Advertisement
Oleh: Zackir L Makmur*
Dalam pidatonya yang berjudul “Suara Bajaj dari Cikini,”di Graha Bhakti Budaya pada Senin 10 November 2025, Afrizal Malna menelanjangi wajah kota global yang menindas warganya melalui bahasa-bahasa yang telah kehilangan makna. Sehingga kita hidup di antara reruntuhan bahasa dan benda. Dan disinilah seni harus menemukan keberaniannya untuk menolak diam, untuk hadir tanpa bandrol supermarket.” Manifestonya ini berbicara bahwa seni tidak boleh bersandar pada kenyamanan, melainkan harus menjadi percakapan karsa dan rasa.
Bersama pula dalam suasana urban yang penuh kegaduhan dan paradoks, Afrizal mengajak seniman untuk melihat reruntuhan bahasa dan benda bukan sebagai akhir, tetapi sebagai ruang penciptaan baru di mana manusia kembali mencari arti keberadaannya. Afrizal Malna, dalam pidato tersebut, mengangkat pengalaman kota sebagai tubuh yang terus-menerus bernegosiasi antara kemajuan dan kehancuran. Ia membaca kota seperti membaca naskah teater absurd—panggung tempat manusia berperan sekaligus terasing.
Maka seni, bukanlah kemewahan rasa, melainkan denyut kehidupan yang terengah di antara beton dan bising. Kota bukan sebagai lanskap yang indah, melainkan sebagai panggung besar tempat manusia dan mesin saling bertabrakan, saling meniadakan, dan pada saat yang sama saling menegaskan keberadaan. Dalam pidatonya itu Afrizal tidak berbicara tentang seni yang dipajang di galeri, tetapi tentang seni yang hidup dalam suara bajaj yang meraung di jalanan—simbol rakyat kecil yang terus bergerak di tengah modernitas yang menyingkirkan yang sederhana.
Di sini menjadi jelas bahwa bajaj bukan sekadar alat transportasi, melainkan metafora perlawanan: ia membawa bukan hanya manusia, tetapi juga kenangan, kegigihan, dan sisa-sisa kemanusiaan yang menolak dibungkam oleh kemajuan. Dari sini pula Afrizal membaca Jakarta seperti seorang antropolog yang patah hati. Ia tidak memandang kota dari menara kaca, tetapi dari pinggiran trotoar tempat kehidupan riil berlangsung. Dalam pembacaan ini, seni bukan hasil akhir, melainkan proses bertahan hidup di tengah arus kapitalisme yang melumat ruang dan makna. Di tengah bangunan tinggi dan pusat perbelanjaan megah Jakarta sebagai Kota Global, ada kehidupan yang tidak pernah terdata dalam statistik: kehidupan yang bernapas dengan kesederhanaan, bekerja dengan kejujuran, dan menciptakan estetika dari kegetiran.
Namun, seni jalanan yang lahir dari suara bajaj itu kini berhadapan dengan ancaman baru: komodifikasi. Kota modern, termasuk Jakarta, dalam keinginannya untuk menjadi “global”, sering mengemas ekspresi rakyat menjadi produk wisata. Seni yang dulu subversif kini dijinakkan untuk kepentingan promosi. Pasar menggantikan makna, dan otentisitas digantikan oleh citra. Di sinilah paradoks kota modern muncul: ia mengundang kreativitas, namun sekaligus menertibkan yang liar; ia memuja inovasi, namun mencurigai spontanitas.
Afrizal dalam pidatonya seperti mengajak kita untuk menolak tunduk pada logika itu. Seraya mengukuhkan bahwa seni adalah ruang resistensi, tempat manusia dapat menegaskan martabatnya di tengah tatanan yang mencoba menyeragamkan segalanya. Ia sesungguhnya mengajukan kritik terhadap cara kita memaknai pembangunan. Ia mempertanyakan: untuk siapa kota ini dibangun? Siapa yang menikmati estetika gedung-gedung kaca, dan siapa yang kehilangan ruangnya karena proyek-proyek itu?
Dalam pertanyaan tersebut, seni menjadi cermin sosial—sebuah upaya merebut kembali makna ruang publik sebagai milik bersama. Seperti Walter Benjamin yang melihat seni sebagai “tanda dari aura yang hilang dalam reproduksi mekanis,” Afrizal juga menyadari bahwa kemajuan teknologi dan ekonomi seringkali menelan aura kemanusiaan itu. Maka, dengan menulis tentang bajaj, ia sesungguhnya sedang menulis tentang manusia yang menolak menjadi sekadar penumpang dalam mesin globalisasi.
Estetika Resistensi Urban
Konsep estetika resistensi yang bisa kita tarik dari pidato Afrizal berakar pada keyakinan: bahwa seni bukan semata representasi, tetapi aksi. Ia menyadari bahwa kota adalah medan konflik simbolik, tempat bahasa, arsitektur, dan tubuh bersaing merebut ruang eksistensi. Ketika trotoar dipenuhi reklame dan suara manusia kalah oleh mesin, seni hadir untuk mengembalikan keseimbangan.
Dengan menulis tentang bajaj, becak, dan bis kota, Afrizal sesungguhnya sedang meneguhkan keberadaan yang terpinggirkan. Ia menjadikan yang banal sebagai saksi sejarah—bahwa kehidupan kota bukan hanya milik gedung tinggi dan elite ekonomi, tetapi juga milik suara yang tidak terdengar. Hal itu dibaca sebagai praktik “counter-hegemonic art”, yaitu bentuk seni yang menolak tunduk pada narasi dominan kapitalisme urban. Afrizal tidak memuja efisiensi atau kecepatan –dua ikon utama modernitas—melainkan menulis tentang kelambanan dan kegamangan.
Melalui estetika yang fragmentaris dan visual yang absurd (yang ditampilkan dalam layar di tengah panggung dalam “pentas” pidatonya itu), ia pun membangun kesadaran bahwa keteraturan kota hanyalah ilusi. Di sinilah letak kekuatan Afrizal: ia tidak menolak kota, tetapi membacanya dengan cara lain—membuka celah di antara struktur yang kaku agar manusia bisa bernapas.
Ada penawaran cara baru memahami kota: bukan sebagai ruang fisik, melainkan ruang bahasa dan memori. Setiap gedung, jalan, atau kendaraan menyimpan kisah tentang relasi kuasa dan harapan yang pernah lahir di situ. Dalam perspektif ini, Jakarta bukan sekadar ibu kota atau pusat ekonomi, melainkan arsip hidup yang terus diperbarui oleh warganya. Di tengah proyek pembangunan yang sering menghapus jejak masa lalu, maka pentingnya mengingat. Ingatan kolektif inilah yang menjadikan seni berfungsi politis—karena ia menyatukan masyarakat bukan hanya melalui estetika, tetapi juga melalui kesadaran sejarah.
Maka, estetika resistensi urban yang dibawa Afrizal Malna adalah ajakan untuk membangun kota dengan nurani. Ia tidak menolak globalisasi, tetapi ingin menjinakkannya agar lebih manusiawi. Ia menuntut agar dalam setiap kebijakan tata ruang dan pembangunan, suara rakyat kecil, seniman, dan pekerja budaya tidak disisihkan. Jakarta, akan benar-benar menjadi kota global hanya bila ia berhasil memadukan kemajuan teknologi dengan ruang bagi ekspresi, solidaritas, dan empati. Di situlah seni kembali menemukan maknanya—bukan sebagai hiasan modernitas, melainkan sebagai peneguh keberadaan manusia di tengah arus zaman.
Seni, Kota, dan Kemanusiaan
Pemikiran Afrizal Malna dalam pidato tersebut, sepertinya selalu bergerak di antara puing-puing kota. Ia menulis dari ruang yang sering diabaikan oleh sejarah resmi: gang sempit, terminal tua, atau suara bajaj yang parau, yang juga sosok bajaj dihadirkan di atas panggung. Maka dari sini lahirlah pandangan yang tajam tentang hubungan antara seni, kota, dan kemanusiaan. Dari dalam bajaj itu empat warga kota keluar, yang mengaku bahwa kota bukan sekadar ruang fisik, melainkan organisme yang hidup, berdetak, dan menderita.
Seni adalah cara untuk mendengarkan detak itu—bukan untuk memolesnya, tetapi untuk memahami sakitnya. Maka ini tentang keindahan yang terluka: keindahan yang lahir dari kemampuan manusia bertahan dalam kekacauan. Dalam konteks Jakarta sebagai kota yang sedang bertransformasi menuju kota global, pemikiran Afrizal menjadi penyeimbang moral. Globalisasi membawa janji efisiensi, inovasi, dan keterhubungan, tetapi di baliknya tersembunyi risiko penghapusan identitas dan kemanusiaan.
Maka kita harus menolak pandangan bahwa pembangunan kota semata soal infrastruktur dan ekonomi; kota harus dibangun dengan jiwa. Seni bukan pelengkap pembangunan, melainkan fondasinya. Karena seni mengajarkan empati, mempertemukan perbedaan, dan menjaga agar kemajuan tidak melupakan manusia di dalamnya. Kota yang kehilangan seninya, sama dengan tubuh yang kehilangan napas.
Seni, dalam pemikiran Afrizal, juga merupakan alat pembacaan terhadap struktur sosial. Melalui estetika resistensi, ia memperlihatkan bagaimana seni mampu menyingkap ketimpangan dan meneguhkan suara yang tak terdengar. Dalam setiap fragmen pidato budayanya, terselip keinginan untuk mengembalikan ruang bagi mereka yang tersisih dari narasi modernitas: rakyat kecil, pengamen jalanan, pengemudi bajaj, atau anak-anak trotoar yang hidup di antara gedung pencakar langit. Ia memperlihatkan bahwa seni dapat menjadi bentuk politik yang lembut, politik yang bekerja melalui bahasa, memori, dan kejujuran. Politik yang tidak menaklukkan, tetapi menyembuhkan.
Seni juga sebagai cara merawat ingatan kota. Dan setiap kota juga memiliki lapisan sejarah yang tak kasat mata: kolonialisme, migrasi, industrialisasi, dan urbanisasi. Semua itu menyisakan jejak yang membentuk perilaku sosial dan kesadaran budaya warganya. Dalam dunia yang terus bergerak cepat, seni menjadi upaya melambat—mengingat, menulis ulang, dan menolak lupa. Di sini, seni bukan nostalgia, tetapi strategi bertahan dari amnesia modernitas. Seperti bajaj yang terus berputar di tengah jalan raya, seni menjaga agar kota tetap memiliki arah, meski peta terus berubah.
Maka seni dan kota adalah dua cermin yang saling memantulkan kemanusiaan. Keduanya sama-sama rapuh dan kompleks, tetapi justru dalam kerentanan itulah letak kekuatan mereka. Kota yang ideal bukanlah yang paling efisien atau paling modern, melainkan yang paling manusiawi. Dan seni, sebagai bahasa kejujuran dan pengingat, menjadi jantung dari proses itu. Di tengah gegap gempita globalisasi, bahwa kemajuan tanpa kebudayaan hanyalah kebisingan tanpa makna. Maka, ketika Jakarta terus berlari menuju predikat kota global, suara bajaj dari Cikini akan tetap menggema—mengajak kita untuk tidak melupakan denyut manusia yang membuat kota ini hidup. (Bersambung)
* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).





