Pringsewu Cultural Festival 2025: Merenungkan Kembali Makna "Festival" -->
close
Pojok Seni
19 October 2025, 10/19/2025 07:00:00 PM WIB
Terbaru 2025-10-19T14:28:52Z
Ulasan

Pringsewu Cultural Festival 2025: Merenungkan Kembali Makna "Festival"

Advertisement

 

Oleh: Syarif Maulana

 

Kata “festival” kini telah menjadi semacam mantra ajaib dalam kehidupan kebudayaan kita. Setiap kota, setiap kabupaten, bahkan setiap kecamatan, berlomba-lomba menyelenggarakan festival. Dari festival kopi, festival kuliner, hingga festival UMKM. Semuanya seolah menjadi tanda kemajuan dan geliat ekonomi daerah. Namun, di balik gemerlap panggung dan arak-arakan itu, saya kerap bertanya-tanya: apakah benar festival masih menjadi ruang publik tempat warga bertemu, atau sekadar panggung raksasa untuk menegaskan eksistensi penyelenggaranya?

 

Istilah “festival” kini begitu latah diucapkan, seolah setiap perayaan harus berlabel festival agar terdengar megah, modern, dan menarik sponsor. Festival menjadi ajang keramaian yang diukur dari seberapa besar dana masuk, seberapa banyak pengunjung datang, dan seberapa viral ia di media sosial. Ramai, ya, tapi ramai untuk siapa? Apakah publik yang datang benar-benar menjadi bagian dari makna itu, atau sekadar penonton yang lewat di antara tumpukan tenda dan panggung promosi?

 

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terlintas di benak saya ketika menerima undangan menghadiri Pringsewu Cultural Festival 2025, yang digelar pada 15–17 Oktober di Kabupaten Pringsewu, Lampung. Undangan itu datang dari Kapolres Pringsewu, AKBP M. Yunnus Saputra, yang juga menjadi penggagas utama kegiatan ini. Sekilas, terdengar tidak lazim, sebuah festival kebudayaan yang diinisiasi oleh seorang Kapolres. Lebih tak biasa lagi, festival ini diselenggarakan di halaman Mapolres Pringsewu itu sendiri.

 

Bayangan awal saya sederhana: mungkin ini sekadar acara seremonial yang kaku, dibuka dengan sambutan pejabat, diakhiri dengan foto bersama, lalu usai begitu saja. Tapi begitu tiba di lokasi, saya segera sadar bahwa bayangan itu salah besar.

 

Ketika Halaman Polres Menjadi Ruang Budaya

 

Sejak pagi, halaman Polres Pringsewu telah dipenuhi warga dari berbagai penjuru. Saya melihat para pelajar berseragam, ibu-ibu dengan daster khas Lampung, pemuda dengan kamera di leher, hingga para tokoh adat dengan pakaian tradisional. Ada yang datang berjalan kaki, ada yang naik motor berboncengan, bahkan ada yang datang dari luar daerah, Tanggamus, Metro, hingga Bandar Lampung. Mereka datang bukan karena undangan resmi, tetapi karena rasa ingin tahu dan antusiasme yang tulus.

 

Suasana pagi itu begitu cair. Tenda-tenda kecil berdiri, mengelilingi panggung utama tempat perlombaan Tari Kreasi Hikayat Sang Timur berlangsung. Di sana, para peserta menampilkan interpretasi mereka terhadap kisah Sang Timur, sebuah naskah yang ditulis langsung oleh Kapolres Pringsewu sendiri.

 

Naskah ini menjadi jantung dari festival. Sang Timur adalah bentuk konkret dari gagasan “cultural policing” yakni konsep yang mencoba memadukan pendekatan keamanan dengan nilai-nilai budaya setempat. Bagi sebagian orang, istilah ini mungkin asing, karena kita lebih terbiasa melihat polisi sebagai aparatus penegak hukum yang mekanistik ketimbang humanistik. Tapi melalui Sang Timur, Yunnus Saputra mencoba menawarkan narasi lain: bahwa keamanan sosial tidak hanya dibangun dengan hukum, tetapi juga dengan budaya yang mengikat manusia melalui nilai-nilai, bukan sekadar aturan.

 

Dari Skeptisisme ke Kekaguman



 


Saya datang ke festival itu dengan rasa skeptis. Sebab, sering kali, acara berlabel “budaya” hanyalah topeng dari kegiatan formalitas. Hanya ramai di luar, kosong di dalam. Tapi Pringsewu Cultural Festival justru menampar skeptisisme itu.

 

Selama tiga hari penuh, ribuan warga datang silih berganti. Sejak pagi hingga malam, mereka bertahan menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan. Tidak ada rasa canggung, tidak ada jarak antara aparat dan masyarakat. Halaman Polres itu mendadak berubah menjadi alun-alun kebersamaan, tempat orang-orang berdiri di bawah langit malam, menatap panggung, dan merayakan sesuatu yang tak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan kata-kata: rasa memiliki.

