Advertisement
Salah satu hasil eksplorasi “Ngalang” karya Putri Novalita
(Foto: AWE)
Oleh Hoirul Hafifi*
(Lulusan Program Studi Seni Program Doktor ISI Surakarta (biar Mak saya baca dan tersenyum jikalau anaknya terus mencari pengetahuan sekalipun ‘rumit’ dan ‘ruwet’)
Saya membaca karya ini, bukan sebagai catatan kritis, bukan pula sebagai pembaca yang mengerti atau lebih memahami dari karya yang ditonton, tetapi bisa saja sebaliknya, hanya merekam sekumpulan impresi yang hadir di depan mata, yang kemudian dikaitkan dengan pemahaman atas pikiran orang lain sebagai sesuatu yang terjadi di antara sesama kita. Kami membahas pikiran sebagai tindakan yang terjadi di antara segelintir rekan yang saya kenal di sana, sebutlah M. Safrizal, biasa disapa DekJal dan Muhammad Nurazhariansyah, biasa disapa PakCik. Di mana kedai kopi, yaitu Bedjono, menjadi tempat untuk membahas pikiran setelah karya bergulir.
Saya pun menyadari bahwa dengan cara ini, saya berdiskusi, yang bisa saja berbeda dengan orang lain yang menonton di depan Galeri Kampus 2 ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta, tetapi ini adalah bagian dari usaha saya untuk menggerakkan pikiran Putri Novalita, dalam tugas akhirnya untuk Program Studi Seni Program Magister tentang karya “Ngalang” yang dibimbing oleh Dr. Dr. Eko Supriyanto, S.Sn., M.F.A., kemudian penguji Dr. Zulkarnain Mistortoify, M.Hum., sebagai ketua, dan penguji lainnya, Dr. Daryono, S.Kar., M.Hum. Sekaligus usaha saya untuk belajar dari kedua koreografer tersebut, yaitu DekJal dan PakCik. Hal utama, belajar/menyerap budaya secara global dari keduanya dalam konteks koreografi ruang Aceh dan Kepulauan Riau, khususnya Pulau Parit.
Sekali lagi saya tidak memiliki catatan kritis, tetapi bisa jadi untuk memperluas kemungkinan seseorang yang tidak mengerti tari, atau koreografi dalam tari (seperti saya), tetapi saya akan menggunakan pengetahuan lain. Dari bidang yang selama ini saya tekuni, sebut saja dramaturgi, meskipun sampai sekarang saya masih merasa ‘kesulitan’ untuk membicarakannya. Pikiran yang terbawa lewat Bedjono atau tulisan ini, juga mengandung makna mengambil momentum, keintiman yang ‘semu’ (mungkin) di antara kami bertiga yang membicarakannya, atau rasa saling percaya yang sejatinya juga kompetitif dalam menentangnya, atau saya coba menggunakan sisi yang lain, sebagaimana yang dilihat oleh seorang dramaturg.
Jika merujuk pada pengertian dramaturg; mitra dalam sebuah gerakan kolaboratif, suatu tindakan menemani, suatu langkah mendengar, melihat apa yang belum terlihat, berusaha peka terhadap sesuatu yang masih ‘rahasia’, untuk menuju tujuan bersama; mewakili “yang lain” dalam sebuah proses kreatif. Tidak hanya sebagai mata analitis dan intelektual dari luar kreator, tetapi juga tubuh yang berpikir, bertumbuh, dan berkembang bersama dengan sutradara atau koreografer tanpa adanya dominasi dari kedua belah pihak. Saya lebih melihat kepada pembaca dari luar, sebagai kolaborator yang bergerak bersamanya dalam sebuah gerakan yang melibatkan kedekatan dan jarak pandang terhadap sesuatu.
Sesuatu tentang persamaan dan perbedaan, yang mana posisi tersebut dapat diambil oleh MasE, sebagai pembimbing, biasa disapa demikian. Besar kemungkinan juga Putri lah yang menavigasinya hal itu dari awal—sementara MasE melihat suatu kemungkinan lain dari yang ‘tersembunyi’, karena menurut saya, setiap sutradara atau koreografer sudah memiliki pengetahuan dramaturgi masing-masing. Hanya saja mereka sadari atau tidak sebagai suatu gerakan kritis terhadap apa yang dilakukannya sendiri.
Interaksi antara dua perspektif yang berbeda dalam mewujudkan tujuan, bukan tentang pertunjukan yang ‘baik’ atau ‘buruk’. Saya tidak merasa ada wilayah di sana; saya tidak ‘membutuhkan’ itu, tetapi saya lebih membutuhkan karya pemikiran dramaturgi yang memberi pengetahuan untuk memperluas pemahaman, juga bukan aturan dalam sebuah karya. Saya ingin melihat dari hubungan khusus dengan berbagai elemen yang membentuk karya dan proses kerja di antara Putri dan MasE, lebih tepatnya melalui Bedjono—di mana karya ini kemudian diperbincangkan.
Ketiga latar belakang dan pengalaman kami yang berbeda; membahas hubungan kerja antara koreografer dan dramaturg, dalam hal perspektif yang berbeda pula tentang apa yang sudah dilihat. Perbedaan ini yang dapat membantu kita menyadari implikasi pandangan budaya di ruang kreativitas masing-masing dalam apa yang kita pikir untuk dilihat ulang setelah selesai menonton pertunjukan—yang terkadang juga abai setelah karya didesiminasikan. Tetapi lebih dari itu, mereka berdua memiliki perspektif yang berbeda karena memfokuskan perhatian pada sudut pandang berbeda pula, apalagi saya yang kurang terlalu tanggap memahami sebuah pertunjukan.
