Advertisement
Oleh: Adhyra Irianto
Suatu malam, saya dan istri saya menonton salah satu film di Netflix berjudul Fair Play. Kisahnya dimulai dari percintaan romantis dan membara dari sepasang kekasih bernama Emily (diperankan oleh Phoebe Dynevor) dengan Luke (diperankan oleh Alden Ehrenreich). Sayangnya, percintaan yang romantis ini hanya bertahan di 10 menit pertama film. Setelah itu, semuanya berubah menjadi petaka.
Kedua pasangan ini sama-sama bekerja di perusahaan investasi di New York. Salah satu aturan utama di perusahaan tersebut adalah, tidak boleh ada hubungan antara sesama pekerja. Karena itu, Emily dan Luke berpura-pura, seakan keduanya adalah rekan kerja biasa dan baru kembali bermesraan ketika sampai di rumah. Jalan yang diambil menuju ke rumah pun, keduanya lewat jalan yang berbeda dari kantor.
![]() |
Film Fair Play memiliki premis tentang Male Fragility |
Petaka dimulai dari pemecatan seorang atasan di kantor itu. Posisinya kosong, dan ada banyak rumor bertebaran di kantor tersebut. Emily mendengar kabar angin, bahwa pengganti seorang atasan (disebut Portofolio Manager/PM) adalah Luke. Tentunya, Emily sangat bahagia dan sudah tidak sabar memberitahukan rumor tersebut pada kekasihnya.
Luke juga bahagia mendengarkan kabar itu. Ia mengaku mendapatkan dua keberuntungan; naik jabatan dan mendapatkan istri seorang yang ia cintai. Tapi, malam setelah keduanya merayakan kabar baik itu, Emily ditelepon direktur kantor tersebut. Tepat pada pukul 1 dini hari.
Emily mendatangi direkturnya, seperti perintah di telepon tersebut. Dan ketika bertemu direkturnya, ia mendapatkan kabar yang membuatnya dilema. Ternyata, pengganti PM yang dipecat tersebut adalah Emily, bukan Luke.
Ketika Emily bertanya, kenapa bukan Luke yang dipromosikan naik jabatan? Jawaban direkturnya sangat mengejutkan. "Ia itu titipan teman saya, kalau bukan karena dititip oleh teman saya, ia sudah lama saya pecat. Karena ia sangat tidak kompeten!"
Emily pulang, dan dengan penuh kehati-hatian, ia memberitahu kabar mengejutkan itu. Luke terkejut, mungkin juga terluka. Tapi, ia menyembunyikan perasaan itu, dan mengatakan bahwa ia sangat bahagia karena kekasihnya yang mendapatkan promosi jabatan.
Dari titik itu, film ini berubah menjadi sebuah kisah yang gelap dan penuh konflik verbal. Sampai di titik yang paling gelap, Luke menyebut bahwa Emily bisa naik jabatan karena menggunakan "tubuh" dan wajah cantiknya untuk merayu direkturnya.
Rapuhnya lelaki disebabkan karena laki-laki harus menunjukkan "kelaki-lakian"nya berkali-kali, seumur hidup, tanpa henti. Penelitian dari DiMuccio dkk tahun 2020 lalu berjudul "The Political of Fragile Masculinity" menyebutkan bahwa ada tekanan sosial yang dirasa seorang lelaki, bila ia tidak mampu memenuhi standar budaya maskulinitas. Maskulinitas itu seakan harus terus dibuktikan berkali-kali, dan permanen. Salah satu caranya adalah melawan segala rintangan di seumur hidupnya.
Ketika seorang lelaki gagal memenuhi standar budaya maskulinitas, maka ada tendensi dari lingkungan sosial yang menyebutkan lelaki itu gagal menunjukkan kelaki-lakian. Sebagai wujud "kekalahan" maka laki-laki akan memproyeksikannya dalam bentuk amarah tak terkendali, bicara yang tidak terfilterisasi, dan agresif. Penelitian dari Bosson dkk tahun 2011 berjudul Precarious Manhood and Its Links to Action and Aggression mengaitkan male fragility dengan tindakan, agresi, dan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Penelitian itu juga menyebutkan bahwa perempuan, perlu hamil dan melahirkan untuk membuktikan pada lingkungan sosial bahwa ia adalah perempuan. Tapi, laki-laki memerlukan pembuktian yang berulang-ulang, dan terus dilakukan sepanjang masa produktifnya.
Artikel yang ditulis Todd Cronan pada tahun 2023 membahas tentang film Fair Play yang menjadi pembuka artikel ini. Todd menyebutkan bahwa maskulin fragility atau male fragility adalah penyebab tertinggi atas friksi dalam rumah tangga yang berujung perceraian. Biasanya, pria mulai "mengidap" male fragility ketika ia mencoba mencari tempatnya di masyarakat luas, dalam usia 19 hingga 27 tahun. Dalam rentang usia tersebut, laki-laki terus mencoba membuktikan kejantanannya, dan setiap bukti kejantanan itu semakin terancam, maka lelaki tersebut akan semakin agresif.
Sedangkan Eric W Dolan pada tahun 2024 menuliskan artikel di PsyPost mengaitkan pandangan tradisional seorang pria, dengan tuntutan zaman yang ditujukan pada seorang pria. Misalnya, tuntutan zaman meminta seorang pria modern untuk menjadi seorang ayah dengan partisipasi aktif di dalam rumah tangga. Entah itu mencuci piring, mengasuh anak, memasak, membereskan rumah dan sebagainya. Namun, bagi seorang pria dengan pandangan tradisional, tentunya hal itu akan menolak hal tersebut. Atau, bagi pria yang mengikuti tuntutan zaman bagi "ayah" modern tersebut, juga akan bergesekan dengan pandangan sosial yang biasanya masih menganut pandangan tradisional tentang seorang "ayah".
Intinya, kasus male fragility itu lebih banyak ditemukan dalam pasangan yang sama-sama bekerja, terutama di bidang pekerjaan yang sama, atau setidaknya tipikalnya sama. Misalnya, pria bekerja di bank, sedangkan istri di rumah sakit. Tentunya, dua bidang pekerjaan ini sangat berbeda. Tapi, ketika istri terus-terusan mendapatkan promosi, penghargaan, kenaikan jabatan, dan karirnya terus memuncak, sedangkan di saat bersamaan suaminya stagnan di tempat yang sama, maka kondisi ini akan memicu male fragility.
Male fragility bukan pengejawantahan dari "ego yang besar", justru menunjukkan bahwa ego laki-laki sangat rapuh. Terutama, laki-laki yang besar dalam budaya maskulinitas. Dimana identitas "kelaki-lakian" itu diwujudkan dalam bentuk superioritas, dan dominasi pada kaum perempuan.
Ketika seorang laki-laki merasa dirinya "kalah" dari istrinya, hal itu akan mengubah atau menggeser relasi kuasa, terutama di dunia kerja. Muncul perasaan inferioritas dari dalam diri laki-laki, dan hasilnya adalah setiap keberhasilan dari seorang perempuan akan selalu dianggap sebagai ancaman eksistensial. Sedangkan di dalam rumah tangga, rumah yang harusnya tempat yang aman akan berubah menjadi kompetitif seperti di kantor. Kedua pasangan ini akan menjadi rival, bukan lagi patner.
Tidak ada yang salah ketika seorang perempuan berusaha untuk mencapai apapun yang ingin ia capai, setinggi-tingginya. Namun, ketika seorang suami merasa terlewati oleh istrinya, maka saat itu diperlukan kemampuan untuk mengelola perasaan kalah, takut, cemburu, dan sebagainya yang akan tiba-tiba muncul di kepalanya.
Bila ia tidak memiliki kemampuan tersebut, maka hal itu akan menjadi pemicu rasa amarah. Amarah ini sebenarnya adalah proyeksi dari rasa rendah diri, dan "kekalahan" yang dirasakannya. Saat inilah, hal-hal remeh pun kerap menjadi pemicu konflik yang terus meruncing dan membesar. Laki-laki sulit melakukan introspeksi emosional, karena merasa kehidupan ini tidak adil untuk dirinya.
Hubungan pasangan akan menjadi friksi tak berkesudahan. Bagaimana dengan perempuan? Yah, mungkin akan sulit bagi seorang perempuan untuk terus membenahi ego rapuh itu. Laki-laki itu, jauh di dalam pikirannya, ia menyadari bahwa ia telah "kalah", seperti Luke yang menyadari bahwa istrinya lebih kompeten. Tapi, itu di dalam pikiran saja, karena di luar dirinya, ia tidak (bisa) mengakui hal tersebut.
Apa yang terjadi ketika laki-laki "kalah"?
Dalam didikan kultural dan agama mayoritas, terutama di Indonesia, laki-laki itu tidak boleh menunjukkan rasa takut, juga tidak boleh mengeluh dan menangis. Hasilnya, laki-laki juga seakan diajarkan untuk tidak kalah dengan perempuan, baik secara kreativitas, produktivitas, intelektual, dan sebagainya.
Di Indonesia misalnya, laki-laki akan bersembunyi di balik ajaran kultural dan agama. Bahwa perempuan itu seharusnya di rumah, mengurus anak, tidak boleh keluar rumah, tidak menjadi atasan, tidak punya gaji lebih besar dari suaminya, dan seterusnya. Inilah yang kemudian dilawan dengan gerakan feminisme.
