Catatan Rudolf Puspa: Menghargai Sejarah di Usia 78 Tahun -->
close
Pojok Seni
28 June 2025, 6/28/2025 08:00:00 PM WIB
Terbaru 2025-06-28T13:05:07Z
Artikel

Catatan Rudolf Puspa: Menghargai Sejarah di Usia 78 Tahun

Advertisement

23 Peb 2025. Pentas “Mirah” di teater besar TIM


Oleh: Rudolf Puspa


Ketika bercermin melihat wajah diriku telah muncul garis-garis tanda menua. Pikiran menggoda kenapa tidak operasi plastik? Aku hanya senyum dan menjawab lirih “why not?”. Tapi kusanggah kenapa juga tidak memilih menerima dan menikmati apa yang telah diberikan sang pencipta ? Bukankah ini adalah catatan sejarah dalam gambaran wajah yang pada tanggal 29 Juni 2025 mencapai usia 78 tahun? Jadi lebih baik hargai sejarah dan wartakan kesegenap penjuru angin bahwa menghargai sejarah artinya mencintai kehidupan sehingga tak perlu menutupi sejarah dengan memoles seolah-olah masih muda. Bagaimanapun indahnya bunga plastik tetap saja gerak lambaian tertiup angin tak ada alunannya. Bunga plastik akan tetap kaku tak bergerak. Karena kehilangan roh kehidupannya.  Justru berbahagialah karena mendapat keberuntungan mencapai umur lansia. 


Ada banyak keindahan tersendiri ketika melakoni perjalanan hidup sejak kanak-kanak yang bisa aku ingat hingga lansia. Bahwa hidup memang sama-sama kita ketahui adalah sebuah kelahiran menuju hari kematian. Diawali jamuan bahagia sebuah kelahiran dari orang tua hingga saudara-saudara serta tetangga hingga nantinya jamuan kematian dari rumah duka hingga penguburannya. Ini sebuah prosesi kehidupan yang nyata akan dialami setiap yang hidup. Jalani proses dan rangkum jadi cerita bagi anak cucu dan karena memilih menjadi seniman teater maka akan lebih bermanfaat cerita dipanggungkan agar didengar dilihat dijadikan bahan berbincang oleh sebanyak-banyaknya penikmat seni. Bukankah cara ini justru memiliki nilai hidup yang bermanfaat bagi orang lain? Jadilah kehidupan menjadi sebuah gerak yang selalu optimis. Sikap yang pernah dikatakan sahabat karibku sejak 1984 yakni Andre Lusa yang menulis pendapatnya di Facebook bahwa ia mengenalku sebagai orang yang optimis hidupnya.


"Perang dan Pahlawan" karya Bernard Shaw di Bali Room Hotel Indonesia, tahun 1968.


Kegiatan manusia sejak lahir bahkan ketika membesar di kandungan ibunya adalah selalu bergerak. Gerakkan yang bukan tanpa makna namun membawa cerita tentang apa yang sedang dirasakan. Walau belum bisa bicara namun punya bahasa yakni gerak dan suara. Masa balita hingga membesar ada serangkaian kegiatan yang lebih banyak bermain baik sendiri atau dengan teman dengan teman. Terlebih ketika sudah memasuki jenjang sekolah rakyat (sekarang SD) hingga sekolah menengah atas tentu sangat banyak haru birunya.  Apalagi bagi yang sempat memasuki perguruan tinggi. Dengan teratur aku memiliki catatan untuk itu dan jika mau dan mampu dapat disusun menjadi sebuah buku biografi. Namun entah kenapa sampai hari ini masih belum tergerak walau sudah banyak teman yang mau menerbitkan. Akhirnya hari ini aku serahkan saja pada sang waktu untuk mengaturnya.


Ada satu peristiwa yang sangat melekat pada diriku.  Sejak kanak-kanak tiap hari lebaran walau keluarga saya penganut Katolik; orang tuaku membawaku kerumah eyang di desa Ngemplak Delanggu Jawa Tengah dan menginap  dua hari. Eyang adalah bapak dari bapakku dan sebagai anak tertua ia sangat bahagia berada di rumah masa kecilnya bersama ke 11 adiknya. Maka suasana lebaran sangat ramai karena semua membawa anak2nya yang masih kecil hingga remaja.   Eyangku selalu menanggap wayang kulit semalam sehari. Jadi ada waktu 24 jam tersedia tontonan wayang kulit yang digelar di pendopo rumahnya yang besar karena beliau lama menjadi demang di desa Ngemplak. Bukan hanya untuk keluarga tanggapan wayang kulit tersebut namun juga untuk seluruh warga desa yang memang dulunya lama dipimpin beliau. 


4 Okt 2023 di Gymnasium Roma. 


Singkat cerita aku selalu memilih duduk dekat kotak wayang melihat dalang memainkan wayang-wayangnya. Dalang bertanya mau apa anak kecil disini? Apalagi sampai tahan tidak tidur semalam suntuk? Aku tak mampu menjawab dan hanya senyum malu-malu dan mau pergi tapi dalang segera mencegah dan akupun langsung senang duduk disana. Ketika aku sudah berkelana dengan teater keliling yang berdiri tahun 1974 barulah aku menemukan jawaban dari pertanyaan dalang sekian puluh tahun lalu. Betapa kaya gerakkan tubuh dalang ketika ngomong yang setiap tokoh wayang kulit itu berbeda-beda warna suaranya. Kadang harus miringkan kepala, menunduk, menengadah. Belum lagi bentuk bibirnya juga berubah-rubah yang ternyata bisa mengeluarkan bunyi yang berbeda-beda. Kedua tangan lincah memainkan anak-anak wayangnya di layar yang disorot lampu minyak zaman itu sehingga jika dilihat dari balik layar maka tampak bayang2 wayang yang ada nafasnya. Hidup sekali wayang kulit tersebut yang berbeda karakternya. Sang dalang juga mampu menunjukkan adegan menari, perang dan juga menyanyi. Aneh juga ya wayang kulit kan dicat warna warni tapi bayang-bayang yang kita lihat jadi hitam semua. Barangkali mengandung pengertian bahwa manusia memang warna warni karakter, adat, adab, perangai namun intinya tetap satu yakni hitam putih. 


Dalang tidak sendiri bekerja karena memerlukan bantuan nyata seperti  pesinden yang kadang bisa satu, dua atau tiga. Merekalah yang akan nyinden atau menyanyikan lagu yang diminta dalang. Diiringi suara gamelan yang satu perangkat lengkap cukup banyak jumlahnya. Dan yang menarik ada namanya gambang yang sepanjang pertunjukkan terus ditabuh. Memang tak terlalu kuat suaranya dan aku baru menyadari bahwa ada kegiatan menabuh sepanjang cerita karena ada dibelakang dalang. Tentu ada makna khusus kenapa harus ditabuh sepanjang jalannya cerita yang bisa dibahas khusus. Dari semua  yang aku lihat maka aku tangkap bahwa pertunjukkan wayang kulit merupakan sebuah karya seni yang dilakukan secara kolektif. Maka sikap saling mendengar dan merespons menjadi sebuah karakter para seniman wayang kulit. Rasa kebersamaan berkarya itulah menjadi kekuatan utama untuk tercapainya sebuah gelaran tontonan yang memikat.


Menerima penghargaan sebagai Abdi Abadi 26 Desember 2016.


Jika seni teater sering dikatakan sebagai hasil karya kolektif maka tentu wayang sama dengan teater dan memang wayang kulit juga teater walau sering disebut tradisional. Artinya sebuah kesenian yang sudah menjadi tradisi kesenian yang hidup cukup berumur bahkan sudah lebih dari lansia. Dan dengan adanya dialog, musik. nyanyi, tari maka bisa termasuk yang kini sedang digandrungi yakni musikal teater. Betapa kaya sebenarnya kasanah kesenian tradisi kita dan saya merasakan ini sebuah anugerah yang dahsyat yang dimiliki oleh bumi nusantara. Tidak salah jika saya semakin mendalam mempelajari seni tradisi tontonan yang beraneka bentuk di nusantara dan prihatin karena justru semakin menuju kepunahan. Barangkali dunia yang semakin mengglobal terasa semakin kuat gerakkan hidup yang cepat berubah dan saling mempengaruhi. Dengan demikian karya senipun turut terkena imbas yang jika tidak mengikuti gerak perubahan khususnya teknologi maka lambat laun akan tersingkirkan. Yang penting dipikirkan adalah bagaimana perubahan tidak menghilangkan roh kesenian tradisi. Itulah tantangan bagi segenap seniman bidang apapun. 


Inilah isi utama renungan memperingati hari kelahiranku genap 78 tahun. Bahwa dari kebiasaan nonton wayang kulit itulah yang mengantarkan aku menjadi seorang seniman teater modern Indonesia. Pilihan hidup yang sudah aku rasakan sejak sekolah SMA negeri 2 di kota kelahiranku Solo hingga hijrah ke ibukota dengan tujuan kuliah seni teater. Ternyata karena peristiwa G30S baru saja berlangsung maka ATNI yang aku dambakan belum mulai kegiatan perkuliahan.  Maka aku memilih jalan lain menuju Roma yakni mengeduk ilmu secara pribadi ke seniman-seniman teater di Jakarta seperti Teguh Karya, Kasim Achmad, Wahyu Sihombing, D Djajakusuma dan guru teaterku sejak SMA Arifin C Noer di Yogya menjadi semakin dekat dan ketika ia juga hijrah ke Jakarta aku ikut teater ketjil yang beliau dirikan. Dari jadi aktor hingga asisten sutradara.


1970 pentas Mega Mega oleh Teater Ketjil sutradara Arifin


Kasim Achmad dan istri yang tidak punya anak menganggap aku anaknya sehingga kedekatan ini menjadi sangat spesial. Beliaulah yang mendukung aku ikut audisi untuk pemilihan pemain pendamping aktor besar Sukarno M Noor dalam produksi naskah karya Putu Wijaya yakni Lautan bernyanyi dengan sutradara Pramana PMD. Ini merupakan produksi dari BPTNI (Badan pembina teater nasional Indonesia) yang sejak bermunculan grup terater di Jakarta maka BPTNI menghilang dari peredaran karena tak ada yang melanjutkan.  Pementasan dalam rangka peresmian Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki 10 Nopember 1968 oleh gubernur Ali Sadikin. Sebuah kebanggaan tersendiri tentunya sampai terpilih menjadi aktor pendamping aktor sebesar Sukarno M Noor. Walau gemetar namun menjadi berani dan kuat karena beliau sendiri selain sang sutradara memberi dukungan dan keyakinan bahwa dengan disiplin latihan maka pasti berhasil.  Usai pergelaran di teater tetutup Taman Ismail Marzuki maka pak Djajakusuma menyuruh aku kerja di TIM jadi awak panggung. Wah ini hadiah yang tak terkira maknanya bagiku dalam melanjutkan karier dibidang seni teater. Belajar bagaimana mengurus dan menyiapkan panggung dalam membantu grup-grup seni apa saja yang manggung di TIM.


Kebanggaan tak terkira itu juga sebelumnya sudah aku terima ketika Teguh Karya meminta aku ikut festival teater di Bali Room Hotel Indonesia dimana dia bekerja. Festival yang diadakan tiap tahun merayakan ulang tahun Hotel Indonesia. Inilah pentas pertamaku semenjak memasuki dan tinggal di Jakarta akhir tahun 1967.  Menjadi aktor sekaligus sutradara muda yang tak dikenal masyarakat teater kecuali para guru otodidakku membuat aku benar-benar serasa berada dimeja judi di hari-hari langkah awal berkelana di Jakarta yang keras kehidupannya terlebih untuk teater. Tidak kenal siapapun harus mencari pemain dan dengan tekat bulat waktu itu dekat kantor direktorat kesenian di Sarinah ada SMA Theresia dan karena aku suka drum band maka sering nonton siswa siswi latihan. Nah aku beranikan kenalan dengan drum mayor atau mayoret dan bertanya apa mau ikut main drama dan ditanggapi spontan bersedia.  Aku minta cari dua teman lagi dan memang berhasil. Maka ada tiga gadis SMA Theresia sedia main yakni Elly, Yani dan Isye. Mereka tercatat adalah wanita pertama di Jakarta yang gabung denganku. Laki-lakinya Rulakso yang adalah sahabat karibku sejak sma dan ikut berteater. Aku  bersama ke Jakarta dan ikut nginap di rumah saudaranya. Lalu Alfons Taryadi wartawan Kompas, dan satu lagi lupa namanya yang aku kenal ketika aku dibantu nginap di SD Jl.Tegal oleh kenalan baruku yakni H.Elsa Surya.  Alhasil terlaksana pementasan di Bali Room Hotel Indonesia yang megah bagi ukuranku dan mendapat masing2 honorarium dari Teguh Karya per orang 750 rupiah. Uang yang cukup besar waktu itu bagi kami hidup di Jakarta. Naik bis kota masih satu rupiah. Itulah uang pertama dari kegiatan teater yang aku terima di Jakarta. Tumbuh keyakinan baru bahwa saya harus optimis bahwa teater bisa menghidupi diriku jika aku mampu terus menerus menghadirkan teater yang berdaya sentuh pada hati setiap penikmatnya.


MUSIKAL MEGA MEGA adaptasi dari karya Arifin C Noer dalam pentas 50 th Teater keliling 23,24 Peb 2024 di GKJ. Pemain senior dihadirkan juga. Adek Nst (Tukijan), Kay (Retno), Dery (Mae), Rudolf (Koyal), Buyung Bizard (Hamung) dan Aditya (Panut)


Setelah itu bersama L.K Ara yang kerja di Balai Pustaka kami mendirikan teater Balai Pustaka dan berhasil ikut festival pentas di Gedung Kesenian  tahun 1968 dan juara ketiga. Namun selanjutnya kegiatanku lebih memilih ikut Arifin C Noer. Hingga  tahun 1974 aku memilih keluar dari kerja di TIM dan mendirikan teater keliling yang kugeluti hingga saat ini. Si bocah gede yang tak punya kemampuan mencari fulus sangat beruntung didukung teman-teman seperti Dery, Jajang, Saraswaty, Paul Pangemanan, Willem, Buyung, RW Mulyadi, Syaeful. Dery Syrna yang masih kuliah di Univ Trisakti jurusan teknik arsitektur tampil didepan membukakan jalan sehingga teater keliling punya nafas untuk berkarya. Ia punya kemampuan menerobos segala halangan hingga teater beserta anggotanya bisa hidup sehat dan prima dalam berkeliling. Sebuah kegiatan teater yang di zaman orde baru masih berada dalam kegelapan yang pekat. Sebuah kenangan yang menakjubkan bagiku karena di awal tahun 1974 belum setahun sudah bisa keliling Jawa hingga Sumatera. Medan menjadi kota terlama keberadaan teater keliling dan bisa keliling seluruh propinsi Sumut. Base camp dirumah Dahri Uhum Nasution yang didukung Teater Nasional Medan pimpinan Burhan Piliang. Itulah sejarah keliling tahun 1974-1975. Selanjutnya Dahri dan Buyung Bizard ikut keliling Sumatera utara dan ketika kami kembali ke Jakarta maka merekapun memutuskan ikut gabung. Direktur PT.PELNI di Medan pun memberi tiket gratis untuk tambahan anggota rombongan pulang ke Jakarta naik kapal Tampomas. Unik karena kami membayar dengan pentas teater di kapal selama dalam pelayaran. Dahri bahkan sampai terpilih menjadi sekretaris teater keliling yang pertama. Inilah kota-kota yang merupakan macan-macan yang terus mengaum mendukung kami sehingga teater keliling memiliki kekuatan batin yang luar biasa yang sepertinya masih belum ada pengganti sehingga masih bisa disebut satu-satunya teater keliling yang ada di Indonesia. 


Di usia lansia hingga 78 tahun inilah kebanggaan, kebahagiaan dan apalagi sebutan yang tepat karena mampu beregenerasi walau secara mendadak. Tak pernah aku siapkan karena aku melihat setiap grup2 teater yang besar2 dan bernama ketika pemimpin atau pendirinya wafat maka grupnya mengikuti. Hanya Bengkel teater Rendra yang oleh Rendra dilarang diteruskan bila ia wafat. Barangkali ia sudah tahu hal itu lalu ambil pesan agar tidak menjadi beban anggota-anggotanya. Maka aku selama keliling justru menghilangkan keinginan untuk regenerasi sehingga tak ada penyiapan untuk itu. Memang tidak mudah untuk mampu keliling secara terus menerus karena membutuhkan pengorbanan waktu sepanjang 24 jam tiap harinya agar bisa berkeliling tanpa kenal pulang. Lebih lagi perlu kesetiaan yang tinggi dalam kehidupan teater yang tidak menjanjikan hasil materi yang layak. Untuk layak saja masih jauh dari mimpi apalagi kepantasan. Namun ternyata berhasil terjadi regenerasi yang aku katakan mendadak ketika putri sulungku setelah lulus kuliah di UNPAD jurusan FISIP bidang hubungan internasional bukannya jadi diplomat namun datang dan mengatakan penyesalannya ketika SMA tak suka sejarah.  Ya ternyata sama-sama kita sadari bahwa salah satu kesalahan besar bangsa ini adalah tak kenal sejarahnya. Maka iapun beride untuk membuat cerita2 naskah drama yang mengangkat sejarah pahlawan2 bangsa. Selain itu juga mengangkat cerita-cerita asli atau legenda yang sangat kaya di tanah air. Gagasannya adalah mengangkat cerita bangsa sendiri sampai ke kancah internasional agar dapat terlihat bahwa kita tidak kalah dengan cerita2 legenda mereka yang mendunia.


Oktober 2023 Museum Louvre Paris

Sejak 2012 regenerasi terjadi tanpa upacara apapun dan putri sulungku Dolfry Inda Suri menggantikan ibunya mengurus managemen teater keliling. Tentu  awalnya ingin memulai pentas-pentas di Jakarta agar masyarakat Jakarta semakin mengenal teater keliling dan tetap setahun sekali mengadakan pentas keliling. Untuk generasi kedua ini memang tidak memungkinkan keliling seperti generasi sebelumnya yang bisa sampai berbulan-bulan ikut keliling. Ia merangkul anak  milenial hingga gen Z dan Alpha yang tentu saja kebanyakan masih sekolah dan juga ada yang bekerja yang tak mungkin ijin berlama2 meninggalkan sekolah atau kerjanya. Maka ketika ada pelajar yang sampai diberi  jjin kepala sekolahnya untuk ikut dua minggu keliling itu sudah luar biasa terjadi di Jakarta.  Kalau yang kuliah masih bisa dapat ijin atau cuti satu semester misalnya. Memang tidak mungkin cuti lagi cuti lagi karena waktu kuliah ada batasnya. Tidak seperti dulu terjadi mahasiswa abadi. Wajah baru teater keliling generasi kedua mulai mendirikan yayasan dan selanjutnya membuka audisi mencari pemain yang ternyata animonya sangat besar dari kalangan milenial. Diawali menggarap naskah karya sendiri berjudul Jas Merah dimana beberapa tokoh kemerdekaan dihadirkan dan terjadi dialog dengan anak muda secara imajiner. Dialog dibuat yang disesuaikan dengan bahasa anak gaul agar lebih bisa komunikatif. Kemudian produksi selanjutnya memulai mendalami dan memproduksi teater musikal. Audisi semakin besar jumlah peminatnya dan pementasan juga memberanikan diri kolosal dengan 100 lebih pemain dari aktor, penari, pemusik, penyanyi hingga pesilat. Sebuah kerja baru dalam teater musikal yang selanjutnya kini sudah menjamur di Jakarta.


Aku mencatat renungan peringatan 78 tahun usia hidup atas perkenan yang Maha Kuasa tentunya.  Cerita cerita yang kuberikan di hari ini adalah yang memang menjadi catatan yang membuatku tetap bangga menjadi seniman teater dan terutama karena masih diberi kesehatan yang prima hingga tetap mampu menulis naskah, menjadi aktor., menjadi sutradara. Tentu saja lansia tak terkecuali mengalami jatuh sakit namun karena adanya rasa bangga menjadi seniman Indonesia maka kebanggaan itulah yang mahal nilainya bagi merawat kesehatan. Maka sakit dan sehat menjadi satu upacara hidup yang sama keindahannya. Semua memiliki kenikmatannya dengan selalu mensyukuri apa yang dihadirkan dalam diriku selama hidup. Umur 78 tahun sebagai seniman yang umumnya egonya sangat tinggi namun jika tetap mau belajar merawat kerendahan hati akan dapat berhasil melatih hingga menyutradarai anak-anak milenial hingga gen Z dan Alpha yang sangat jauh beda karakternya. Ajaran teknik teater untuk selalu mengasah ketajaman mata dan telinga  lalu mengolah lewat daya rasa akan mampu berkomunikasi dua arah antara si tua dan si muda. 


Merawat kesehatan lahir batin tetap prima diperlukan disiplin mengikuti aturan-aturan yang memang harus ditaati baik yang aturan umum ataupun organisasi hingga aturan pribadi. Yang sulit kan mrawat kehatan batin karena abstrak batin itu seperti apa? Ngak bisa dilihat atau diraba sehingga perlu asupan yang barangkali abstrak. Salah satu yang aku lakukan adalah memajang piagam penghargaan di ruang kerjaku. Ruang kerja yang oleh cucu-cucuku disebut kantor. Begitu banyaknya hingga ruangan tak cukup yang harus berbagi dengan piala, plakat, poster dan aneka hadiah yang kuterima selama 51 tahun berkeliling.  Dengan tiap saat bisa melihat penghargaan tersebut maka terasa ada asupan darah yang mengalir deras sehingga memompa adrenalin semangat berteaterku. Terutama piagam penghargaan sebagai “ABDI ABADI” dari Federasi teater Indonesia pimpinan Radhar Panca Dahana. Ini penghargaan untuk pertama kali ada setelah mereka berembug untuk memberi penghargaan kepadaku namun tidak pas jika sekedar penghormatan seperti umumnya. Rapat berkali-kali ketemulah istilah yang tepat yakni abdi abadi. Bangga tentu saja namun tidak mudah memanggulnya bahkan melebihi kayu salib untuk zaman ini beratnya. Tahun kedua ibu Tatiek Maliyati yang mendapatkannya. Selanjutnya adem saja sejak Radhar wafat belum ada yang meneruskan kegiatan FTI.     


Mimpi Koyal menang lotre dalam Musikal Mega Mega.


Terima kasih kepada siapapun yang telah selalu memberikan dukungan apapun bentuknya sehingga bisa menjalani hidup hingga hari ini yang mana masalah duniawi bisa teratasi seperti rumah, alat transport pribadi dan kekayaan tak ternilai yakni dua anak perempuan yang sudah mandiri yakni Dolfry Inda Suri sarjana fisip dan adiknya Sesarina Puspita dari IKJ bidang director of photografi. Mereka  memberikan hadiah yang menambah bahagia yakni tiga cucu yang wanita  semua. Kepada istri, dua anak, dua mantu dan tiga cucu inilah aku bisa bergembira menyambut tiap pagi sinar mentari dan sinar temaram bulan yang menggantikan di malam hari.


Menutup renungan memasuki usia 78 tahun aku telah menemukan kata ungkap  yang sangat tepat bagiku dalam menggelorakan suara hati kecilku yakni “horas”. Dan dengan segala rasa bahagia bangga kepada semua yang kukenal walaupun tidak namun datang menonton pertunjukan2 teater keliling  terimalah salam tabik hangatku.


Happy birthday Rudolf Puspa.

HORAS ! HORAS ! HORAS HORAS HORAS !!!!


Jakarta 27 Juni 2025.

Ads