Advertisement
Oleh: Syarif Maulana
Kata “festival” kini
telah menjadi semacam mantra ajaib dalam kehidupan kebudayaan kita. Setiap
kota, setiap kabupaten, bahkan setiap kecamatan, berlomba-lomba
menyelenggarakan festival. Dari festival kopi, festival kuliner, hingga
festival UMKM. Semuanya seolah menjadi tanda kemajuan dan geliat ekonomi
daerah. Namun, di balik gemerlap panggung dan arak-arakan itu, saya kerap
bertanya-tanya: apakah benar festival masih menjadi ruang publik tempat warga
bertemu, atau sekadar panggung raksasa untuk menegaskan eksistensi
penyelenggaranya?
Istilah “festival” kini
begitu latah diucapkan, seolah setiap perayaan harus berlabel festival agar
terdengar megah, modern, dan menarik sponsor. Festival menjadi ajang keramaian
yang diukur dari seberapa besar dana masuk, seberapa banyak pengunjung datang,
dan seberapa viral ia di media sosial. Ramai, ya, tapi ramai untuk siapa?
Apakah publik yang datang benar-benar menjadi bagian dari makna itu, atau
sekadar penonton yang lewat di antara tumpukan tenda dan panggung promosi?
Pertanyaan-pertanyaan
itulah yang terlintas di benak saya ketika menerima undangan menghadiri
Pringsewu Cultural Festival 2025, yang digelar pada 15–17 Oktober di Kabupaten
Pringsewu, Lampung. Undangan itu datang dari Kapolres Pringsewu, AKBP M. Yunnus
Saputra, yang juga menjadi penggagas utama kegiatan ini. Sekilas, terdengar
tidak lazim, sebuah festival kebudayaan yang diinisiasi oleh seorang Kapolres.
Lebih tak biasa lagi, festival ini diselenggarakan di halaman Mapolres
Pringsewu itu sendiri.
Bayangan awal saya
sederhana: mungkin ini sekadar acara seremonial yang kaku, dibuka dengan
sambutan pejabat, diakhiri dengan foto bersama, lalu usai begitu saja. Tapi
begitu tiba di lokasi, saya segera sadar bahwa bayangan itu salah besar.
Ketika Halaman Polres Menjadi Ruang Budaya
Sejak pagi, halaman
Polres Pringsewu telah dipenuhi warga dari berbagai penjuru. Saya melihat para
pelajar berseragam, ibu-ibu dengan daster khas Lampung, pemuda dengan kamera di
leher, hingga para tokoh adat dengan pakaian tradisional. Ada yang datang
berjalan kaki, ada yang naik motor berboncengan, bahkan ada yang datang dari
luar daerah, Tanggamus, Metro, hingga Bandar Lampung. Mereka datang bukan
karena undangan resmi, tetapi karena rasa ingin tahu dan antusiasme yang tulus.
Suasana pagi itu begitu
cair. Tenda-tenda kecil berdiri, mengelilingi panggung utama tempat perlombaan
Tari Kreasi Hikayat Sang Timur berlangsung. Di sana, para peserta menampilkan
interpretasi mereka terhadap kisah Sang Timur, sebuah naskah yang
ditulis langsung oleh Kapolres Pringsewu sendiri.
Naskah ini menjadi
jantung dari festival. Sang Timur adalah bentuk konkret dari gagasan
“cultural policing” yakni konsep yang mencoba memadukan pendekatan keamanan
dengan nilai-nilai budaya setempat. Bagi sebagian orang, istilah ini mungkin
asing, karena kita lebih terbiasa melihat polisi sebagai aparatus penegak hukum
yang mekanistik ketimbang humanistik. Tapi melalui Sang Timur, Yunnus
Saputra mencoba menawarkan narasi lain: bahwa keamanan sosial tidak hanya
dibangun dengan hukum, tetapi juga dengan budaya yang mengikat manusia melalui
nilai-nilai, bukan sekadar aturan.
Dari Skeptisisme ke Kekaguman
Saya datang ke festival itu
dengan rasa skeptis. Sebab, sering kali, acara berlabel “budaya” hanyalah
topeng dari kegiatan formalitas. Hanya ramai di luar, kosong di dalam. Tapi
Pringsewu Cultural Festival justru menampar skeptisisme itu.
Selama tiga hari penuh,
ribuan warga datang silih berganti. Sejak pagi hingga malam, mereka bertahan
menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan. Tidak ada rasa canggung, tidak ada
jarak antara aparat dan masyarakat. Halaman Polres itu mendadak berubah menjadi
alun-alun kebersamaan, tempat orang-orang berdiri di bawah langit malam,
menatap panggung, dan merayakan sesuatu yang tak sepenuhnya bisa dijelaskan
dengan kata-kata: rasa memiliki.
Di hari ketiga (acara
puncak festival) panggung besar disiapkan untuk dua pertunjukan utama:
sendratari Sang Timur dan wayang kulit oleh Ki Sujiwo Tejo. Nama
terakhir ini tentu tidak asing bagi publik Indonesia. Ia dikenal bukan hanya
sebagai dalang, tetapi juga filsuf, budayawan, dan pengamat kehidupan yang
piawai menafsirkan dunia dengan bahasa simbol. Kehadirannya di Pringsewu
memberi lapisan makna baru pada festival ini.
