Seniman yang Mengabaikan Politik Sebagai Seni Adalah Kekeliruan -->
close
Pojok Seni
22 March 2024, 3/22/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-03-22T01:00:00Z
Artikel

Seniman yang Mengabaikan Politik Sebagai Seni Adalah Kekeliruan

Advertisement
Seniman dan politik
Komisi X DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) menyoal revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) bersama Forum Seniman Peduli TIM

Oleh  Zackir L Makmur*


Lebih awal saya ajak tuan-tuan dan puan-puan untuk tamsya berpikir terhadap pemahaman “politik sebagai seni” di mana  politik bukanlah sekadar kumpulan aturan dan prosedur –tetapi lebih merupakan seni yang menggambarkan kompleksitas hubungan manusiawi dan dinamika kekuasaan. Istilah "politik sebagai seni" merujuk pada pemahaman bahwa politik memerlukan tidak hanya pengetahuan teknis, tetapi juga pemahaman mendalam tentang manusia, kebijakan, dan interaksi antarmanusia.


Dalam politik, interaksi dan negosiasi antara individu dan kelompok menjadi kunci utama. Seperti halnya seni, kemampuan untuk memahami dan memanipulasi dinamika antarpribadi menjadi penting. Komunikasi yang baik, kemampuan membangun aliansi, dan pemahaman yang mendalam tentang motivasi orang lain menjadi aspek penting yang menandai politik sebagai seni.


Kreativitas juga merupakan elemen vital dalam politik. Seperti seni, politik membutuhkan kreativitas untuk menemukan solusi yang efektif dalam situasi yang kompleks dan berubah-ubah. Politisi yang terampil harus dapat berpikir di luar kotak, dan menemukan cara-cara baru untuk menanggapi tantangan politik yang muncul.


Tidak hanya itu, politik sebagai seni juga melibatkan pengembangan strategi yang efektif. Memahami kapan dan bagaimana menggunakan kekuatan politik, serta mengidentifikasi titik lemah dan kekuatan lawan, menjadi kunci dalam mencapai tujuan politik tertentu.


Konteks ini juga memiliki peran yang sangat penting dalam politik. Politisi yang terampil harus mampu memahami sejarah, budaya, dan dinamika sosial yang mempengaruhi keputusan politik. Ini membantu mereka merencanakan strategi yang sesuai dengan kondisi yang ada, dan memberikan kebijakan yang responsif terhadap tuntutan masyarakat.


Intuisi dan penilaian yang cermat terhadap situasi dan orang-orang yang terlibat juga merupakan bagian integral dari politik sebagai seni. Para politisi harus mampu membaca situasi dengan cepat dan membuat keputusan yang tepat berdasarkan informasi yang tersedia.


Seniman dalam Ranah Politik


Pandangan bahwa politik adalah seni mengakui kompleksitas hubungan manusiawi dan dinamika kekuasaan yang melibatkan politik. Keberhasilan dalam politik tidak hanya bergantung pada pengetahuan dan keterampilan teknis, tetapi juga membutuhkan pemahaman mendalam tentang dinamika sosial dan manusiawi. 


Politik sebagai seni memberikan wawasan yang lebih dalam tentang arah politik suatu negara atau masyarakat. Mengabaikan keterlibatan seniman dalam politik dapat membawa risiko yang tidak dapat diabaikan.


Maka memasukkan seniman ke dalam ranah politik sejatinya membawa banyak manfaat. Sejarah mencatat peran seniman dalam politik sejak zaman Yunani klasik hingga era modern. Seniman-seniman dari masa Romawi dan Yunani klasik, serta dari negara-negara seperti India, China, dan Persia (sekarang Iran), seringkali memiliki dampak yang signifikan dalam politik. 


Cicero dari Romawi, Perikles dari Yunani, Chanakya dari India Kuno, Kongzi (Confucius) dari Tiongkok Kuno, dan Cyrus Agung dari Kekaisaran Persia Kuno –adalah contoh-contoh yang sudah dijabarkan sejarah. Sebutlah Cicero, seorang orator terkenal dan politikus Romawi, terlibat dalam politik sebagai senator dan konsul, sementara Perikles, negarawan terkemuka di Athena kuno, memimpin kota tersebut selama zaman keemasan Yunani dengan kebijaksanaannya dalam politik dan dukungannya terhadap seni dan budaya.