Perspektif dramaturg tentu berbeda dalam beberapa hal penting dari perspektif sutradara atau koreografer. Terkadang, perbedaan ini bisa tampak minimal atas celah-celahnya, tetapi penting, karena perbedaan itulah yang memungkinkan terjadinya pertemuan atau gerakan pemahaman antarsatu dengan lainnya, antara Putri dengan MasE—termasuk antar kami bertiga. Mari kita mulai pelan-pelan dengan hasil perbincangan saya dengan dua rekan ini!
DekJal mengawali perbincangan dengan visual yang dihadirkan oleh Putri dalam “Ngalang”. Menurutnya cukup memperlihatkan usaha yang serius. Usaha yang hubungannya dengan berpikir dalam konteks gerakan kritis yang terbagi dalam diri Putri sebagai kreator tampaknya juga berguna untuk mempertimbangkan kembali interaksi antara ruang dan penontonnya; ruang depan galeri kampus, semacam ‘semi hutan jati’ yang menjulang ke atas langit.
Saya menimpali: Berpikir sebagai gerakan menghadirkan alternatif melalui sebuah ruang. Saya kemudian berpikir lagi tentang representasional dari karya Putri, di mana makna dianggap sebagai hasil dari decoding tanda-tanda melalui sebuah fungsi atau tipe memperlakukannya dari ruang. Layaknya pemikiran hermeneutika—kalau saya menghubungkannya dengan filsafat; Schleiermacher tipe hermeneutik reproduktif, Gadamer tipe filosofis/produktif, Habermas tipe kritis, dan Derrida tipe radikal, atau yang lainnya seperti Dilthey, Heidegger, Bultman, dan lainnya hingga Žižek—juga berkaitan dengan konsep memahami, konsep sentral, kontribusi, dan area aplikasinya,1 sebagaimana saya membaca tentang ruang sebagai apa; mau dipahami sebagai apa, konsep sentralnya apa; kontribusi terhadap diri sendiri; atau area aplikasinya apa terhadap diri sendiri, lagi-lagi terhadap diri dulu di mana saya coba mengabaikan pikiran sementara tentang orang lain.
Ini mungkin membantu untuk memahami makna sebagai sesuatu yang telah “terjadi” dan hasil dari cara penonton digerakkan oleh pertunjukan atau diajak bersama-sama untuk bergerak bersamanya. Sebagaimana saya dan penonton lainnya, termasuk DekJal dan PakCik, yang sudah tiba di depan Galeri, kemudian diminta oleh salah satu tim produksi untuk turun sekitar seratus meter hingga sebelum jembatan di area kampus tersebut, sekejap kita merasa sudah dibingungkan oleh sebuah karya. Sangat lumrah dan hal itu sudah biasa ditemukan pada banyak karya, bukanlah hal yang Istimewa atau sesuatu yang celah.
Aktivitas salah satu performer di “semi hutan jati” (Foto: AWE) |
Sebab yang istimewa, yaitu berpikir sebagai gerakan yang terjadi di antara rekan-rekan penonton, maupun kedua rekan saya berbincang, dalam membantu memahami gerakan ini. Sekalipun di satu sisi, tengah menyelesaikan studi sebagai tanggungjawab atas diri Putri melalui “Ngalang”. Perbincangan ini justru membangun kerja dramaturginya melalui ruang yang berbeda; yang tidak juga dipahami sebagai keberlanjutan berpikir, melainkan sebagai interaksi antara apa yang dihadirkan di ruang depan Galeri yang dimaksud dan respons yang dapat memiliki atas agendanya sendiri dari “Ngalang”, khususnya Putri yang ditemani oleh MasE.
Pertanyaan tentang bagaimana makna “terjadi,” melalui beragam visual yang disinggung oleh DekJal, yang cukup menggoda; kemunculan semua performer melangkah perlahan-lahan membawa batang kayu dengan beragam bentuk maupun pose; performer yang memainkan dedaunan (sekalipun hanya semacam transisi, menurutnya)—yang kemudian mempertanyakan banyak peristiwa atau tindakan; mengapa itu terjadi—saya kira secara tidak sadar DekJal mempelakukan diri sebagai dramaturg kepenontonan, yang memiliki perspektif dramaturgi tentang elemen-elemen yang membentuk pertunjukan dan proses-proses pemilihan visual dan objek/subjek yang menghasilkannya; yang mesti dipikirkan dan dipertimbangkan secara serius pula.
Sementara itu, PakCik cukup vokal mempertanyakan; jika ruang arena kita perlakukan seperti ruang ‘panggung’ yang umumnya dilihat dari satu arah; lalu di mana letak permasalahannya? Bahkan, mengapa tidak, sepanjang ruang arena itu terwujud dari praktik-praktik satu arah - misalnya, penonton membentuk garis yang kemudian menuntut kesadaran DekJal akan tindakan seperti kehidupan sehari-hari di ruang selazimnya kedai kopi, pasar, lapangan, dan lainnya; itu juga ditandai oleh performer yang mengukir di kayu dari awal hingga beberapa menit kemudian, seperti perilaku sehari-hari. Ruang itu kemudian diberi semacam interpretasi - tetapi perlu juga arah yang jelas tentang perlakuan terhadap ruang semacam itu. Perlakuan seperti apa; dengan cara apa, dan bagaimana memahami ruang terbuka dengan garis satu arah. Dengan sendirinya membentuk banyak arah meskipun satu garis menandakan seratus meter di mana penonton saling melihat dari ujung ke ujung saat menonton pertunjukan - dari sini kami bertiga memulai diskusi tentang keinginan untuk memperluas pemikiran.
