Mencari Guru Bangsa: Catatan Rudolf Puspa -->
close
Pojok Seni
09 July 2025, 7/09/2025 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2025-07-09T03:06:46Z
Artikel

Mencari Guru Bangsa: Catatan Rudolf Puspa

Advertisement


 

Membangun negeri yang jumlah penduduknya 200 jutaan tentu memerlukan kekuatan besar seorang pemimpin dalam mengelola manajemen berbangsa dan bernegara. Sebuah kerja raksasa yang multi kompleks. Dibutuhkan bukan hanya pandai secara intelektual namun juga yang jauh lebih dibutuhkan adalah kemampuan dalam melihat dan mendengar lika-liku pergerakkan bangsa dan kemudian mengolah melalui hati untuk menyusun aturan permainan berbangsa dan bernegara yang benar dan pener (tepat).

 

Begitulah rangkuman dari endapan mata dan telinga yang menggembung di hatiku sejak merasa dewasa dalam arti mampu berpikir dari otak dan hati. Keseimbangan keduanya masih memerlukan pengujian terus menerus ketika menjalani perjalanan hidup hingga kini mencapai usia yang termasuk golongan lansia yakni 78 tahun. Kegelisahan yang sudah menahun inilah akhirnya dituangkan dalam karya skrip teater karena itulah ruang yang aku miliki dan yakini dapat menampung kegelisahan menahun dan lebih meluas bisa didengar dan dilihat ketika skrip di panggungkan.

 

Ketika skrip selesai dalam satu hari dan kemudian diendapkan dan dibaca kembali yang timbul gagasan baru yang sebenarnya masih ada di penyimpanan ruang bawah sadar. Dengan cekatan perubahan-perubahan pun dilakukan. Aku tidak takut membuang dan mengganti karena daya kreatifitas seniman memang salah satunya adalah mau dan mampu menerima tumbuhnya gerak perubahan. Bahkan jika pun terjadi revisi hingga lebih dari dua kali tetap saja tidak perlu dirisaukan. Seniman memiliki ruang hidup yang selalu berada dalam gerak inovatif yang memompa adrenali kreatifitas. Justru semakin bertambah berumur akan semakin kuat dan semangat bahkan merasakan keberuntungan untuk selalu berada dalam konser perubahan.

 

Karena karya teater adalah memproduksi cerita maka aku segera menentukan untuk sementara selesai dan baru memberi judul yakni kupilih “Mencari Guru Bangsa”. Casting pemain tentu sangat teliti karena kali ini sebuah karya yang diharapkan bisa tampil beda memerlukan pemain yang tanggap terhadap suasana nyata hidup sehari-hari dibidang sosial-politik-budaya hingga ekonomi. Bagi yang alergi memperhatikan hal-hal tersebut akan mendapat kesulitan ketika harus mengexpresikan kalimat-kalimat melalui dialog peran yang membawa isi tersirat yang mengandung suasana yang sedang berperistiwa dalam hidup sehari-hari. Memang benar banyak masyarakat seperti tidak peduli karena tertutup oleh kegiatan yang entah dari mana datangnya namun justru menguasai daya gerak otak dan hati masyarakat. Penguasa itu ada namun sukar dilihat secara kasat mata. Ia menyelinap di relung otak dan hati secara masif dan terus menerus sehingga yang dihinggapi tidak terasa.

 

Tiga tahun aku berkeinginan hari peringatan kelahiranku mendapat ruang dan waktu memproduksi karya teater dan dipanggungkan untuk umum. Gayung bersambut dan tahun ini Bentara Budaya Jakarta bersedia kerjasama dengan memberikan ruang pertunjukkan sebagai bantuan resmi. Saya sangat gembira tentu saja atas sambutan yang merupakan sebuah kemewahan pesta hari peringatan kelahiran. Pertemuan dengan ibu Glory, Direktur Corporate Communication Kompas Gramedia , Bp.Ilham Khoiri General manager Bentara Budaya, Ika W.Burhan Manager Bentara Budaya dapat berlangsung di Menara Kompas dalam suasana kekeluargaan yang sangat akrab. Bersama dalam kebersamaan untuk mendapatkan dana bagi pertunjukkan yang memang non profit ini.

 

Apa dan kenapa memanggungkan “Mencari Guru Bangsa” dalam sebuah peringatan hari kelahiranku 78 tahun lalu? Menurutku ada persoalan yang belum selesai tentang pembangunan karakter bangsa yang majemuk. Bangsa yang terdiri dari keberagaman etnis, suku, agama, adat dan adab yang telah mengawali kemerdekaan dengan satu tekat semangat Bhineka tunggal ika. Dibutuhkan kesadaran bersama untuk melihat kembali hari kemarin dan esok serta hari ini agar tercapai kesimpulan tentang riak gelombang pasang surut perjalanan bangsa sejak kemerdekaan 1945.  Dalam hal ini gerak pendidikan masih lamban jalannya untuk tidak mengatakan stagnan.

