Advertisement
![]() |
Pertunjukan "Aku Chairil" karya Rudolf Puspa oleh Teater Keliling Jakarta |
Judul artikel ini aku ambil dari tanggapan sobatku Natanael Ari, fotografer yang piawai memainkan kamera digital maupun yang jadul dengan hasil yang wao begitu. Beliau membaca catatanku tentang pentas Mencari Guru Bangsa di Pojok seni.com dan juga menjadi penonton pentasnya serta memotret. Lalu spontan menanggapi secara singkat padat dan terasa membawa pesan yang menggetarkan : “berfilsafat melalui cerita .........”
Melalui ruang ini aku ucap terima kasih kepada beliau tiap pagi selalu mendengarkan siar pagi atau lebih tepatnya “nyinyir” pagiku. Yang sangat merasuk kedalam hatiku adalah tanggapan beliau yang singkat padat dan berat. Bagaimana tidak berat nyinyiran seorang lansia dirasakan begitu dalam hingga disebut berfilsafat. Rasanya aku menulis sekena yang dapat aku tangkap dari baris-baris kata yang lewat diatas kepalaku bagai pemain perdagangan saham melalui layar laptopnya dimana sederetan angka-angka bergerak terus menerus dan yang terasa terkena di otak dagangnya langsung klik. Apa mereka itu termasuk berkegiatan yang mengandung filsafat? Hah belum ada penelitian ya abaikan saja.
Kembali ke artikel yang mendapat tanggapan bung Natanael Ari itu aku jadi berpikir keras bahwa menulis artikel atau mungkin juga cerpen, novel, skrip drama selalu mengandung nilai-nilai filosofi? Jika benar maka seperti yang sering dikatakan bahwa selain tertulis ada yang tersirat. Artinya dibalik kata, kalimat yang kita baca ada kandungan makna yang merupakan isi visi misi dari penulisnya. Jika kita sepakat soal ini maka aku menjadi semakin yakin bahwa dalam dunia kesenian yang aku geluti lebih dari 50 tahun ini apa yang kita ucapkan di panggung mengandung “filsafat” seperti yang dikatakan pak Ari. Bahkan barangkali bisa diyakini semua karya seni punya fikosofi yang bertengger dibelakang gambar, kata, gerak tari, musik. Bahkan dalam teater yang non verbal pun punya makna yang bukan bisu.
Pada tahun 1969 ketika kenal almarhum pak Wayan yang lima tahun belajar tari di Santiniketan India aku mendengar jawaban yang maknanya serupa. Ketika aku tanya kenapa pelatih tari Bali tidak menggunakan hitungan angka tapi melalui mulut menyuarakan suara gamelan yang iramanya adalah irama tarian yang dilatihkan. Beliau berkata bahwa menari bukan berhitung tapi mengungkapkan cerita lewat gerak2 tubuhnya. Gerak itu tumbuh dari suasana batin atau rasa dari cerita yang dikandung oleh tarian. Oleh karenanya anak kecilpun di Bali ketika menari terasa dan terlihat hidup. Tarian adalah sebuah gerak kehidupan. Jika menggunakan hitungan one two three dan seterusnya maka pengucapan angka-angka itu lagunya akan sama saja bahkan oleh pelatih tari manapun. Akibatnya sang penari ketika ditanya apa yang terkandung dalam gerak tangan, kepala, kaki ketika menari maka tak tahu apa jawabnya karena hanya tahu tangan dan lain sebagainya bergerak ikuti hitungan saja. Maka tepat apa kata pak Ari “berfilsafat melalui cerita....”
Masih tentang tari Bali untuk menggenapkan penjelasan diatas maka dalam “kecak” ketika berlatih tentu saja sukar untuk memakai angka-angka dalam menciptakan gerak. Selanjutnya karena aku berada dalam kisaran seni teater menanggapi pendapat pak Ari merasa terdorong untuk lebih yakin bahwa dalam berteater aku memilih sibuk bicara tentang isi yang dikandung di hati, pada perasaan, pada emosi yang nyata tak mungkin di tangkap lewat hitungan. Yang aku pahami bahwa rasa memiliki irama dan irama adalah suara dalam menggambarkan suasana kebatinan yang diungkapkan aktor teater. Dalam teori teater dikatakan bahwa irama adalah perubahan dari saat ke saat sejak awal pertunjukkan hingga berakhir. Bukan hanya yang ada di panggung yang melakukan namun pemain yang berada diluar menunggu waktu munculpun harus mengikuti sejak awal pertunjukkan. Bahkan para staf artistik juga melakukan hal yang sama. Mereka bukan mesin teknologi namun dibutuhkan kemampuan ikut berselancar dalam irama pertunjukkan sehingga ketika menyalakan lampu atau menggeser layar atau memainkan alat musik juga merupakan ungkapan lewat rasa. Mereka bukan tukang tapi termasuk seniman dan seniman adalah yang berkarya seni.
Jika sering dikatakan filsafat adalah hasil kegiatan pikiran yang terus menerus bekerja maka ketika seni dikatakan memiliki nilai-nilai filsafat melalui cerita maka seniman tentunya seharusnya memiliki kelebihan yakni meleburnya antara otak dan hati. Dua kekuatan yang abstrak ini akan memiliki daya sentuh langsung ke otak dan hati penikmatnya melalui hasil karya seninya. Maka daya abstraksi menjadi sangat penting dimiliki seniman apapun. Dan untuk mencapainya memang perlu melalui jalanan panjang yang kadang terlihat seperti tak ada ujungnya. Dalam hal ini terhidang pengertian seperti yang sering dikatakan bahwa belajar tak ada habisnya. Namun perlu ditambahkan bahwa berkarya juga tak ada habisnya sehingga keduanya akan lebih mantap jika dilakukan bersama.
Menjadi teringat tahun 70 an ketika sedang ngobrol dengan mas Umar Kayam di kantin TIM tiba-tiba datang seorang anggota “teater ketjil” pimpinan Arifin C Noer yang mengingatkan aku bahwa waktu latihan sudah mulai. Aku dengan bangga sebagai seorang aktor pamit ke mas Kayam untuk latihan. Wah beliau tertawa sambil berkata “kamu kan aktor? Kok masih perlu latihan?” Kaget aku dengan pernyataan ini. Ciut rasa banggaku sebagai aktornya mas Arifin C Noer. Sambil jalan aku memikir-mikir dan tidak ketemu jawabnya dan latihan pun jadi terasa ada gangguan sampai ditegur mas Arifin agar aku serius latihan. Waktunya tidur malam menjadi tidak tenang dan aku terus mencari jawab dari kata2 mas Kayam. Benar juga sepertinya jika melihat pelukis, cerpenis, penyair, novelis seperti mas Kayam, tidak pernah terdengar mau latihan melukis atau mau latihan menyair, menulis cerpen atau novel. Mereka ya langsung saja melukis, menulis puisi dan sebagainya.
Aktor juga seniman maka kegiatan utamanya adalah berkarya teater. Lalu kenapa harus latihan? Lewat daya pikir positif akupun mendapat jawaban bahwa dalam ruang yang disebut berlatih justru merupakan ruang “berkarya”. Kan aktor adalah seniman sehingga bisa berkarya dimanapun setiap saat. Berkarya tentu bukan kegiatan main-main atau becandaan melulu tapi disana ada keseriusan memainkan karakter peran yang sudah ditetapkan. Jadi sejak reading seorang aktor bisa dikatakan sudah berkarya. Hanya di ruang latihan belum hadir penonton selain teman2 yang terlibat dalam produksi. Maka jika mau berpikir positif jadikanlah mereka penonton sehingga bisa mendapatkan tanggapan yang merupakan penilaian langsung terhadap permainan kita. Tanpa alat bantu wardrobe, tata lampu, tata rias berhasil memainkan dengan penuh daya sentuh dan pikat maka benar memang aktor juga seniman. Bukan fisik tapi isi yang utama. Jika filsafat adalah hasil karya pikir terus menerus maka acting pun tidak salah dikatakan seperti itu bahkan ditambah dengan merasakan terus menerus. Di hari pertunjukkan maka itulah puncak hasil karya sehingga apa yang dikatakan pak Ari memang benar yakni “berfilsafat melalui cerita.....”
Tahun 1971 Dery Syrna sang pendiri teater keliling yang masih kuliah di Univ Trisakti jurusan arsitektut bersama teman-temannya nonton pentas teater ketjil. Ada adegan dimana seorang aktor Hasyim namanya expresi wajahnya sedang in action di paling depan. Dery beserta teman-temannya yang usil menggoda Hasyim namun rupanya Hasyim tetap bermain tanpa berubah expresinya. Terus bercerita dengan bagus sehingga membuat Dery dan teman-temannya heran kok ada orang tidak terganggu oleh godaan mereka yang mungkin di tempat kuliahnya pasti gempar dan terganggu. Sejak itulah Dery jadi tertarik dan masuk teater ketjil ikut latihan.
Sebuah catatan yang semakin menyadarkan bahwa dalam latihan teater aktor perlu memiliki kesadaran di ruang latihan sudah berada di pentas dimana akan hadir penonton. Kesadaran bahwa latihan adalah juga sebuah pertunjukkan maka akan memupuk dan mengasah kemampuan untuk terus menerus berada dalam suasana berkarya. Dengan demikian berkarya itu memang harus dilakukan terus menerus seperti hukumnya filsafat sehingga bernilai universal. Apa jadinya yang didapat dari hasil latihan 4 jam tapi yang serius ternyata hanya satu jam? Bagaimana akan mampu merasakan irama petunjukkan yang adalah kekuatan utama atau landasan pacu, atau pondasi yang harus kuat agar bangunan irama pertunjukkan tertata apik mulai sejak yang dinamakan hari latihan hingga hari “H”. Menjadi semakin jelas bahwa apa yang dikatakan pak Ari adalah sebuah nilai yang unggul yakni “berfilsafat melalui cerita....”
Terima kasih sudah membaca dan mohon berikan komentar atau tanggapan anda sebab akan mengasah daya otak dan hati dan semakin “berfilsafat melalui cerita .....”
Horas.
Bojongsari Depok 10 Oktober 2025.
Rudolf Puspa
081310678865