuan tangan: oleh grafiti di tembok, pedagang di trotoar, musisi jalanan di bawah jembatan. 


Setiap tindakan kecil itu adalah bahasa. Ini menegaskan bahwa kota tidak hanya dibangun oleh arsitek dan teknokrat, tetapi juga oleh para penghayat keseharian yang menulis sejarah tanpa tinta. Jika pemerintah ingin menjadikan Jakarta kota global, maka pertama-tama ia harus menjadi kota yang mendengar—mendengar suara bajaj, tawa anak jalanan, doa yang lirih dari gang-gang sempit.


Karena ukuran kota global sejati bukan terletak pada tinggi menaranya, atau padat investasinya, melainkan pada kedalaman jiwanya. Suara bajaj dari Cikini adalah simbol bahwa globalisasi tanpa kemanusiaan hanyalah kebisingan tanpa makna. Jakarta akan benar-benar menjadi kota dunia bila ia mampu menjadi dunia kecil yang adil bagi warganya—tempat tradisi dan inovasi berdialog, tempat ekonomi dan empati berpelukan. Dan selama suara itu masih bergema di jalanan, selama rakyat kecil masih diakui sebagai bagian dari nadi kota, maka Jakarta belum kehilangan harapannya: untuk menjadi kota global yang memiliki jiwa, dan manusia yang memiliki kota. (Bersambung)


* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads