Refleksi Sejarah Lebaran: Antara Kebahagiaan Semu dan Pemaknaan Subjektif -->
close
Pojok Seni
15 April 2024, 4/15/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-04-16T02:53:01Z
Artikel

Refleksi Sejarah Lebaran: Antara Kebahagiaan Semu dan Pemaknaan Subjektif

Advertisement
Ilustrasi Perang Badar
Ilustrasi Perang Badar

Oleh: Adhyra Irianto


Lebaran, hari raya bagi umat Muslim sedunia, awalnya adalah perayaan bagi kemenangan umat Muslim di perang Badar. Perang ini berlangsung pada bulan Maret tahun 624 Masehi, atau bulan Ramadhan tahun kedua Hijriah. Perang ini disebabkan putusnya jalur dagang dari dan menuju Mekkah, karena dipotong atau dicegat di Madinah. Caravan (kereta dagang) yang datang ke Mekkah maupun keluar dari Mekkah semuanya terhenti di Madinah.


Sampai akhirnya mereka mendengar kabar pasukan besar dari Mekkah datang menyerang Madinah sebagai imbas dari kejadian "cegat-mencegat" tersebut. Ditambah lagi perseteruan lama antara paman-keponakan (Abu Lahab vs Muhammad) ini sudah sejak lama berada di titik puncak. Keduanya sama-sama mengumpulkan pasukan, Abu Lahab mengumpulkan pasukan di Mekkah, Muhammad mengumpulkan pasukan di Madinah. 


Saat itu, seribu pasukan dari Mekkah yang dikumpulkan Abu Lahab bergerak menuju Madinah. Tapi Muhammad SAW bukan orang sembarang, otaknya jenius. Ia segera mengatur strategi perang, karena jumlah pasukan yang dipimpinnya bahkan tidak sampai sepertiga dari pasukan yang datang dari Mekkah.


Strategi pertama, semua wadi, sumur, dan oase di perjalanan Mekkah menuju Madinah (sekitar 435 km) ditutup. Bayangkan saja, perjalanan dari Mekkah ke Madinah itu dulunya setidaknya membutuhkan waktu sekitar 4-5 hari. Dan selama itu, seribu pasukan tidak bisa mendapatkan pasokan air! Belum lagi, pasukan pemanah yang berada di perbukitan jalur Mekkah - Madinah, terus menerus membuat pasukan besar dari Mekkah terus tergerus.


Hasilnya, ketika mereka bertemu di Madinah, ribuan pasukan yang kelelahan dan dehidrasi bertempur melawan ratusan pasukan yang sudah benar-benar siap dan sehat. Yah, bukan malaikat yang menjadikan pasukan Muhammad SAW menang di Perang Badar, tapi kejeniusan dari sang panglima itu sendiri. Apakah Anda lebih setuju Muhammad SAW itu seorang yang "manja", yang bahkan untuk berperang saja harus minta bantuan? Atau sepakat bahwa ia adalah seorang yang punya pemikiran yang cerdas dan terencana dengan baik?


Buktinya, ketika rencananya tidak berjalan dengan baik di Perang Uhud, pasukan Muslim kalah, bukan? Kisah ini tertulis dalam buku Al Maghazi yang ditulis oleh Imam Al-Waqidi. Apakah Anda pikir lawan Muhammad SAW yang bernama asli Abdul Uzza bin Abdul Muthalib (alias Abu Lahab) itu adalah lawan yang gampang? Tidak! Ia adalah orang kaya, kuat, dan juga cerdas. Kecerdasannya juga kekuatannya dan pengaruhnya di Kota Mekkah terbukti dengan berhasil mengumpulkan ribuan orang di kota itu untuk bergerak lebih dari 400 km untuk menyerang pasukan Muslim. Kira-kira kalau dianalogikan ke hari ini, siapa yang bisa mengumpulkan seribu pasukan lalu berjalan kaki dari Jakarta ke Semarang? (jarak Jakarta - Semarang kurang lebih mirip dengan jarak Mekkah - Madinah)


Yah, setidaknya orang itu adalah bupati atau walikota, bukan? Yah seperti itulah Abu Lahab, lawan dari Muhammad SAW. Apakah Anda terpikir, bila Abu Lahab adalah orang yang kuat, cerdas, dan kaya, maka untuk mengimbanginya, Muhammad juga harus kuat, cerdas, dan kaya? Katakanlah kekayaannya di-support oleh istrinya, Khadijah dan sahabatnya, Abu Bakar. Tapi, kekuatan dan kecerdasan apakah juga bisa di-support? 


Muhammad dan Abu Lahab sama-sama orang yang berkharisma, pembicara yang baik, tapi sekaligus panglima perang yang berani dan cerdas di medan perang. Karena itu, perang mereka berlangsung sengit selama bertahun-tahun. Istilah "malaikat turun membantu" itu mungkin digunakan Muhammad untuk membakar semangat para pasukannya agar tidak keder melihat lawannya berkali lipat jumlahnya.


Intinya, perang besar (Perang Badar) terjadi di tahun kedua hijiriah, tepat di bulan Ramadhan. Pasukan Muslim berperang sambil menahan lapar dan haus, karena sedang berpuasa. Mereka menang di perang tersebut, maka sehabis perang, mulailah sebuah perayaan untuk memperingati kemenangan bersejarah itu. Kebetulan, umat Islam sedang "mencari" sebuah perayaan untuk mengganti hari raya Nairuz dan Mahrajan yang biasa dirayakan oleh orang-orang Arab sebelum Islam. Muhammad berkata "Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari raya kalian dengan dua hari raya yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha."


Maka tradisi Idul Fitri dimulai sejak itu. Tahun kedua hijiriah, tapi tahun pertama bagi perayaan Idul Fitri. Memasuki bulan Syawal, dirayakan oleh umat Islam sebagai bulan kemenangan. Sedangkan bulan Ramadhan adalah bulan penuh perjuangan, melawan "setan". Dari total 313 pasukan muslim, hanya 14 orang yang meninggal. Sedangkan bagi lawannya, puluhan orang meninggal, dan puluhan lagi menjadi tawanan perang. 


Bulan kemenangan bagi umat Islam, bulan penuh duka bagi lawannya. Intinya, perspektif kita melihat kejadian ini dari mana? Sama seperti kejadian Usman - Harun yang dikirimkan oleh pemerintah untuk mengebom Singapura di bulan Maret tahun 1965. Bagi Singapura, Serda Usman dan Kopral Harun adalah penjahat, sehingga banyak yang bersorak ketika keduanya dihukum mati oleh pengadilan Singapura pada tahun 1968. Tapi bagi Indonesia, keduanya adalah pahlawan yang gugur karena membela kepentingan bangsa dan menentang imperialisme modern. Nama keduanya diabadikan sebagai nama kapal perang TNI AL. (Baca kisah lengkap Usman - Harun ini di artikel: Sumpah Bung Hatta Tak Akan Pernah Menginjakkan Kaki ke Singapura)

Bagaimana kita orang Indonesia melihat seorang Xanana Gusmao? Tapi, berbeda jauh dengan bagaimana orang-orang di Timor Leste melihat sosok yang sama. Intinya adalah perspektif dan pemaknaan terhadap sesuatu. Perayaan Idul Fitri adalah sebuah kemenangan yang membahagiakan, setelah melewati perjuangan berat, menebas orang-orang yang dinilai jahat, bagi umat Islam. Tapi bagi kaum "musyrikin", tanggal 1 Syawal tahun 2 H itu adalah hari berduka. Ada banyak perempuan yang kehilangan suaminya, anak-anak yang menjadi yatim, dan seorang ibu yang kehilangan anaknya. Hari duka, hari penuh air mata. 


Bagaimana bisa seseorang berpesta dan bersuka ria di tengah lautan air mata orang lain? Yah, tentu saja bisa. Narasi bahwa lebaran merupakan hari kemenangan karena melawan "hawa nafsu" tentunya tidak akan menghapus sejarah kelam tentang pertama kali lahirnya perayaan ini. 


Semua di dalam hidup kita, menjadi indah atau buruk, menjadi berarti atau nirmakna, itu semua tergantung bagaimana pemaknaan kita terhadap sesuatu. Kita bisa bahagia, ataupun sedih, tergantung perspektif yang kita pilih. Bayangkan saja ketika Hamas menjatuhkan rudal ke tengah konser musik di Israel, sehingga ratusan orang menjadi korban, tapi hal itu dianggap sebuah tindakan heroik dan sangat bermakna bagi sebagian orang, dan tindakan pengecut serta tidak berperikemanusiaan bagi sebagian lainnya. Serangan balasan Israel menewaskan ratusan orang di Gaza, dianggap sebagai tindakan kejam bagi sebagian orang, tapi dianggap sebagai pembalasan yang setimpal bagi sebagian lainnya.


Tapi intinya, semuanya semu. Bahagia, atau sedih, bisa kita pilih dan sesuaikan dengan keadaan. Bila kita berada di pihak klub bola AC Milan misalnya, maka kekalahannya dari AS Roma akan benar-benar menyakitkan. Tapi, bila kita berada di pihak AS Roma, maka malam kemenangan tersebut adalah malam yang begitu indah. 


Hidup adalah deretan-deretan absurditas yang menjadikan seseorang harus terus waspada secara permanen. Anda bisa tidur nyenyak, tapi segeralah bangkit dan selamatkan banyak orang ketika terasa guncangan gempat. Anda bisa bercita-cita dan berencana, tapi ketika tsunami melanda kota Anda, semua cita-cita itu harus benar-benar bisa Anda lupakan sejenak. Semua hal yang terjadi dalam hidup adalah tonggak-tonggak waktu yang terus kita kalahkan setiap waktu. Karena hidup adalah perjuangan dan peperangan tanpa henti melawan waktu dan absurditas hidup.


Tapi, apakah kita harus bersedih dengan keadaan itu? Harus menangisi bahwa kita tidak terlahir tampan atau cantik, misalnya? Atau harus menangisi bahwa kita tidak terlahir kaya, misalnya? Tidak. Kita hanya perlu memberikan pemaknaan yang positif pada hidup kita. Saat Anda tidak punya pasangan hidup, Anda bisa memaknai bahwa Anda terlalu tinggi level bagi banyak lelaki atau perempuan, sehingga sulit untuk mencari yang sepadan.


Sebagaimana lebaran, sebuah perayaan yang berdiri di atas air mata orang-orang yang kehilangan. Semua yang ada di hidup ini, bisa menjadi hal yang membahagiakan, asalkan Anda memaknainya dengan hal yang membahagiakan. Apapun itu, hidup terlalu berharga untuk tidak dimaknai dengan baik.

Ads