Advertisement
Oleh Arung Wardhana Ellhafifie
Sejak menonton serial webnya—pernyataan di atas langsung terlintas di benak saya, tetapi saya belum sempat menuliskannya. Keyakinan saya akan realisme magis film ini semakin kuat setelah menontonnya di bioskop, di Paragon XXI, Surakarta, sepanjang Juli 2025 pada beberapa kali waktu dan setiap dalam perjalanan pulang dengan sepeda motor butut; keyakinan saya semakin lama semakin kuat untuk menulis ini dari perspektif genrenya. Khususnya realisme magis tanpa mesti berpikir panjang untuk menganalisis, menginterpretasi, dan mengevaluasi dari hal lainnya.
Mengingat popularitas film ini, saya semakin penasaran untuk mencari tahu apakah ada yang pernah menulis di situs web tentang perspektif ini; betapa mengejutkannya bahwa sudah ada, yaitu tulisan oleh; Annisa Wahyu Budiyani[1], di antara beberapa teks magis dalam beberapa artikel. Untungnya, artikelnya cukup singkat dan berbeda dengan pandangan saya, mengapa saya menyebutnya realisme magis. Keputusan saya sederhana—mungkin dianggap sepele, mengapa memilih menulis dari perspektif genre—di mana banyak menyebutkan film ini fantasi romantis, konsep fiksi-ilmiah (science-fiction)[2], dan sebagainya.
Di Indonesia, juga belum banyak penelitian yang membahas film dengan gaya realisme magis, di antaranya ditemukan realisme magis dalam Film “Jagat Arwah” karya Ruben Adrian (Tinjauan Lima Ciri Realisme Magis Wendy B. Faris) ditulis Muhammad Rizky Inzaghi, Mulyo Hadi Purnomo, dan Siti Komariya (2024), dan penelitian “Penyutradaraan Film Fiksi “Pergi Menghias Bapak” dengan Gaya Realisme Magis, yang ditulis Agge Akbar (2021). Sejauh ini, baru dua penelitian tersebut yang ditemukan di internet dalam film-film Indonesia. Selebihnya belum saya temukan analisis lainnya yang menunjuk langsung pada genre realisme magis.
Sebagaimana saya jelaskan mengapa saya menganalisis realisme magis dalam film ini—cukup relevan dengan realisme magis yang dihadapi saya (sebab itu, sangat mungkin sisipan autobiografis dimasukkan ke dalam tulisan ini), tentu kita pun perlahan-lahan memasuki film ini bersama-sama untuk mereproduksi pengetahuan bersama. Sebagai seseorang yang cukup familiar dengan dunia produksi audiovisual, kurang lebih delapan belas tahun, meski juga cukup gagap dalam menganalisis sebuah film. Saya sebenarnya cukup berhati-hati dalam memasuki genre ini, jadi setiap kali saya memasuki sebuah film adegan demi adegan, kegugupan saya terus menghantui.
Film ini dibuka dengan ilustrasi musik yang cukup mengimpresikan pada realisme magis, bersamaan dengan narasi Sore (Sheila Dara); Tahu gak kenapa senja itu menyenangkan? Kadang dia merah merekah bahagia, kadang dia gelap hitam berduka. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya. Sebelum disuguhkan dengan kehadiran Jonathan (Dion Wiyoko) berada di tengah kutub utara, seorang fotografer yang tinggal di Kroasia untuk alasan tertentu, yang paling kentara adalah untuk bertemu ayahnya—terakhir kali Jonathan bertemu dengannya adalah saat saya berusia 4 tahun, saat ditinggal ayahnya yang lebih memilih perempuan lain di Kroasia.
Latar belakang ini langsung saja terefleksif pada pengalaman saya, tentu saja nasib Jonathan tidak senaas nasib saya. Saya ditinggalkan mendiang ayah (baru delapan tahun lalu meninggal), saat saya masih dua bulan dalam kandungan ibu; dan baru ingin menemui ayah saya di usia 17 tahun (setelah pertemuan pertama di usia 12 tahun)—ini secara tidak langsung nasib Jonathan telah terefleksi ke mana-mana. Bagaimana hidup saya pun telah mengalami realisme magis dalam kehidupan diri sendiri sembari menontonnya perlahan-lahan melalui pengalaman frustasinya Jonathan dengan bersandar pada lensa fotografi untuk terus melanjutkan kehidupan dengan latar belakang pelik, sama halnya saya dengan bersandar pada tulisan untuk terus berdiri kokoh pada hidup yang juga tak kalah magisnya berdasar banyak cerita orang lain—kalau magis sependek pemahaman ingin dikaitkan dengan semangat yang lebih untuk melakukan pada sesuatu yang ada di luar ‘lainnya’ atau hal di luar kendali tubuh kita.
![]() | ||
Gambar 2. Sore di pertengahan pertemuan dengan Jonathan (Foto: AWE) | Gambar 2. Sore di pertengahan pertemuan dengan Jonathan | (Foto: AWE) |
Realisme magis mulai menyusup perlahan ketika Jonathan terbangun di pagi hari, terkejut tepat di sampingnya duduk Sore dengan tatapan magis; yang kemudian ia panggil sebagai istri masa depan—yang bisa dikatakan semacam fantasi, tetapi sangat berkaitan dengan realisme magis. Jonathan menduga ini sebuah lelucon yang dibuat oleh Karlo (Goran Bogdan), agennya Jonathan sekaligus aktor sebagai hadiah ulang tahun Jonathan. Seperti semua adegan berikutnya ketika Sore mengetahui dengan sangat baik secara detail asal usul Jonathan dari 12 bersaudara, tanpa memiliki satu adik, bahkan diingatkan untuk tidak lupa meninggalkan ponsel dan dompetnya, dan serangkaian adegan alogika dalam perspektif Jonathan—yang diketahui secara mudah oleh Sore.
Misalnya, kejadian di depan mata Sore, ketika Jonathan menabrak seseorang di tengah jalan—yang sebelumnya sudah diingatkan. Kejadian lainnya, berhadapan dengan Elsa (Lara Nekic) yang Sore kenal sebagai wanita yang ingin mendikte Jonathan, hingga peringatan kepada Jonathan agar berhati-hati agar tidak terpeleset setelah berdebat dengan Elsa, ketika Sore mengaku sebagai istrinya membuat Elsa begitu kesal hingga ia memercikkan segelas air ke wajahnya yang tidak mengenai Sore, karena ia menutupi wajahnya dengan menu restoran. Jonathan pun terlepeleset di restoran tersebut. Bahkan kejadian yang paling mulai berdamai dengan situasi magis ini, tentang foto yang hendak dipamerkan; sekumpulan wajah orang tua yang dipresentasikan kepada David (Borko Peric), promotor pameran, yang kemudian disukai oleh David atas saran dari Sore, di luar seberapa banyak atau jenis lensa apa, Jonathan menggunakannya dalam memotret, Sore selalu tahu setiap detail tentang Jonathan.
Kita semua tahu bahwa realisme magis sering dijumpai dalam seni lukis dengan tokoh-tokohnya; Giorgio de Chirico, Heri Dono, René Magritte, Salvador Dalí, Paul Delvaux, dan beberapa pelukis lainnya; yang kemudian diadopsi oleh sastra; Gabriel García Márquez, Eka Kurniawan, Isabel Allende, Danarto, Laura Esquivel, Mikhail Bulgakov, Ayu Utami, dan beberapa penulis lainnya, maupun beragam seni lainnya, jika kita merujuk pada serangkaian adegan bagaimana Yandy Laurens sebagai sutradara menghadirkan Sore, seolah-olah itu adalah fantasi bagi Jonathan—namun kemauan untuk menjadi berharga dalam keseharian Jonathan, seolah-olah ia tidak menyayangi tubuhnya dengan alkohol, rokok, hidup yang tidak teratur, tidur sembarangan atau sering begadang, atau tidak memiliki sistem operasi yang ‘sehat’. Maka film ini, langsung menunjuk pada metafora yang disodorkan Yandy lewat Sore, untuk memunculkan semacam konflik batin, antara dirinya dengan kehidupan Jonathan—yang sering ditanya bahwa Jonathan, jika ia tidak mengubah cara hidupnya seperti itu, ia akan mati karena serangan jantung. Maka kehadiran Sore realistis bagi kehidupan Jonathan—tentu realistis bagi kehidupan moralnya yang rentan terhadap bagaimana mengubah kehidupan yang telah menjadi habitus dalam realitasnya, namun bagi kita, bagi saya sebagai penonton, ia adalah bagian dari imajinasi Yandy yang memberikan kritik implisit atas habitus seseorang dalam sebuah pola kebiasaan yang bisa dikatakan buruk—bahkan, ia bisa muncul lewat kehadiran yang tak terduga, sekaligus juga menjadi kode budaya lewat film ini terkait nilai, moral, norma, dan etika kita sebagai individu.
Mari saya rujuk lima poin realisme magis yang ditawarkan Wendy B. Faris, profesor bahasa Inggris dan sastra komparatif di University of Texas di Arlington, Amerika Serikat[3], sekiranya relevan dalam film ini. Pertama kita telaah semua unsur yang tak tereduksi; (irreducible elements), unsur-unsur tak tereduksi dalam film ini, bagaimana waktu menjadi unsur yang berharga—unsur yang menciptakan sebuah kompleksitas antara masa depan dan masa kini, di mana waktu selalu ‘dipermainkan’ ketika Jonathan melakukan kesalahan dengan diam-diam menghisap sebatang rokok, yang selalu diketahui oleh Sore; dan kemudian waktu terulang kembali dari tempat tidur—di mana Sore selalu mengulang dan mengulang lagi dan lagi (dengan perubahan nafas yang terengah pada setiap pengulangan tersebut). Engahan dalam setiap kebangkitan Sore dari kematiannya di samping Jonathan, membawa saya tersenyum kecil atas hal yang magis ini, begitu membosankannya berhadapan dengan orang yang keras kepala.
![]() |
Gambar 3. Pertemuan Karlo dan Sore di suatu waktu (foto. AWE) |
Setiap kali Jonathan ketahuan merokok, yang selalu berakhir dengan mimisan dari hidungnya Sore. Mimisan bisa terjadi di mana saja. Entah itu di halaman belakang, di bus, dan ruangan mana pun; sebagai bagian dari konflik internal atas nilai, moral, norma-norma dan etika seseorang dalam waktu dan dimensi mereka sendiri.
Konflik waktu dan dimensi yang paling terlihat, di mana hal yang sangat terlihat ketika Sore sedang mencari pekerjaan, hingga ia menjadi seorang desainer di tempat Marko (Livio Badurina). Kemudian muncul Jonathan dan Elsa yang hendak mengukur gaun pengantin, di mana Sore dengan tenang mengukur tubuh Jonathan - sambil menciptakan konfliknya sendiri. Sebagai penonton tentu saja mengajukan pertanyaan sederhana, waktu yang manakah ini, apakah sekarang, atau masa lalu, karena usia Sore diakui sekitar seratus tahun, bahkan lebih, tetapi bagaimana Sore begitu tenang mempermainkan emosinya tentang masa depan, atas ketidakpastian yang tentu saja menyelimuti Jonathan - yang tidak berkurang oleh apa pun.
Konflik waktu itu, termasuk pertemuan antara Sore dan Jonathan di akhir ketika pameran foto sedang berlangsung, di mana Sore yang tidak mengenal Jonathan, sementara Jonathan seolah melihat waktu, dan waktu kemudian dilemparkan ke dalam kehidupan Sore sebagai fotografer di atas beruang kutub, tidur di atas kapal sendirian seolah menggantikan habitus Jonathan selama ini. Sehingga mereka pun saling berpelukan dengan melemparkan serangkaian adegan yang romantis dan mendalam, dan semuanya berkesan. Lagi-lagi waktu telah menciptakan konflik antara film dan penonton.
Film romantis ini, kemudian terasa berat sesaat, bahkan rumit jika tidak terbiasa dengan konteks mesin waktu saat melihat alur ceritanya. Tentu saja, apakah Jonathan sudah mati atau masih hidup, atau sebaliknya. Siapakah Sore sebenarnya—itu tidak bisa diterjemahkan ke dalam plot film romantis biasa yang selama ini sering kali jadi suguhan mainstream, karena Yandy punya gaya dan kecerdasannya sendiri sebagai seorang sutradara.
Kedua, dunia fenomenal (phenomenal worlds); lagi-lagi konflik internal waktu antara Sore dan Jonathan, keduanya diperankan oleh Sheila dan Dion, menurut saya itu adalah semacam kesepakatan untuk menciptakan waktu yang berbeda. Saya kira Yandy punya metode khusus dalam menciptakan filmnya atau tepatnya dalam membuat sistem latihan aktornya agar konflik waktu mereka seolah sama, seolah mereka ada di masa kini yang setara - seolah antara masa kini dan masa depan, yang kemudian masa lalu dengan sendirinya diseret begitu saja. Seperti hafalan di kepala Sore dalam membaca masa lalu Jonathan - makna dalam pandangan ini, untuk menciptakan masa depan yang lebih berharga, bagaimana Jonathan membayangkan pameran fotonya di Madrid nanti, apakah akan sukses atau tidak.
Pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena dunia yang kerap terjadi, jika masa lalu dinavigasi dengan baik, lewat Sore, dunia serumit masa depan, saat ia cukup mengenal dirinya dengan masa lalu, berdamai dengan masa lalu, tanpa amarah, dendam, dan masa depan yang lebih tenang, seolah menunggu - yang hingga kini, itu juga semacam emosi yang kerap menghancurkan eksistensi kita sebagai manusia. Sore adalah semacam eksplorasi nilai, moral, norma, dan etika, tergantung bagaimana kita memposisikan setiap kepahitan dalam diri, luka yang seharusnya mampu didamaikan. Terutama luka dalam keluarga, yang tak kalah fenomenalnya dengan dunia yang lebih luas—rumah Jonathan, bagai negeri kecil yang merefleksikan dunia yang lebih global.
![]() |
Gambar 4. Ekspresi kesal Jonathan menghadapi Sore(Foto: AWE) |
Ketiga, realitas bercampur magis (merging realism); hal ini berkaitan dengan poin pertama di atas, yang menuntut kesadaran bahwa dalam gaya hidup, kebiasaan, dan habitus yang kita jalani bersama dan berkelanjutan. Mustahil untuk pulih dengan mudah dan instan jika kita tidak memiliki sistem operasi yang berbeda dari sebelumnya. Sore bagaikan mesin waktu yang mengoperasikan kehidupan Jonathan, mengingatkan akan kehadirannya di Kraosia.
Di mana waktu terulang kembali dengan Sore di rumah ayahnya. Namun kenyataannya Jonathan tiba sendirian di rumah ayahnya, langsung dipertemukan kembali dengan istri barunya—yang sebelumnya diawali dengan catatan diary: Andai saja waktu dapat diputar kembali, Papa dan Mama tak akan pernah bertemu. Kalimat ini kembali merefleksikan realisme magis saya, ketika saya harus berdamai mencari ayah saya di kota lain—untuk bertemu kedua kalinya setelah masih kanak-kanak; Dengan berat hati, saya menitikkan air mata ketika melihat Jonathan meninggalkan foto semasa kecil bersama ayahnya—di mana sang ayah (Mathias Muchus) tak lagi menemukan sosok Jonathan yang telah berlalu—lalu, jika dalam alur cerita yang biasa, ke mana Sore pergi?
Dalam film ini, realitas bercampur dengan magis, di mana Sore tak pernah ada semasa hidup Jonathan, kecuali sebagai metafora yang mengubah nilai, moral, norma, dan etika Jonathan. Realitas dari perspektif masing-masing di antara Sore dan Jonathan, dan orang-orang di sekitarnya yang terlibat. Realitas di antara penonton atas pengalaman yang langsung meluncur dari ingatannya masing-masing.
Kempat, keraguan yang menggetarkan (unsetting doubts); keraguan setiap tokoh, terutama Jonathan, ketika diminta berjanji untuk tidak minum alkohol dan merokok. Lagi-lagi, tatapan Jonathan begitu datar, penuh keraguan yang mendalam—meskipun di mata Sore, ia yakin Jonathan tidak akan berubah, di mana saya merasakan demikian. Di sini, kecerdasan sutradara menciptakan sistem pelatihan aktor, mungkin dibantu oleh pelatih akting film—untuk memasuki ranah keraguan yang menggetarkan dalam realisme magis.