Dan benar saja: malam
itu, suasananya magis. Ki Sujiwo Tejo memainkan lakon Sang Timur dengan
perpaduan humor khasnya, kritik sosial yang tajam, dan lirisasi bahasa yang
memukau. Pertunjukan berlangsung hingga dini hari, namun penonton tak beranjak.
Mereka bertahan di udara dingin Pringsewu dengan tatapan penuh perhatian. Saya
melihat anak kecil di pangkuan ibunya, para remaja duduk bersila di tanah,
hingga beberapa polisi berjaga di pinggir lapangan sambil ikut tersenyum.
Bukan sekadar tontonan,
tetapi tatanan baru dalam relasi sosial, bahwa budaya bisa menjadi jembatan
antara institusi negara dan masyarakat.
Untuk Siapa Sebuah Festival Diadakan?
Melihat antusiasme itu,
saya teringat kembali pada pertanyaan lama yang sejak awal menggantung: untuk
siapa festival diadakan?
Pringsewu Cultural
Festival memberi jawaban yang sederhana namun dalam: festival sejati adalah
milik masyarakatnya. Ia bukan ruang yang eksklusif, bukan panggung untuk
meneguhkan status, melainkan wadah tempat warga merasa dilibatkan. Ia lahir
bukan dari keinginan mempercantik citra, tetapi dari upaya memahami denyut nadi
sosial di sekelilingnya.
Yang dilakukan AKBP M.
Yunnus Saputra dan timnya, menurut saya, bukan sekadar kegiatan kebudayaan,
melainkan strategi kebudayaan yang berakar. Saya tahu dari berbagai cerita
bahwa festival ini bukan dibuat mendadak atau “asal ramai”. Ia telah melalui
proses perencanaan panjang, diskusi lintas-komunitas, dan penulisan naskah yang
memakan waktu berbulan-bulan. Artinya, ini bukan festival yang diciptakan oleh
“tangan pemerintah”, tetapi oleh tangan masyarakat yang dipegang dengan lembut
oleh negara.
Dan justru di situlah
letak revolusionernya. Dalam masa ketika institusi negara sering dianggap
dingin dan birokratis, muncul gagasan bahwa keamanan bisa didekati dengan
kebudayaan—bahwa polisi bisa membangun keakraban bukan hanya lewat patroli,
tapi juga lewat panggung tari, naskah drama, dan tembang wayang.
Festival Bukan Gimmick
Sering kali, festival
dijalankan dengan logika konsumsi: semakin meriah, semakin baik; semakin besar
sponsor, semakin sukses. Tapi Pringsewu Cultural Festival menunjukkan wajah
lain. Bahwa kemegahan bisa hadir tanpa kehilangan kedekatan. Bahwa
kesederhanaan bisa memancarkan wibawa, jika dijalankan dengan niat yang tulus.
Festival bukanlah gimmick
“asal ada kegiatan di tengah publik”. Ia bukan hanya urusan panggung dan lampu,
melainkan cara masyarakat menegosiasikan makna dirinya di tengah perubahan
zaman. Ia menjadi ruang di mana warga bisa mengingat kembali siapa mereka, dari
mana mereka berasal, dan nilai apa yang ingin mereka bawa ke masa depan.
Dalam konteks itulah,
Pringsewu Cultural Festival menjadi penting: ia bukan sekadar acara tahunan,
tapi manifesto kecil tentang bagaimana kebudayaan dapat mengembalikan
kemanusiaan di tengah sistem yang sering terlalu kaku.
Ketika wayang Sang
Timur dimainkan oleh Ki Sujiwo Tejo di bawah langit Pringsewu, saya
teringat pada satu hal: dalam cerita wayang, Timur sering melambangkan arah
matahari terbit, tempat lahirnya cahaya. Mungkin itulah yang ingin dikatakan
festival ini: bahwa dari sebuah kabupaten kecil di Lampung, sedang lahir cahaya
baru tentang cara kita memahami kebudayaan.
Bahwa kebudayaan bukan
milik seniman saja, bukan milik kementerian, bukan pula milik sponsor besar.
Kebudayaan adalah milik semua orang yang mau duduk bersama, mendengarkan satu
sama lain, dan percaya bahwa keamanan, keteraturan, serta kedamaian hanya
mungkin tumbuh jika kita lebih dulu belajar memahami manusia sebagai makhluk
budaya.
Malam itu, di antara tawa
dan tepuk tangan yang bergema, saya melihat sesuatu yang jarang saya temukan di
festival-festival lain: keintiman sosial yang tak dibuat-buat. Tidak ada sekat
antara aparat dan warga, antara penonton dan pemain. Semua larut dalam satu
irama: irama kebersamaan.
Mungkin, itulah makna sejati dari sebuah festival yang merupakan perenungan yang riuh, tempat kita mengingat kembali bahwa di balik segala hiruk-pikuk dunia modern, kebudayaan tetap menjadi cara paling manusiawi untuk menjaga kehidupan bersama.