 

Kita memiliki catatan  sejarah ketokohan bidang pendidikan masa silam yang hingga kini menjadi tonggak awal sejarah pendidikan di masing-masing negara yakni Jerman yang tercatat yakni Friedrich Frobel (1782-1852) yang dikenal sebagai pendiri taman kanak-kanak di mana basisnya adalah permainan.   Di Italia yakni Montessori (1870-1952) dengan metode kebebasan anak dalam belajar yang akhirnya diterapkan di seluruh dunia. Di  India Rabindranath Tagore (1861-1941) dengan metodenya yang berbasis pada alam melalui potensi baik secara intelektual, emosional dan spiritual.  Indonesia tak ketinggalan yakni Ki Hajar Dewantara (1889-1959) yang tentu kita sudah mengetahui ajaran utamanya yakni ing ngarso sung tulodo (didepan memberi tauladan) , ing madyo mangun karso (di tengah memberi semangat), Tut Wuri Handayani (dibelakang  memberi dorongan)

 

Mereka berempat memiliki perhatian sepanjang hidupnya pada dunia pendidikan. Hebatnya tidak saling kenal namun metodenya tak seberapa beda. Bahwa pendidikan dimulai sejak masih balita. Dan yang sangat menggugah kekagumanku bahwa seni menjadi sebuah ruang yang kuat bagi menumbuhkan kebebasan dalam belajar. Seni bukan hanya persoalan rasa namun juga gerak tubuh. Jadi ketika mereka bertemu pada sebuah konperensi internasional tentu saja mengejutkan bagi mereka walaupun sebelum bertemu sudah menjadi bahan diskusi dunia pendidikan dimanapun. Montessori dan Tagore lah yang sangat tertarik dengan Ki Hajar Dewantara hingga mereka pergi ke Yogya menemui dan mempelajari bagaimana Ki Hajar mempratekkan metodenya. Pada tahun itu untuk sampai Indonesia masih harus naik kapal dan berbulan-bulan. Itulah salah satu ciri pengabdi ilmu untuk meningkatkan keilmuannya.  

 

Jika para tokoh pendidikan dunia memiliki keyakinan bahwa kegiatan berkesenian menjadi salah satu kekuatan bagi penciptaan karakter anak yang lengkap maka anak akan membesar dengan cepat dan memiliki kecerdasan yang lengkap yakni intelektual, emosional dan spiritual. Kegiatan seni bukan untuk tingkat awal namun menurut ki Hajar harus dilakukan terus menerus sepanjang jenjang bangku sekolah hingga selesai kuliah. Ketika terjun ke tengah masyarakat sudah memiliki bekal hidup yang mumpuni yakni membangun hidup bersama dalam kebersamaan walau dalam keberagaman. Penciptaan teknologi semakin canggih akan diketemukan hingga bermacam senjata namun karena adanya gerak halus jiwa melalui seni maka nafsu kekerasan akan dapat terhindarkan.

 

Alhasil jika pendidikan hasil gagasan atau metode cemerlang dari ke empat kampiun pendidikan tersebut terus berjalan dan pasti ada perkembangannya yang semakin cemerlang maka walau tidak banyak lahirlah apa yang disebut guru bangsa. Seseorang yang memiliki kemampuan berada di belakang layar kehidupan untuk menjadi tempat mengadu, bertanya, mencari solusi dan seterusnya. Seseorang yang hanya berpihak pada kebenaran dan kejujuran sehingga selalu berada di dataran netral. Semua kita setuju bahwa guru bangsa sangat diperlukan walau semua juga paham betapa sulit mencarinya. Inilah yang menjadi semacam sinopsis dari karya terbaruku yang akan digelar Teater Keliling pada tanggal 9 Agustus 2025 pukul 15.00 dan 19.00 WIB di Bentara Budaya Jakarta (Kompas-Gramedia), Jl.Palmerah selatan. Sebuah pertunjukkan spesial yang memiliki keinginan untuk berbincang yang akrab karena bukan mencari kesalahan namun solusi bagi masalah pendidikan. Itupun jika memang sama-sama merasakan perlunya guru bangsa. Siapa tahu ternyata “bodo amat” karena tak ketemu jawabnya.

 

Kehadiran anda tentu diharapkan karena dengan disebut sebuah perbincangan maka ada saling memiliki kebutuhan sehingga hadir bukan sebagai penonton tapi menjadi bagian dari panggung. Duduk lesehan saling dengar dan lihat kemudian bicara dari hati ke hati. Manusia diciptakan untuk melangkah dan melangkah yang sering tidak pernah tahu apa akhirnya. Maka dialog mencari guru bangsapun bisa terus berdesis, berdengung menjadi semacam asupan yang terus akan dikunyah ketika meninggalkan ruang pertemuan  dengan harapan menemukan jawabnya.  Sebuah panggung seni teater kali ini bukan sebuah diskusi yang oleh moderatornya akan disampaikan kesimpulannya.

 

Sampai jumpa di Bentara Budaya Jakarta 9 Agustus 2025.

Terima kasih dan tabik hangat.


Horas!!!!

 

Duren Seribu Depok 4 Juli 2025..

Rudolf Puspa

 

pusparudolf29@gmail.com

@ rumah.wowi.


Ads