Male fragility memicu konflik dalam rumah tangga, yang berujung perceraian. Di luar rumah tangga, male fragility menjadikan tindakan yang agresif dari seorang lelaki pada perempuan. Pelecehan di media sosial misalnya, sebagian besar justru terjadi ketika seorang lelaki merasa terintimidasi oleh "kekuatan perempuan". Penelitian dari Jennifer D Rubin dkk misalnya, yang dimuat dalam prosiding konferensi CHI 2020 tentang faktor manusia dalam sistem komputasi, menyebutkan seorang laki-laki sangat bebas untuk memilih karir yang baik, berpakaian terbuka, memiliki pencapaian yang tinggi, punya prestasi, dan sebagainya. Ketika perempuan yang melakukannya, maka ada peluang terganggunya maskulinitas seorang lelaki. Hal itu yang menjadi pondasi tindak pelecehan yang kerap dilakukan di dunia maya. Bagi seorang lelaki yang "kalah", perempuan tidak mungkin bisa mengalahkan mereka, tanpa melibatkan kecantikan dan daya tarik seksual. Saat itu, ujaran seksis menjadi hal yang lumrah ditemukan.
Secara psikologis, perempuan yang menjadi "atasan" juga akan perlahan mengubah dirinya menjadi lebih maskulin. Terutama, di lingkungan yang ada di atas pondasi maskulinitas. Di sini dua isu; seksisme dan male fragility akan mencuat. Setidaknya, itu juga yang didapatkan dari film Fair Play yang menjadi pembuka artikel ini.
Perilaku toxic dari seorang lelaki yang ditimbulkan male fragility, sebenarnya buah dari ketidaksadaran diri. Maka, solusi pertama untuk membenahi "kerusakan" hubungan karena male fragility dimulai dari lelakinya. Lelaki mesti menyadari tentang male fragility ini, dan kesadaran tersebut akan menjadi filter dari perilaku beracunnya. Setidaknya, itu yang diusulkan oleh Maryam Kouchaki dkk dalam penelitian yang ditulis Zhu Keith dkk tahun 2023 berjudul Research: What Fragile Masculinity Looks Like at Work.
Masih dari penelitian yang sama, Zhu Keith dkk juga mengusulkan struktur maskulinitas yang sudah paten ada di masyarakat harus didekonstruksi. Bentuk-bentuk maskulinitas yang sehat, seperti kesadaran diri, mengenal emosi diri, membangun relasi yang setara dengan perempuan, berakar pada nilai kemanusian universal, bertanggung jawab, dan fleksibel. Bila lelaki tersebut adalah seorang ayah, maka ia juga dengan penuh kesadaran diri mengetahui bahwa rumah dan anak juga tanggung jawab mereka. Dengan demikian, lelaki itu dengan penuh kesadaran akan berpartisipasi aktif dalam rumah tangga. Norma gender yang tradisional dan sempit harus dihancurkan dan direkonstruksi. Tidak ada istilah "lelaki sejati harus begini, lelaki sejati harus begitu..." Seorang lelaki juga tidak kehilangan kejantanan hanya karena menjadi pendengar yang baik bagi istrinya, atau mengasuh anak, atau mencuci piring misalnya.
Bila menjadi lelaki harus diwujudkan dengan menjadi sosok yang penuh dengan amarah tak terkendali, harus mendominasi, serta harus berkuasa penuh pada perempuan, maka jauh lebih baik menjadi seorang manusia utuh (yang kebetulan lelaki). Pandangan masyarakat, orang tua, teman-teman tentang gender role, bahwa "lelaki harus begini, lelaki harus begitu..." harus dihancurkan untuk memutus rantai kehancuran akibat male fragility.
Artinya, menghentikan male fragility itu tidak hanya menyadarkan individu yang terkait, itu berarti mengubah budaya, pola didik, dan berani menantang sistem sosial. Kemampuan literasi emosional juga menjadi titik balik, karena pria yang mampu merawat dirinya sebagai emosional, akan terbebas dari male fragility. Terpenting, biarkan seorang pria itu tumbuh, bukan dihakimi.
Yah, sebagai penutup catatan ini, saya hanya bisa bilang bahwa tidak banyak film yang mengangkat kehancuran hubungan karena male fragility. Apalagi, Fair Play ini menyorotnya dengan "close-up". Jadi, bila Anda merasa pasangan Anda sudah mulai egois, insecure, seksis, dan semakin tampak rapuh (yang berimbas dengan kekerasan baik fisik maupun verbal), maka sepertinya film ini adalah tempat bercermin, sekaligus melihat secara subtil bagaimana hubungan cinta yang romantis menjadi perceraian yang tragis karena kerapuhan maskulin.