Advertisement
![]() |
Festival Seni Budaya Muhammadiyah Aisyiyah Jawa Barat 2025 |
Pojokseni/Bandung - Festival Seni Budaya Muhammadiyah Aisyiyah Jawa Barat 2025, sebuah perhelatan akbar hasil kolaborasi apik antara Lembaga Seni Budaya (LSB) Muhammadiyah Jawa Barat dan Lembaga Budaya Seni Olahraga (LBSO) Aisyiyah Jawa Barat. Dibuka bertepatan dengan acara milad UM Bandung pada tanggal 30 Juni 2025, festival ini menyuguhkan beragam pertunjukan dan pameran seni hingga puncaknya pada 5 Juli 2025.
“Festival tersebut bukan sekadar perayaan seni biasa, melainkan wujud nyata sinergi lintas elemen yang luar biasa. Berbagai pihak, baik dari internal maupun eksternal Muhammadiyah, turut ambil bagian dalam menyukseskan acara ini,” kata Cecep Ahmad Hidayat, ketua pelaksana kegiatan ini.
Salah satu penampilan dalam Festival Seni Budaya Muhammadiyah Aisyiyah Jawa Barat 2025 |
Dari ranah internal, kemeriahan festival didukung penuh oleh; PK IMM Komunikasi Penyiaran Islam, LSB IMM Jawa Barat, dan UKM Paduan Suara UM Bandung. Tak hanya itu, kolaborasi juga meluas hingga ke berbagai elemen eksternal yang turut memperkaya khazanah festival, di antaranya; Sanggar Olah Seni (SOS), Asosiasi Pelukis Nusantara (Aspen), dan Sanggar Mitra Bandung.
Di tengah pelaksanaan festival para pengunjung langsung disambut oleh pemandangan menawan di sepanjang lorong selasar Gagas lantai 1 Gedung UM Bandung, yang bertransformasi menjadi galeri seni dadakan.
Puluhan lukisan indah terpajang rapi pada partisi-partisi, menawarkan pesona visual yang memikat. Karya-karya seni yang dipamerkan setiap lukisan memiliki gaya uniknya sendiri. Pameran tersebut akan tetap terpajang dan bisa dinikmati oleh publik hingga festival berakhir pada 5 Juli.
Seminar Bertajuk “Kebebasan Berkarya”
Seminar bersama Kiai Cepu, Pidi Baiq, dan Ken Atik dengan moderator Febi Fauziah |
Pada 2 Juli 2025, suasana meriah dan penuh inspirasi menyelimuti sebuah seminar bertajuk "Kebebasan Berkarya" yang diselenggarakan pada hari Rabu, 2 Juli lalu. Acara yang menjadi bagian dari rangkaian kegiatan besar ini berhasil menarik perhatian dengan menghadirkan tiga tokoh ternama di bidangnya, yakni; Kiai Cepu (Pimpinan Pusat Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah), Ken Atik (Dosen Kriya UM Bandung), dan Pidi Baiq (Seniman). Seminar yang dimoderatori oleh Febi Fauziah Ahmad ini sukses menyajikan diskusi mendalam seputar esensi kebebasan dalam berkesenian.
Sebelum memasuki inti acara, panggung telah lebih dulu dimeriahkan oleh penampilan memukau dari Djaleuleu Percussion. Kelompok perkusi yang beranggotakan anak-anak SD hingga SMP ini berhasil menciptakan riuh rendah dan keceriaan dengan irama-irama riang yang mereka sajikan, sukses membakar semangat para hadirin. Tak ketinggalan, Teater Panonpoe turut menyusul dengan pertunjukan yang tak kalah menarik. Melalui pementasan "Kolase Negeri Setengah Hati" yang terbagi dalam tiga fragmen berdurasi masing-masing sekitar 10 menit, Teater Panonpoe menyampaikan kritik tajam yang berkaitan dengan dunia seni, politik hingga ekonomi, yang memancing pemikiran kritis para penonton.
Kebebasan dan Batasan Berpadu
Salah satu penampilan musik dalam Festival Seni Budaya Muhammadiyah Aisyiyah Jawa Barat 2025 |
Sesi seminar pun tiba, dan ketiga pembicara berbagi pandangan unik mereka mengenai kebebasan berkarya.
Pidi Baiq, seniman nyentrik yang dikenal dengan karya-karyanya yang orisinal, menekankan pentingnya seni yang terpisah dari hal-hal eksak. Baginya, seni haruslah bebas tanpa batasan. "Seorang seniman harus berbuat dulu, lalu kemudian memikirkannya," ujarnya.
Di sisi lain, Kiai Cepu memilih pendekatan yang berbeda. Melalui teater monolognya berjudul "Nina", ia menegaskan bahwa setiap tindakan, termasuk dalam berkesenian, harus berlandaskan pada tujuan dan metode penyelesaian yang jelas. Tanpa keduanya, menurut Kiai Cepu, hanya akan ada kekosongan atau kesesatan individu dalam mencapai tujuannya.
Sementara itu, Ken Atik, seorang Dosen Kriya dari UM Bandung, berbagi perspektifnya sebagai pendidik. Ia mengakui tugasnya untuk menyampaikan dasar-dasar dalam proses berkesenian. Namun, ia juga menegaskan komitmennya untuk membebaskan mahasiswanya berekspresi di lingkungan kampus, salah satunya melalui diskusi terbuka yang merangsang kreativitas.
Seminar "Kebebasan Berkarya" ini tidak hanya menjadi ajang penyampaian gagasan, tetapi juga wadah refleksi bagi para seniman, akademisi, dan publik untuk lebih memahami kompleksitas serta keindahan di balik kebebasan dalam berkesenian.
Seminar tersebut berhasil meninggalkan kesan mendalam dan memantik semangat untuk terus berkarya tanpa batas, namun tetap dengan kesadaran dan tujuan.