Di India Kuno, Chanakya dikenal karena karyanya dalam ilmu politik dan ekonomi, terutama dalam teks klasik "Arthashastra", sementara di Tiongkok Kuno, Kongzi (Confucius), meskipun bukan politikus aktif, mempengaruhi banyak pemimpin politik dengan ajarannya tentang etika dan moralitas. Sementara itu, Cyrus Agung dari Kekaisaran Persia terkenal karena kebijaksanaan politiknya yang luas dan toleransinya terhadap budaya dan agama.


Di wilayah Nusantara, beberapa seniman dan tokoh budaya seperti Gajah Mada, Raden Adjeng Kartini, Sutan Sjahrir, Abdul Haris Nasution, dan bahkan Sukarno juga memiliki peran yang penting dalam politik. Mereka tidak hanya berkontribusi pada pengembangan budaya, tetapi juga memainkan peran penting dalam sejarah modern Indonesia.


Dinamika Seniman dan Politik 


Sejarah seni dan politik di Indonesia seringkali saling terkait dan mengalami perubahan dinamis seiring berjalannya waktu. Sejumlah sastrawan dan seniman telah memperlihatkan kolaborasi yang erat antara dunia seni dan politik, yang mencerminkan ikatan yang kuat antara para aktivis politik dan seniman dalam perjuangan untuk kemerdekaan dan pembangunan bangsa.


Chairil Anwar, salah satu sastrawan terkemuka Indonesia, menonjol dengan karyanya yang memuat gambaran tentang para aktivis politik yang kemudian menjadi pemimpin Indonesia –khususnya dalam puisinya yang terkenal berjudul “Karawang – Bekasi”. Dalam puisi ini, Chairil Anwar mengabadikan nama-nama seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir, lantas menunjukkan ikatan yang erat antara para aktivis politik dan seniman dalam perjuangan untuk kemerdekaan Republik Indonesia.


Kolaborasi semacam ini juga terlihat dalam karya seni lukis Affandi yang berjudul “Boeng Ajo Boeng”. Diperintahkan oleh Bung Karno melalui Sudjojono, seorang legenda lukisan Indonesia, Affandi menciptakan karya-karya yang membangkitkan semangat juang rakyat dan memperkuat ikatan antara seniman dan politikus.


Ketika pada masa demokrasi terpimpin, para seniman yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) bergabung dengan para aktivis politik dan pemerintah untuk melawan kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, seorang anggota Lekra yang terkenal, menggambarkan semangat realisme sosialis dalam sastra Indonesia, yang mencerminkan kolaborasi antara seniman dan politikus dalam memperjuangkan keadilan sosial.


Namun, pasca peristiwa G30S/1965, kelompok Manikebu, yang menganut pandangan humanisme universal dan jargon “Seni untuk Seni”, bersekutu dengan rezim Orde Baru untuk menindas seniman-seniman Lekra yang mendukung Soekarno. Buku karangan Wijaya Herlambang, “Kekerasan Budaya Pasca 1965”, menggambarkan bagaimana kelompok Manikebu melakukan kekerasan budaya terhadap seniman-seniman Lekra dan karya-karya mereka.


Karya-karya seniman Manikebu mendominasi budaya dan pemikiran masyarakat Indonesia di bawah rezim Orde Baru, sementara karya-karya seniman Lekra dilarang dan dimusnahkan oleh pemerintah. Puisi-puisi Taufik Ismail, salah satu sastrawan Manikebu, menjadi bahan bacaan utama di sekolah, menunjukkan pergeseran kuasa politik dan budaya di Indonesia selama periode tersebut.


Maka di sinillah terlihat bahwa hubungan antara seniman dan politik tidak selalu stabil, tetapi melalui sejarahnya, terdapat momen-momen penting di mana kolaborasi mereka telah membawa perubahan yang signifikan dalam masyarakat dan politik Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa seniman memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk budaya dan arah politik sebuah negara.


Seniman Turut Serta dalam Politik


Seniman-seniman seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, atau W.S. Rendra telah aktif dalam menyuarakan aspirasi politik melalui karya-karya mereka. Mereka tidak hanya mengabadikan semangat perjuangan bangsa melalui puisi dan prosa, tetapi juga berani mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak adil.


Bahwa seniman-seniman turut serta dalam politik bukanlah hal baru di Indonesia. Masa pemerintahan Soekarno, misalnya, melihat banyaknya seniman yang terlibat dalam mendukung konsep politik nasionalisme dan revolusi. Mereka menggunakan seni mereka untuk memperkuat semangat persatuan dan membangun identitas nasional.


Pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, seniman-seniman sering kali harus menghadapi tekanan politik dan sensor terhadap karya-karya mereka yang dianggap kontroversial. Namun, ada juga yang tetap berani menentang rezim otoriter melalui seni mereka, meskipun dengan risiko yang besar.


Adapun pada Era Reformasi membawa harapan baru bagi peran seniman dalam politik. Munculnya kebebasan berekspresi yang lebih besar memungkinkan seniman-seniman untuk mengeksplorasi isu-isu politik dengan lebih bebas. Mereka tidak lagi terkekang oleh sensor atau intimidasi dari pemerintah.


Dalam konteks ini, menjadi jelas pandangan bahwa politik adalah urusan para politisi semata adalah keliru. Seniman-seniman memiliki peran yang penting dalam politik, karena mereka membawa gagasan-gagasan segar, memprovokasi pemikiran kritis, dan mewakili aspirasi masyarakat. Memasukkan seniman dalam politik bukan hanya menguntungkan bagi mereka sebagai individu, tetapi juga untuk kemajuan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.


Aspek Kehidupan Terkait dengan Politik


Seniman memainkan peran yang tidak dapat diabaikan dalam ranah politik, karena pada hakikatnya, setiap aspek kehidupan terkait dengan politik, baik itu dalam bentuk kebijakan pemerintah maupun aksi politik dari masyarakat secara umum. Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman, pernah mengatakan bahwa "buta yang paling buruk adalah buta politik" –menjadi sebuah penegasan kredo politik, bahwa politik adalah kunci untuk memahami semua aspek kehidupan dan masyarakat.


Seorang seniman yang terlibat secara aktif dalam politik, yang memahami dan memiliki keberpihakan politik, jauh lebih dihargai daripada mereka yang acuh tak acuh terhadap politik atau bahkan pura-pura tidak mengerti –tetapi sebenarnya mendukung kekuatan politik tertentu yang merugikan kebanyakan orang. Kehidupan seorang seniman sebagai bagian dari masyarakat sangatlah terkait dengan keputusan politik. 


Lekra, didirikan pada 17 Agustus 1950, adalah contoh nyata bagaimana seniman Indonesia bergabung dalam sebuah gerakan politik untuk melawan pengaruh budaya kolonial dan mempertahankan kebudayaan rakyat. Beberapa tokoh yang terkemuka dari Lekra termasuk Njoto, Pramoedya Ananta Toer, Affandi, dan Soedjojono.


Manikebu, didirikan pada 17 Agustus 1963, muncul sebagai reaksi terhadap dominasi politik Lekra. Dengan fokus pada memberikan kebebasan kreatif bagi para seniman, Manikebu mewakili dorongan untuk seni yang lebih mandiri dan bebas dari slogan-slogan politik. Tokoh-tokoh terkenal Manikebu termasuk H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, dan Taufiq A.G. Ismail.


Namun, konflik antara Lekra dan Manikebu mencerminkan perbedaan pandangan politik pada masa itu. Pada era Soekarno, Lekra mendapat dukungan lebih besar karena kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip Manifesto Politik dan Manipol Usdek. Sementara itu, era Soeharto melihat seniman dimanfaatkan untuk mendukung pemerintahan Orde Baru, baik melalui kampanye politik maupun untuk mempromosikan agenda pemerintah.


Oleh karena itulah pada masa kini, peran seniman dalam politik tetap signifikan. Dalam konteks kampanye politik, mereka sering diundang sebagai celebrity endorser atau bahkan ikut serta dalam acara-acara besar. Waktu itu, dukungan dari seniman terkenal seperti yang terlihat dalam kampanye "Konser Putih Bersatu" pada masa kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin, dapat memiliki dampak besar dalam opini publik.


Namun, keberadaan seniman dalam politik juga membawa risiko. Intimidasi terhadap seniman seperti yang dialami oleh Butet Kartaredjasa menyoroti tekanan politik yang mungkin mereka hadapi. Selain itu, keterlibatan seniman dalam politik juga dapat memicu polarisasi dalam masyarakat.


Beda, Tapi Memiliki Titik Temu


Seniman dan politik, meskipun mungkin terlihat berbeda, sebenarnya memiliki titik temu yang signifikan. Keduanya melibatkan ekspresi, komunikasi, dan pembentukan opini. Seniman sering menggunakan karya-karya mereka sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan politik, memprovokasi pemikiran, dan menggugah perasaan massa. Lukisan, sastra, drama, dan musik, misalnya, sering digunakan untuk memperjuangkan hak asasi manusia, memerangi ketidakadilan, atau mengekspresikan pandangan politik tertentu.