Dramaturgi Eksplorasi “Ngalang” Membuka Peluang Lainnya
Eksplorasi performer terhadap ruang; “semi hutan jati” (Foto: AWE) |
Akhirnya dari sekian banyak pertanyaan DekJal, saya coba memahami atau menduga bahwa Putri tengah menempatkan ruang “semi hutan jati” sebagai dramaturgi eksplorasi; atas tersedianya fondasi multidimensi secara komprehensif. Ruang difungsikan sebagai proses penciptaan seni, alat dan sumber daya yang digunakan untuk membangun seni, seni itu sendiri, dan akhirnya, menjadi sebuah produk artistik—yang baru kami saksikan. Ruang dijadikan tempat interpretasi kehidupan masyarakat Kalang yang diwujudkan melalui elemen yang menyoroti pohon jati dan kain berbentuk labirin; secara kolektif didiskusikan dengan performer maupun MasE untuk menjadi lebih ‘dekat’ dengan tubuhnya atas objek riset artistik Putri yang diajukannya.
Sebab dari sekian banyak performer, berasal dari lintas budaya, yang kemudian dikumpulkan menjadi satu; untuk saling berbagi pemikiran dan ide yang didukung oleh pengalaman Putri, riset mereka masing-masing terhadap pojon jati dan kain berbentuk labirin, dan pengetahuan MasE tentunya yang mengumpulkan sejumlah latar belakang untuk melihat kehidupan masyarakat Kalang. Dengan sendirinya, ruang difungsikan sebagai dramaturgi eksplorasi untuk menelusuri kompleksitas, yang nampaknya sengaja dibiarkan tidak secara mendetail memasuki hal-hal lainnya—meskipun pada satu sisi, justru saling bersinggung dengan banyak hal, seperti beririrsan dengan pertanyaan DekJal.
Kalau mengacu pada pemikirannya Schleiermacher—sebelum saya ke Habermas; Putri melalui dramaturgi eksplorasi pada ruang itu, sedang mereproduksi pemahaman dari mana dirinya berasal, bukan untuk dijelaskan kepada kita, termasuk nampaknya pada setiap performer; bagaimana diri memahami tubuhnya masing-masing atas kehidupan masyarakat Kalang, yang mungkin juga tak satu pun tidak pernah bersentuhan langsung ke sana atau tidak pernah pernah menghirup udara segar pohon jati di sana. Sebab itu, ruang difungsikan untuk mengenali kemampuan dirinya, atas objek yang tidak dikenali, tanpa harus dibebani terlebih dulu untuk mempelajari budaya masyarakat Kalang secara utuh.
Namun melalui pohon jati dan kain putih membentuk labirin, Putri sedang memahami bab per bab, kultur, kata, kebiasaan kalimat yang diucapkan, gaya sehari-hari di sana, sehingga dengan sendirinya Putri memiliki interpretasi gramatis melalui “semi hutan jati.” Di sisi lainnya, Putri berupaya mendorong setiap performer memahami generasi masa kini, bagaimana mereka berkelompok secara keluarga hidup bersama pohon jati, tumbuh besar dari produksi pohon jati, juga dengan sendirinya membentuk ‘negara’ dari masyarakat Kalang, di mana Putri tengah menginterprestasi secara psikologis. Dua sisi ini, saya merujuk pada pernyataan PakCik; yang ikut terlibat dalam produksinya, bagaimana menyaksikan Putri menekankan bahwa ruang ini, sebagai panduan dan dukungan yang disediakan oleh semesta, juga sebagai strategi pemahaman dengan cara yang lain.
Tindakan membuka irisan dengan dramaturgi lainnya (Foto: AWE) |
Maka tak heran jika hasilnya seperti mendemonstrasikan elemen visual dan tubuh, ketimbang peka atau merespons elemen lain yang saling bersinggungan untuk memperoleh makna lain secara mendalam. Bagaimana DekJal menyentuh elemen bunyi melalui dahan pohon patah, ketukan pohon; pohon mengeluarkan bunyi atau suara, jika bunyi tersebut langsung teridentifikasi dengan jelas. Akan tetapi, jika ditanya tentang suara pohon; apakah pohon menangis, apakah pohon menjerit, apakah pohon menderita, apakah pohon merasakan sakit, dan bagaimana rasanya, bagaimana kehidupan nyata pohon jati sebagai nonmanusia? Itu, jika diletakkan dalam fungsi lain, seperti ruang sebagai arsitektur lanskap; ekosistem hutan/ekosistem nonmanusia; dan lain-lain, juga cukup bersinggungan dengan jenis hermeneutik lainnya, seperti permainan lanskap dan gagasan Derrida tentang espacement; sebagai konsep ruang simbolik yang dibuka oleh wacana, yang realitasnya Derrida selalu berpikir radikal.
Dalam konteks pemikirannya Derrida, di mana dekonstruksi sebagai hermeneutik, yang juga menyangkut di dalamnya oposisi biner; pasangan makna yang saling berlawanan, maka sewajarnya DekJal mempertanyakan demikian. Sebab kalau diposisikan, sebagai suatu konsep, tidak bisa berdiri dengan sendiri, karena pasti tekait dengan jejaring makna lainnya—makanya paling mudahnya cara memosisikan ruang terlebih dulu. Cara memperlakukan “semi hutan jati”, karena interpretasi terus bergerak sampai tak terhingga.
Apakah peluang terhadap hal demikian tidak memungkinkan? Tentu saja sangat memungkinkan jika merujuk pada ritual Kalang Obong, yang dijadikan Putri dasar penciptaan makna baru yang mencerminkan pluralitas identitas budaya saat ini. Derrida menganggap bahwa tradisi dapat diatasi, tetapi tidak mungkin bergerak sama sekali di luar tradisi. Sebagaimana Putri melihat ritual Kalang Obong, yang sejatinya upaya dirinya memberi ruang bagi tafsir baru atas tradisi Kalang bukan hanya penting secara budaya, melainkan untuk memahami realitas yang terjadi kini sebagai suatu keseluruhan, di mana makna juga tidak sepenuhnya distabilkan, selalu ditangguhkan melalui serangkaian peristiwa atau tidakan para performer-nya, yang bagi DekJal dan PakCik, tidak disukainya, tetapi bagi saya cukup menggarisbawahi, sebab cukup bersinggungan dengan pemikiran hermeneutik radikal, yang diajukan Derrida.
Tindakan yang dimaksud, salah satu di antaranya; bagaimana merespons pohon dengan lilitan kain yang berjumpalitan, ke tanah, membawa suatu kelonggaran lewat interpretasi dan pergantian perspektif yang terus menerus. Dalam setiap gerakannya, Putri sebagai subjek, masyarakat Kalang sebagai subjek sudah absen, dan teks yang dihasilkan sudah menjadi otonom milik performer masing-masing, terbuka untuk interpretasi tanpa batas. Di sinilah nampaknya dramaturgi eksplorasi dimaksudkan; sebagai suatu strategi membuka ruang visual, tubuh, dan auditif yang meminta penonton untuk mensintesiskan elemen yang dipresentasikan.
Dapat dipahami pembacaan saya tentang dramaturgi eksplorasi yang terlihat dalam karya ini memberikan suatu pemahaman—kepada saya khususnya; materi pada satu trek dengan sendirinya akan memediasi materi pada trek lainnya; materi tersebut juga bisa dibaca dan ditafsirkan ke, ke dalam, ke luar, dan melalui satu sama lain, terlepas dari apakah materi tersebut memiliki kesamaan alami atau tidak melalu beragam batang pohon jati. Sejatinya di sana saya memahami prosedur dan efek pertunjukan “Ngalang” menunjukkan koordinasi atau subordinasi atau kohesi antara penyebab atau tindakan yang lainnya, melalui ketergantungan klausa atau tindakan yang dihubungkan oleh materi lainnya yang bisa tidak terhubung dengan hutannya, tetapi yang digunakan masyakat Kalang hari ini, dengan implikasi simultanitas, atau katachresis (sengaja diterapkandengan suatu kesalahan, proses artikulasi teks yang mengagetkan tentunya, dengan implikasi diskontinuitas temporal—yang bisa sangat tidak terhubung sama sekali, toh namanya eksplorasi).
Trek yang paling nampak adalah cara performer meromantisasi tentang masyarakat Kalang, yang diidentikan dengan keturunan kera,2 pada konteks hermeneutik Schleiermacher, yaitu reproduktif juga berkaitan dengan romantik, dengan memanjat pohon yang cukup tinggi membawa pada ingatan atau imajinasi tentang wong Kalang, yang memiliki fisik berbeda dengan masyarakat pada umumnya; mirip dengan suku Negrito di Filipina berkulit legam dan berambut keriting; dianggap pendatang dari Kedah, Kelang, dan Pegu pada tahun 800 Masehi; kasta rendah; orang hina dan lainnya—yang kini Putri tidak serta merta memfasilitasinya dengan imajinasi tersebut. Melainkan performer yang terlihat sebagaimana umumnya; cukup gagah dan gesit menaiki dengan cepat pohon tersebut, tetapi memberi peluang bagi hermeneutik radikal; mempertanyakan asuransi jika jatuh siapa yang bertanggung jawab, Putri atau MasE, atau tiba-tiba masuk ke dalam ketidakmungkinan antara kesinambungan tanda-tanda masyarakat Kalang di masa lalu melalui karya sastra, maka pembedaan itu kemudian dipatahkan dengan cara yang mengejutkan, atau sebagai cara penangguhan; misalnya, apakah ambulans sudah dipersiapkan atau belum?
Lainnya, dramaturgi eksplorasi saya memahaminya sebagai cara melihat dengan gagasannya tentang “semi hutan jati” tempat memperbincangkan asal diri Putri—yang kemudian membawa pada ‘celah-celah’ masuknya dramaturgi lain; dalam hal organisasi suatu peristiwa. Peristiwa yang lebih mengarahkan perhatian penonton ke arah yang sangat spesifik dan menuju makna yang sangat spesifik, sementara pada saat-saat lain penonton dapat dibiarkan bebas untuk menginterpretasi selayaknya DekJal dan PakCik. Dalam hal ini, makna dari makna itu sendiri mulai bergeser ketika dimensi pragmatis dan afektif dari interaksi representasional dan penonton menjadi penting dengan mengorbankan dimensi semantik (jikalau ruang difungsikan sebagai ruang pindah secara utuh dan menyeluruh)—yang kemudian sangat mungkin memasuki hermeneutik. Alih-alih mengomunikasikan makna pertunjukan kepada penonton dengan bantuan tanda-tanda yang dipresentasikan dalam kerangka yang didefinisikan dengan jelas, sebuah situasi bagi saya sedang disiapkan untuk membawa jalinan hermeneutik Gadamer tipe filosofis/reproduktif dengan Habermas, yang menggunakan tipe kritis.