Lebih jauh lagi, keraguan penonton, yang banyak disebut fantasi romantis, kemudian langsung dibatalkan; yang lebih tepat disebut ‘horor’, seperti yang ditulis Kenia Intan: “Mati berkali-kali untuk orang yang keras kepala, apa yang kurang ‘horor’ dari hal ini?” Dengan kata lain, ia telah mati berkali-kali, maka ‘kehororan’ menyelimuti sebagian penonton—yang menurutnya bahwa bukan tugas perempuan untuk mengubah laki-laki[4], yang mungkin tidak demikian belum sepenuhnya memasuki ranah gender, antara laki-laki dan perempuan, meskipun saya sendiri juga meragukannya. Saya kira Yandy tidak mengarahkan ke sana, sebab gender dalam hal ini juga sebagai metafora untuk menguatkan realisme magis dalam film ini menyusuri suatu penderitaan yang sama—bisa sangat mungkin penderitaan semacam demikian juga diderita oleh gender mana pun tanpa pandang bulu, maka saya kira konsep setara diam-diam terselip dalam film ini.
Di balik penderitaan Jonathan—ada budaya patriarki di dalamnya (yang hendak diretas), termasuk penderitaan psikologis saya, yang tidak mendapatkan kasih sayang yang dekat dari ayah kandung dalam bertahun-tahun. Namun, waktu menunjukkan tepat pukul 08:25 pagi di samping Jonathan, setiap kali ia gagal mengubah kebiasaan buruk Jonathan. Bisa jadi manusia memang sangat garang, yang tidak mudah diubah, dan diperlakukan sebagai manusia yang lembut—sama seperti kelembutan dan keteguhan Sore yang selalu membuatnya mimisan dan mati setiap kali “kegagalan” terjadi.
![]() |
Gambar 5. Pelukan cinta Sore terhadap Jonathan (Foto: AWE) |
Waktu yang sama dalam setiap harinya yaitu, 08:25. Saya selalu mendengar keributan dari dalam dapur, tamparan, jeritan, bahkan tangisan, berulang-ulang, dan itu sangat menyiksa sepanjang hidup. Jonathan tersiksa oleh kehidupannya yang dipenuhi alkohol dan rokok—begitu pula saya juga tersiksa dengan meracau dan melukai diri atau membenturkan kepala ke dinding, meskipun ia menyadari bahwa semakin terbiasa, maka kematian sudah semakin menantinya.
Maka penderitaan itu seolah berakhir, dengan menjalani berulang-ulang. “Kegagalan” dalam hidup terasa menyenangkan, begitu pula tangisan Sore setiap kali ia terbangun dari ‘kematiannya’, untuk terus mengobarkan “kehancurannya” Jonatahan dengan berbagai cara. Saya pikir Sheila sangat mampu memasuki karakter realisme magis (sesekali dengan keluguannaya yang berulang-ulang harus dimulai dari awal), yang ia tafsirkan untuk menghidupkan Sore sebagaimana mestinya.
Kelima, disrupsi waktu, ruang, dan identitas (discruptions of time, space, and identity). Apa yang ‘diganggu’ Yandy melalui waktu? Tentu saja, ia bermain-main dengan waktu sebagai pengalih perhatian—jika ia tidak ‘mengganggu’, masa lalu dan masa kini bisa terasa sama, tetapi ini bisa sangat terasa tentang permainan waktunya.
Terlebih lagi, ketika layar sebagai ruang, yang kemudian gambar cut to cut cepat dari rangkaian adegan yang telah dilalui antara Sore dan Jonathan, dengan alunan musik yang menghentak, beat cepat, ala rocker, membuat seisi ruang sinema tersentak bangun. Barangkali saya menduga dalam hal ini, musik itu pun sebagai penguat realisme magis dalam bentuk lainnya. Musik ibarat sangkalala pada hari kebangkitan, di tengah kebanyakan penonton yang banyak mengajukan kritik atas komposisi musik tersebut.
Kehadiran Sore juga dapat dipahami sebagai sebuah gangguan yang mungkin ‘tak berfungsi’, yang mana sering kali metafora semacam ini hadir di lingkungan kita. Namun kita tak menyadarinya setiap gangguan yang menyelinap di antara keasyikan atas ketidakpastian ini. Begitu pula gangguan waktu ketika di ruang pameran; ketika Sore dan Jonathan berpelukan, juga gambar tervisuaslisasi cut to cut, seolah memiliki waktu dan ruang yang paralel bersama melalui tindakan yang sama, yang telah dilalui keduanya—relevan dengan konsep setara yang diusung secara tersembunyi tanpa membedakan gender mana pun keharusan untuk mengubah sesuatu yang cenderung dilihat adalah tugas perempuan.
Gangguan ini juga, seolah-olah Sore juga merupakan seorang fotografer di masa lalu. Realitas di masa lalu, yang dibayangkannya kini adalah Jonathan. Tidak ada yang pasti dalam realisme magis, tapi ketidakpastian ini bisa sangat terjadi hadir dalam lingkungan kita masing-masing.
![]() |
Gambar 6. Jonathan berjalan sendiri depan rumah ayahnya (Foto: AWE) |
Kelima unsur di atas dalam realisme magis, Yandy mencoba membangun hubungan antara kehidupan nyata dan magis melalui batas-batas antarunsur yang telah terkoyak satu sama lain, sehingga tidak ada lagi batas sama sekali. Unsur-unsur tersebut disebut defocusing karena cerita tersebut memiliki realisme magis yang memecah kesatuan perspektif teks. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa nantinya setiap penonton dapat berubah dari romantis fantasi, kemudian menduga ‘horor’—sekalipun spoiler, dapat juga fiksi ilmiah—yang nampaknya saya ikut menampik genre ini, karena dibutuhkan teori-teori ilmiah dalam film untuk menjelaskan tentang waktu itu sendiri.
Segalanya dalam realisme magis dapat mengalami keraguan, antara adegan dan emosi yang dibangun oleh Sheila dan Dion, begitu kuat sehingga tidak memiliki makna yang tetap. Semuanya dapat terus bergerak. Semuanya dapat berubah antara menonton pertama kali dengan kedua kali, hingga ketiga kali memiliki impresi yang berbeda tentunya, seperti dalam adegan-adegan tertentu saya juga mengalami titik kebosanan, sebagai efek dari upaya untuk mengubah perilaku buruk Jonathan, juga tampak hambar di sisi kebersamaan di awal.
Terutama upaya untuk menghidupkan kembali kehidupan Jonathan yang ‘rumit’ namun penuh kemanjaan, yang terkadang dapat mengarah ke sisi psikoanalisis, bahwa maskulinitas sebenarnya adalah sisi femininitas. Pemanjaan diri feminisme yang secara diam-diam, sehingga realisme magis memiliki peluang yang sangat terbuka dari berbagai perspektif untuk memposisikannya. Saya pikir film ini telah dianalisis oleh sebagian besar dari banyak penulis dengan keraguan dan gangguannya masing-masing.
Saya juga tidak ragu untuk menghadapi tantangan ini, seperti saya menantang penderitaan menjadi ‘tersiksa’ oleh keserakahan laki-laki yang memiliki perempuan lain. Seperti ayah Jonathan, yang juga tidak bisa disalahkan dalam kasus ini—yang mungkin tidak benar-benar menemukan kenyamanan saat bersama ibu Jonathan (Maya Hasan). Juga mungkin sebaliknya kenyamanan itu muncul pada saat hidup sendirian dan hanya fokus membesarkan dirinya seorang, untuk menjadikan Jonathan yang ‘keras kepala’ dalam menjalani hidup.
Referensi:
[1] Sumber: https://www.kompasiana.com/annisa89021/687a1d0dc925c468bc6c6212/reviu-sore-istri-dari-masa-depan-kisah-romantis-yang-dibalut-realisme-magis?page=all#goog_rewarded, diakses pada tanggal 21 Juli 2025.
[2]Sumber: https://www.konde.co/2025/07/film-sore-istri-dari-masa-depan-merenungi-relasi-gender-dalam-romansa-lintas-waktu/, diakses pada tanggal 21 Juli 2025.
[3]Lih. Wendy B. Faris. 2004. Ordinary Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative. Nashville: Vanderbilt University Press.
[4]Sumber: https://mojok.co/pojokan/film-sore-istri-dari-masa-depan-itu-horor-bukan-drama-romantis/, diakses pada tanggal 21 Juli 2025.
[2]Sumber: https://www.konde.co/2025/07/film-sore-istri-dari-masa-depan-merenungi-relasi-gender-dalam-romansa-lintas-waktu/, diakses pada tanggal 21 Juli 2025.
[3]Lih. Wendy B. Faris. 2004. Ordinary Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative. Nashville: Vanderbilt University Press.
[4]Sumber: https://mojok.co/pojokan/film-sore-istri-dari-masa-depan-itu-horor-bukan-drama-romantis/, diakses pada tanggal 21 Juli 2025.