 

Di hari ketiga (acara puncak festival) panggung besar disiapkan untuk dua pertunjukan utama: sendratari Sang Timur dan wayang kulit oleh Ki Sujiwo Tejo. Nama terakhir ini tentu tidak asing bagi publik Indonesia. Ia dikenal bukan hanya sebagai dalang, tetapi juga filsuf, budayawan, dan pengamat kehidupan yang piawai menafsirkan dunia dengan bahasa simbol. Kehadirannya di Pringsewu memberi lapisan makna baru pada festival ini.

 

Dan benar saja: malam itu, suasananya magis. Ki Sujiwo Tejo memainkan lakon Sang Timur dengan perpaduan humor khasnya, kritik sosial yang tajam, dan lirisasi bahasa yang memukau. Pertunjukan berlangsung hingga dini hari, namun penonton tak beranjak. Mereka bertahan di udara dingin Pringsewu dengan tatapan penuh perhatian. Saya melihat anak kecil di pangkuan ibunya, para remaja duduk bersila di tanah, hingga beberapa polisi berjaga di pinggir lapangan sambil ikut tersenyum.

 

Bukan sekadar tontonan, tetapi tatanan baru dalam relasi sosial, bahwa budaya bisa menjadi jembatan antara institusi negara dan masyarakat.

 

Untuk Siapa Sebuah Festival Diadakan?

 

Melihat antusiasme itu, saya teringat kembali pada pertanyaan lama yang sejak awal menggantung: untuk siapa festival diadakan?

 

Pringsewu Cultural Festival memberi jawaban yang sederhana namun dalam: festival sejati adalah milik masyarakatnya. Ia bukan ruang yang eksklusif, bukan panggung untuk meneguhkan status, melainkan wadah tempat warga merasa dilibatkan. Ia lahir bukan dari keinginan mempercantik citra, tetapi dari upaya memahami denyut nadi sosial di sekelilingnya.

 

Yang dilakukan AKBP M. Yunnus Saputra dan timnya, menurut saya, bukan sekadar kegiatan kebudayaan, melainkan strategi kebudayaan yang berakar. Saya tahu dari berbagai cerita bahwa festival ini bukan dibuat mendadak atau “asal ramai”. Ia telah melalui proses perencanaan panjang, diskusi lintas-komunitas, dan penulisan naskah yang memakan waktu berbulan-bulan. Artinya, ini bukan festival yang diciptakan oleh “tangan pemerintah”, tetapi oleh tangan masyarakat yang dipegang dengan lembut oleh negara.

 

Dan justru di situlah letak revolusionernya. Dalam masa ketika institusi negara sering dianggap dingin dan birokratis, muncul gagasan bahwa keamanan bisa didekati dengan kebudayaan—bahwa polisi bisa membangun keakraban bukan hanya lewat patroli, tapi juga lewat panggung tari, naskah drama, dan tembang wayang.

 

Festival Bukan Gimmick

 

Sering kali, festival dijalankan dengan logika konsumsi: semakin meriah, semakin baik; semakin besar sponsor, semakin sukses. Tapi Pringsewu Cultural Festival menunjukkan wajah lain. Bahwa kemegahan bisa hadir tanpa kehilangan kedekatan. Bahwa kesederhanaan bisa memancarkan wibawa, jika dijalankan dengan niat yang tulus.

 

Festival bukanlah gimmick “asal ada kegiatan di tengah publik”. Ia bukan hanya urusan panggung dan lampu, melainkan cara masyarakat menegosiasikan makna dirinya di tengah perubahan zaman. Ia menjadi ruang di mana warga bisa mengingat kembali siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan nilai apa yang ingin mereka bawa ke masa depan.

 

Dalam konteks itulah, Pringsewu Cultural Festival menjadi penting: ia bukan sekadar acara tahunan, tapi manifesto kecil tentang bagaimana kebudayaan dapat mengembalikan kemanusiaan di tengah sistem yang sering terlalu kaku.

 

Ketika wayang Sang Timur dimainkan oleh Ki Sujiwo Tejo di bawah langit Pringsewu, saya teringat pada satu hal: dalam cerita wayang, Timur sering melambangkan arah matahari terbit, tempat lahirnya cahaya. Mungkin itulah yang ingin dikatakan festival ini: bahwa dari sebuah kabupaten kecil di Lampung, sedang lahir cahaya baru tentang cara kita memahami kebudayaan.

 

Bahwa kebudayaan bukan milik seniman saja, bukan milik kementerian, bukan pula milik sponsor besar. Kebudayaan adalah milik semua orang yang mau duduk bersama, mendengarkan satu sama lain, dan percaya bahwa keamanan, keteraturan, serta kedamaian hanya mungkin tumbuh jika kita lebih dulu belajar memahami manusia sebagai makhluk budaya.

 

Malam itu, di antara tawa dan tepuk tangan yang bergema, saya melihat sesuatu yang jarang saya temukan di festival-festival lain: keintiman sosial yang tak dibuat-buat. Tidak ada sekat antara aparat dan warga, antara penonton dan pemain. Semua larut dalam satu irama: irama kebersamaan.

 

Mungkin, itulah makna sejati dari sebuah festival yang merupakan perenungan yang riuh, tempat kita mengingat kembali bahwa di balik segala hiruk-pikuk dunia modern, kebudayaan tetap menjadi cara paling manusiawi untuk menjaga kehidupan bersama.

Ads