Sekali lagi, dramaturgi eksplorasi merupakan suatu pembacaan saya secara ‘spekulatif’; untuk menghindari catatan kritis dan keserta mertaan untuk menuliskan, atau ketergesa-gesaan dalam meresapi pemikiran Putri. Makna dalam dramaturgi eksplorasi, bisa memunculkan beragam insiden pemicu dan lintasannya, dengan menyediakan ruang-ruang yang lebih bergerak maju ke depan tentang masyarakat Kalang. Trek-trek tindakannya bisa saja terputus seketika, kemudian dibangun ulang, dan berubah secara radikal untuk dapat berjalan paralel atau berbenturan satu sama lain, untuk saling mengarahkan satu trek ke trek lain atau membiarkan diri sendiri untuk menemukan jalan pemikiran—atau saya menemukan pengenalan ruang saat di bawa ke jembatan terlebih dulu, sebagai pencarian pengaturan sementara atau yang mungkin dari berbagai elemen digunakan oleh Putri tentang bagaimana “Ngalang” ini ‘menggoda’, ‘membingungkan’, selalu mempertanyakan dirinya, atau membiarkan saya juga tidak pernah mengerti tentang “Ngalang”.
Ekologi dan ‘Suara’ dari “Wong Kalang” sebagai Peluang Lain
Tindakan romantik Putri berupaya memahami Kalang (Foto: AWE) |
Kedua perspektif ini, saya buka sebagai peluang lain dalam dramaturgi eksplorasi untuk menjawab pertanyaan kritis dari DekJal; jika ruang ditempatkan sebagai lanskap atau ekosistem, maka ia menjadi perspektif mendalam tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada ide dan material, serta pandangan tentang implikasi dan efek dari setiap tindakan atau visual yang dihadirkan—cukup kontradiktif dengan kedua peluang dramaturgi ini. Sayangnya, sejak awal saya tidak langsung menunjuk peluang ini, atau lebih tepatnya kedua hal ini sangat dekat dengan keberadaan sebuah “gerakan” untuk pergi ‘ke luar’, bukan untuk pergi ‘ke dalam’, sebagaimana terwujud dalam dramaturgi eksplorasi.
Saya ulangi lagi; jika ruang ditempatkan sebagai lanskap atau ekosistem—tentu ia juga memiliki konsekuensi, risiko, dampak/implikasi, koneksi, proyeksi, dan tentu saja persepsi. Kini saya melihatnya, ruang ditempatkan sebagai tempat eksplorasi, bukan ruang sebagai ‘ruang pindah’ yang juga memiliki konsekuensinya sendiri, sebagai representasi yang utuh. Juga memiliki risikonya sendiri, tidak kemudian memunculkan pertanyaan dari PakCik; yang sebenarnya sudah terjawab. Segala sesuatu akan berkaitan dengan pilihan masing-masing yang sangat mungkin bertentangan dengan jaringan kompleks gerakan sebelumnya, baik itu pertunjukan lain, karya seni lain, atau gagasan filosofis, pengetahuan praktis dan pengalaman sehari-hari, atau peristiwa sejarah lainnya yang selalu membuntuti kita ke mana pun berada.
Kesempatan ini telah terbaca langsung, kain merah muda di pohon, bahkan posisi tertingginya seolah-olah sedang memandang langit. Dilanjutkan dengan teks-teks puitis, yang memperlihatkan bagaimana kita bersikap terhadap nonmanusia, khususnya dalam hal ini tanaman yang disebut pohon jati. Lalu di sisi lain; suara-suara apa yang ada di sana, binatang apa yang hinggap di kita saat berada di sana, berapa banyak dari mereka yang ada di pohon, lalu bagaimana kita memperlakukan mereka, lalu apakah kita mengetahui perilaku wong Kalang yang memperlakukan mereka dengan lebih hormat, tumbuhan dan binatang, daripada ‘mereka’ yang menyebutnya hina, daripada ‘mereka’ menyebutnya terasing, dan daripada ‘mereka’ yang mengasingkan wong Kalang ke tempat yang lebih dekat dengan tumbuhan dan bintang, sehingga nonmanusia mengajari kita bagaimana berperilaku di luar diri kita.
Jika kita mengutip Lisa Woynarski, yang mengusulkan ekodramaturgi; merupakan perluasan dari konsep dramaturgi yang mempertimbangkan bagaimana pemikiran ekologis dapat diwujudkan, dilakukan, dan ditampilkan melalui proses menonton, menciptakan, dan mengalami pertunjukan.3 Maka wajarlah jika DekJal cukup rinci dalam mempertimbangkan hal ini, jika Putri ingin memahaminya sebagai lanskap atau ekosistem - dengan memasuki gerakan-gerakan sebelumnya baik secara sinkronis maupun diakronis yang dilaluinya dengan berbagai ‘permainan’. Sejalan dengan pemikiran Gadamer dengan tipe hermeneutik filosofis; dengan meninggalkan sepenuhnya tindakan-tindakan romantis dan historisisme Schleiermacher, melalui tindakan memanjat pohon dan beberapa tindakan lainnya.
Dengan cara demikian, nilai-nilai dalam Kalang Obong yang dimaksudkan Putri dapat ditransformasikan menjadi simbol yang lebih inklusif; ingin terbebas secara hermeneutik dari batasan-batasan estetik dan metodologis yang masih menjerat Schleiermacher. Dengan memilih ruang itu, saya kira “posisi” tentang ritual sangat mungkin tidak lagi dibutuhkan, jika kita merujuk kepadanya. Maka, perspektif dramaturgi dan ekologi, semacam tumbuhnya kesadaran akan nilai ritual, di satu pihak, (kemungkinan adanya) hubungan antara berbagai langkah yang bersama-sama membentuk satu sama lain.
Jika kita menggunakan bahasa Gadamer, menggunakan cakrawala yang melampaui setiap subjektivitas, adalah ruang yang memiliki batas-batas itu. Hal itu ditandai ketika tim produksi sudah mulai dari titik awal batas jembatan, hingga menaiki “semi hutan jati”, ditegur oleh satu tim karena melampaui batas pohon yang dimaksudkan. Dari sini saya melihat bahwa Putri telah mengintegrasikan apa yang dipahami tentang wong kalang saat itu, ketimbang merekonstruksi masa lalu. Dalam konteks ini, barangkali apa yang dilakukan Putri lebih menganut Gadamer ketimbang saya, yang masih terbebani dengan rekonstruksi meskipun saya juga tidak melakukan sepenuhnya rekonstruksi trauma saya—sebenarnya, itu bukan membangun kembali, hanya ‘membual’.
Saya kira Putri mencakup keinginan untuk tetap berakar pada identitas lokal, dan untuk terus diperbarui melalui dialog kritis di ruang publik; sangat mungkin bahwa melalui cakrawala masa lalu, Putri menjelajahi cakrawala masa kini, sehingga keterasingan wong Kalang tidak dihilangkan, tetapi dibuat dapat dipahami untuk masa kini melalui hubungan antara ekologi dan dramaturgi. Gagasan Woynarski yang terinspirasi oleh Theresa J. May, sebagai “teater dan pertunjukan yang menempatkan resiprositas ekologis dan komunitas di pusat tujuan tematik dan teatrikalnya”,4 atau dalam konteks ini bersama ruangnya. Sasaran dari kesadaran ini bukanlah, secara sadar, untuk mengikuti beberapa gerakan yang sudah berlangsung sebelumnya—melainkan tentang kesadaran akan adanya gerakan itu yang memandu pembuatan pertunjukan, baik melalui presentasi visual maupun presentasi karyanya.
Justru inilah, semangat Putri menyediakan ruang itu berhari-hari bagi performer, juga sebagai tindakan atas menelusuri hubungan ekologi dan dramaturgi; sebab tentang membiarkan semua proses ini terjadi secara refleksif. Dilihat dengan cara ini, dengan sendirinya Putri berusaha merehabilitasi konsep Prasangka tentang wong Kalang, melalui ekodramaturgi—jika dirujuk pada hermeneutic Gadamer. Putri seakan-akan sangat meyakini dengan penggunaan akalnya, secara perlahan merupakan sumber informasi yang penuh untuk mengatasi mitos-mitos tentang wong Kalang.
Garis lurus yang terbentuk dari sudut pandang penonton (Foto: AWE) |
Lebih lanjut, Woynarski menjelaskan pengembangan ekodramaturgi merupakan praktik “melakukan sesuatu” yang berakar pada pemikiran ekologis. Praktik ini meliputi pengungkapan hubungan ekologis, kritik terhadap praktik eksploitatif, dan dekonstruksi biner manusia/nonmanusia. Ruang sebagai lanskap secara otomatis tidak dapat dipisahkan dari karya itu sendiri; dan Putri menggunakan perspektif dramaturgi yang lebih dalam, juga menempatkan setiap performer sebagai dramaturg untuk proses kreatif dengan pohon jati dan kain putih yang membentuk labirin, agar lebih produktif dalam membersihkan diri dari perlakuan tidak konvensional terhadap orang Kalang, dengan memahami sepenuhnya bagaimana pohon jati menjulang tinggi, kemudian mempelajari sepenuhnya sifat-sifat pohon jati dan binatang yang menyerap energinya masing-masing untuk saling menyerap.
Peluang ini menuntut sebuah konsep yang sangat dekat dengan konsep sebagai resep, tujuan, atau aturan, tentu saja sebagai panduan bagi sebuah gerakan. Inilah kepemilikan berisiko tinggi, bagaimana memperlakukan daun jati, bagaimana memaknai “semi hutan jati” sebagai teks, sebagai makna ekologis yang harus dikejar. Hal ini menuntut adanya konsep gerak yang sepenuhnya merupakan penggerak dramaturgi dan ekologi, pegangan bagi perkembangan. Ekodramaturgi juga dapat dilihat sebagai ruang pertemuan dialog antara dramaturg dengan sutradara dan koreografer, yang tidak membatasi kemungkinan pemaknaan atau memaksakan batasan-batasan pada konstruksi, tetapi justru dapat berfungsi sebagai titik archimedean, titik acuan dalam proses eksplorasi yang menekankan ruang sebagai lanskap atau ekosistem.
Dalam hal ini, saya cukup memahami bahwa Putri tidak menempatkan ruang dengan fungsi yang dimaksudkan, sehingga antara satu tindakan dengan tindakan lainnya juga tidak terhubung sebagai linearitas fungsi dalam proses penciptaan sebuah karya. Kesadaran Putri akan cakrawala sejarah masyarakat Kalang terbaca cukup cermat, inilah yang dikatakan Gadamer sebagai intensionalitas kesadaran, di mana menurut saya ia dapat memiliki jangkauan yang lebih luas untuk melihat apa yang belum sepenuhnya diketahui. Pilihan sikap semacam ini tidak dapat dilepaskan dari MasE dalam membawa pemikran Habermas, sebagai pemandu berpikir. Meskipun hermeneutika di dalamnya juga tumpang tindih.
Akan tetapi, yang jelas, isi dari konsep ini bukan tentang gerakan tari, atau setidaknya secara keseluruhan tidak ada. Maka pertanyaan DekJal sedikit terjawab oleh pertanyaan PakCik yang juga memperlihatkan ruang sebagai konstelasi unsur-unsur yang mungkin memunculkan suatu peristiwa, atau lebih tepatnya yang dapat memunculkan berbagai peristiwa. Kehadiran tubuh, representasi visual tubuh, dan komposisi visual unsur-unsur dalam ruang pada kesempatan ini memang tidak organik, tidak didukung oleh teknik-teknik yang mengarah pada peluang dramaturgi ini. Maka dramaturgi eksplorasi terasa seperti gabungan sejumlah cara berpikir tentang unsur-unsur yang ditempatkan dalam hubungan satu dengan yang lain; sejumlah pilihan dalam menentukan makna wong Kalang kekininan yang direpresentasikan, di mana menurut Gadamer tugas interpretasi adalah memadukan sejumlah cakrawala, baik cakrawala Putri maupun cakrawala MasE, untuk memproyeksikan cakrawala historis yang berbeda dengan cakrawala kekinian.
Peluang ini tentu saja tidak mutlak, yang terus dapat ditelusuri antara pemikiran Gadamer dan Habermas, di mana interpretasi tidak hanya memahami makna historis tradisi, tetapi juga membuka ruang bagi pembacaan ulang yang reflektif dan kritis dalam konteks kekinian. Padahal, metode hermeneutik keduanya saling berkaitan erat, di mana Putri menegaskan bahwa visualisasi ini dirancang untuk memberikan pengalaman spasial yang merepresentasikan pemahamannya terhadap karakteristik atau pengalaman kolektif masyarakat Kalang; melengkapi hubungan apa yang mungkin terjadi dan apa yang mungkin tidak terjadi. Peluang ini memang mengandung kata-kata dan kata-kata digunakan untuk menggambarkannya, tetapi konsep itu sendiri lebih “spasial” daripada linearitas bahasa yang memungkinkannya.
Sebagaimana Woynarski juga menekankan bahwa ekologi dalam konteks dramaturgi dapat dimaknai sebagai sesuatu yang “hijau dan menyenangkan”, yang membuka jalan bagi karya-karya yang membahas kesenjangan dalam spektrum kajian ekologi dan keanekaragaman. Tanda-tanda yang merujuk pada makna di sana juga tampak saling bertabrakan, tetapi teks puisi itu sangat jelas sebagai sebuah pernyataan; Kemudian dramaturgi eksplorasi digunakan untuk mengangkut visual tentang posisi dan reposisi dalam ruang, tentang hubungan tubuh dengan objek-objek yang dapat digerakkan, tentang pohon jati dan kain yang membentuk labirin, tentang tubuh yang keluar masuk, tentang wong kalang di masa lalu, dengan dibersihkan diri di masa kini.
Cara performer mempermainkan kain dengan pohon (Foto: AWE) |
Genre puisi yang ditampilkan secara langsung membuat saya memasuki kesempatan lain, dengan dramaturgi ‘suara’; di mana hermeneutika digunakan sebagai hasil refleksi, kesadaran Putri sebagai penutur Kalang, di mana sebagai penutur ia juga memiliki suara lain, yang inheren dalam aksara pohon jati. ‘Suara’ pohon jati secara keseluruhan memiliki kesempatan yang berbeda untuk disampaikan kepada saya, tetapi juga satu sisi juga bertabrakan sehingga tidak dapat langsung menunjuk kepadanya sekaligus. Sekali lagi saya ingin mengingatkan, kesempatan ‘suara’ ini terkait dengan ekologi, di mana citra visual adalah gaung tubuh performer yang bergerak dan bertindak, atau mengungkapkan kata-kata.
‘Suara’ ini, bukan bunyi yang teridentifikasi secara jelas, ditunjukkan secara langsung oleh bunyi derit batang pohon, bunyi tak tak tok, pukulan terhadap pohon jati. Pohon jati sebagai tubuh memiliki ‘suara’ lain, yang dapat menunjukkan ‘suara’ tubuh yang tidak nyata, dan apa yang didengar dapat berupa citra ‘suara’ semu. Jadi ‘suara’ yang nyata terdengar sampai ke gendang telinga pendengar.
Saya kira peluang dramaturgi ini tidak dipersiapkan untuk itu; Namun ‘suara’ atas daun jati, daun kering, ditransformasikan menjadi kata-kata dan gambar, yang mengingatkan kita pada wacana lain di mana bahasa dan visual digunakan untuk menamai, merepresentasikan, dan menggantikan kehadiran fisik dari ‘suara’ yang tak terlihat. Dalam konteks hermeneutika, saya cukup memahami Habermas yang banyak mengkritik Gadamer (tetapi dalam hal ini bisa saling berhubungan, di sinilah peluang Putri memasuki beberapa tipe hermeneutik), terutama karena ia tidak dapat menerapkannya pada banyak pengetahuan. Gadamer dipandang sangat merujuk pada pengetahuan tertentu, terutama filsafat; sehingga ‘suara’ yang dimaksud juga secara langsung merujuk pada pemikiran Habermas, tentang pembedaan antara pengetahuan sehari-hari dan pengetahuan ilmiah, untuk menemukan jati diri wong Kalang secara keseluruhan di masa kini.
‘Suara’ yang saya maksud dalam konteks dramaturgi; ‘suara’ batang pohon jati untuk dipahami secara mendalam melalui perjumpaan di ruang itu untuk memahami ruang tempat persinggungan ‘suara’ tubuh pohon itu terjadi; harus dipahami dalam puluhan peristiwa dan hubungan, bukan dalam konteks hakikat atau rujukan. ‘Suara’ di sini adalah pusat getaran yang beresonansi, tidak koheren atau sesuai dengan rujukan yang tidak ada. ‘Suara’ tidak dapat ditebak seolah-olah termasuk dalam satu kesatuan yang koheren dan terpadu, sebaliknya ‘suara’ harus dipahami dalam bentuk fragmen-fragmen yang sumbernya jelas di antara kontraksi-kontraksi unsur yang senantiasa bermuara pada identifikasi.
Dalam konteks hermeneutika Habermas, Putri tengah membebaskan alam bawah sadarnya tentang wong Kalang di masa lalu, menuju kesadaran tentang bagaimana membersihkan segala sesuatu—secara demokratis dan pluralitas ‘suara’ para performer merebut suara-suara yang lain. Ruang menjadi peluang bagi entitas yang tampak koheren, yang sejatinya hanya memiliki eksistensi terbatas yang tidak berhubungan dengan yang lain atau bahkan dalam keadaan bertegangan dengan yang lain. ‘Suara’ batang pohon atau ‘suara’ tubuh binatang yang tiba-tiba melintas di persimpangan jagat raya, juga luput dari kompleksitas dunia kekinian wong Kalang.
Tugas analisis Putri dalam kasus ini, saya melihatnya menyensor dirinya sendiri melalui “semi hutan jati”, khususnya terhadap dirinya sendiri yang sejatinya adalah keturunan wong Kalang (mungkin, karena saya hanya spekulatif), sebagai pengubahan mendalam kehadiran semua visual tersebut, secara tidak langsung memperlihatkan entitas wong Kalang saat ini. ‘Suara’ semesta dalam ruang itu tidak dapat diucapkan untuk menceritakan tentang risiko yang terlibat dalam mengubah tubuh dan gerakan menjadi suara-suara yang paling pahit, getir, terluka, dan mempertanyakan apa gunanya ‘suara-suara’ itu. ‘Suara-suara’ dapat memprotes tentang teori teriakan; tentang kata-kata yang mengancam untuk menggantikan tubuh, mereduksinya menjadi sekadar bayangan di dalam sebuah ruang.
Jika dibaca dengan cara peluang ini, maka DekJal kemungkinan besar akan terluka lebih dalam daripada PakCik—juga berdasarkan pengalaman keduanya. Saya hanya berfungsi sebagai dramaturg atas wacana keduanya melalui Bedjono untuk memunculkan ‘suara’ terdekat melalui tanaman-tanaman di sana. Bukan pohon jati di depan galeri yang dipajang sebagai contoh ‘ekologis’ yang konkret dan keberserapan kehadiran visual yang terwujud lewat verbalisasi ‘suara’ hilang yang dicari DekJal.
Tidak apa-apa DekJal, Putri tidak berhenti di situ. Dia mengusung Hermeneutika Habermas, sebagai metode ilmiah untuk memahami struktur masyarakat Kalang melalui pohon jati, dalam semua citra visual yang Anda perhatikan di awal, sebagai sesuatu yang melegakan. Saya juga tidak benar-benar memasuki kedua peluang ini seperti gerakan sebelumnya sebagai panduan atau tuntunan untuk terus menemukan ekspresinya yang dalam, antara lain, kritik terhadap perilaku masa lalu, kritik terhadap konstelasi elemen tertentu beresonansi dengan pandangan negatif dramaturgi sebagai intelektualisme yang sering kali dipaksakan oleh kreator tanpa melihat dramaturgi dari dalam diri. Oleh karena itu, peluang ‘suara’ sebagai dramaturgi dapat digunakan untuk membuat situasi menjadi tidak normal, karena ‘tradisi’ tidak harus dilanjutkan, khususnya tradisi yang menghina dalam konteks Kalang, kita juga bisa melepaskan diri darinya.
Ritual yang diinterpretasi seperti ini juga memunculkan ‘suara-suara’ yang tidak terduga, bagaimana kayu terdengar ‘suara’ sakit, bagaimana ribuan daun kering bercerita kepada tubuh, harus dipahami dengan cara yang tidak terbatas ini. Kemungkinan-kemungkinan dramaturgi yang telah berkembang selama beberapa dekade terakhir telah mengalami perubahan yang begitu mendalam sehingga tampaknya, bisa terus diekpslorasi atas dasar apa yang mungkin telah terjadi—saya kira di sanalah Putri memilih. Bukankah Putri sudah menyimpulkan atas pemahaman diri, mengajarkan saya bahwa makna dari suatu teks, fenomena, atau praktik tertentu tidak dapat dipahami dengan mereduksinya ke asal-usulnya? Bukan begitu, Kakak?
Catatan Kaki:
1 Lih. F. Budi Hardiman. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. 2015. Yogyakarta: Kanisius. ↩
2 Sumber; https://www.viva.co.id/berita/nasional/614385-asal-usul-manusia-berekor-dari-kendal, https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article/view/1037, diakses terakhir kali pada tanggal 6 Juni 2025. Johann Friedrich C.Gericke, 1947. Javaansch Nederduitsch Woordenboek. Oxford University. ↩
3 Lisa Woynarski. 2020. Ecodramaturgies Theatre, Performance and Climate Change. London: Palgrave Macmillan. ↩
4 Wendy Arons, dan Theresa J. May, eds. 2012. Readings in Performance and Ecology. London. New York: Palgrave Macmillan. ↩