Meskipun ada seniman yang menolak terlibat dalam politik, seperti Salvador Dali yang pernah berkata, "Saya tidak percaya pada politik. Saya lebih suka menggambar daripada menjadi politikus. Politik adalah seni kotor, dan saya melakukan segalanya untuk menjauh darinya," –karuan saja pandangan ini tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan potensi positif peran seniman dalam politik.


Sebaliknya, risiko ketika seniman abai terhadap politik adalah bahwa suara mereka yang berpengaruh, dan kreativitas mereka yang menginspirasi, tidak digunakan untuk memperjuangkan perubahan sosial dan politik yang positif. Menjadi abai terhadap politik dapat mengakibatkan terpinggirkannya isu-isu penting yang memerlukan perhatian dan pemecahan.


Seni dan politik seringkali dipandang sebagai dua domain yang terpisah, namun pada kenyataannya, keduanya saling terkait dan dapat memberikan dukungan satu sama lain –punya titik temu. Memfasilitasi partisipasi seniman dalam ranah politik tidak hanya mengandung makna yang dalam, tetapi juga mengakui kekuatan kreatif dan inspiratif yang mereka miliki. 


Sementara itu penting untuk memahami bahwa seni bukanlah semata-mata tentang estetika visual. Seni adalah cermin dari realitas sosial, budaya, dan politik di mana seniman berada. Dengan kata lain, seni adalah medium ekspresi yang kuat yang digunakan untuk menyampaikan pesan, membangkitkan perasaan, dan meningkatkan kesadaran. Oleh karena itu, seniman memiliki kekuatan yang luar biasa untuk memengaruhi opini, sikap, dan pandangan masyarakat terhadap isu-isu politik.


Partisipasi seniman dalam politik memiliki dampak yang luas dalam masyarakat. Mereka membawa pandangan yang unik dan kreatif ke dalam arena politik. Dan seniman sering memiliki cara berpikir inovatif dan imajinatif, memungkinkan mereka melihat isu-isu politik dari perspektif yang berbeda. Ini dapat memperluas wacana politik, memperkaya debat, dan mendorong pemikiran yang lebih inklusif dan holistik.


Selain itu, seniman dapat menggunakan karya seni mereka sebagai alat untuk mengangkat isu-isu yang penting bagi mereka. Melalui lukisan, patung, musik, sastra, dan berbagai bentuk ekspresi lainnya, mereka dapat menyoroti ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan masalah sosial lainnya yang sering diabaikan dalam politik konvensional. Karya seni ini tidak hanya memicu diskusi, tetapi juga dapat menjadi pendorong perubahan sosial yang positif.


Keterlibatan seniman dalam politik juga membantu membangun jembatan antara politik dan masyarakat. Terlalu sering, politik dianggap sebagai urusan elit yang jauh dari kehidupan sehari-hari rakyat biasa. Namun, dengan melibatkan seniman yang memiliki akar kuat dalam masyarakat, politik dapat menjadi lebih relevan dan dapat diakses oleh semua orang. Seniman dapat bertindak sebagai perwakilan suara rakyat, membawa isu-isu masyarakat yang sebenarnya ke panggung politik, dan dengan demikian, meningkatkan legitimasi dan keterlibatan publik dalam proses politik.


Lebih dari sekadar membawa isu-isu politik yang penting, seniman juga dapat menjadi agen perubahan yang kuat. Karya seni memiliki kekuatan untuk menginspirasi, memotivasi, dan menyatukan orang-orang dalam perjuangan bersama untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Dengan menggunakan platform mereka untuk mengadvokasi perubahan positif, seniman dapat menjadi katalisator untuk transformasi sosial dan politik yang lebih baik.


Untuk menghargai dan memanfaatkan potensi besar ini, penting bagi kita untuk mendukung dan mendorong lebih banyak seniman untuk terlibat dalam politik. Ini dapat dilakukan melalui penyediaan ruang dan kesempatan bagi seniman untuk menyuarakan pandangan mereka, serta melalui dukungan finansial dan institusional yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan pekerjaan mereka dalam politik. Selain itu, memberikan pengakuan yang layak terhadap kontribusi seniman dalam politik akan membantu mereka merasa dihargai dan didukung dalam upaya mereka.** (Bersambung)


* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads