Menyelami Puisi: Doa Para Pelaut yang Tabah karya Sapardi Djoko Damono -->
close
Pojok Seni
21 February 2024, 2/21/2024 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2024-02-21T01:00:00Z
Puisi

Menyelami Puisi: Doa Para Pelaut yang Tabah karya Sapardi Djoko Damono

Advertisement
kapal di tengah badai
Ilustrasi kapal di tengah badai



Oleh: Diah Irawati* & Adhyra Irianto**

Doa Para Pelaut yang Tabah adalah salah satu puisi yang ditulis Sapardi Djoko Damono, tergabung dalam buku Angkatan 66 Prosa dan Puisi Jilid Pertama yang disusun oleh H.B Jassin. Dimuatnya puisi tersebut dalam buku Angkatan 66 menjadikan Sapardi Djoko Damono "dinobatkan" sebagai penyair angkatan 66 oleh HB Jassin.

Doa Para Pelaut yang Tabah adalah respon Sapardi Djoko Damono terhadap situasi sosial saat itu. Keseimbangan antara kebutuhan hidup manusia, serta harapan dan cita-cita, ternyata tidak sejalan dengan kenyataan hidup. Realita menghadirkan situasi yang sangat sulit, bahkan untuk sekedar waras menjalani hidup. Kegilaan manusia adalah hal yang normal di zaman yang gila.

Mari kita baca bersama terlebih dulu puisi yang dimaksud.

Doa Para Pelaut yang Tabah

Karya: Sapardi Djoko Damono

Kami telah berjanji kepada Sejarah
untuk pantang menyerah
bukankah telah kami lalui pulau demi pulau, selaksa pulau,
dengan perahu yang semakin mengeras
oleh air laut.
Selalu bajakan otot-otot lengan kami, ya Tuhan,
yang tetap mengayuh entah sejak kapan;
barangkali akan segera memutih rambut kami ini,
satu demi satu merasa letih, dan tersungkur mati,
tapi berlaksa anak-anak kami akan memegang dayung
serta kemudi
menggantikan kami
kamilah yang telah mengayuh perahu-perahu sriwijaya serta majapahit

mengayuh perahu-perahu makasar dan bugis,
sebab kami telah bersekutu dengan Sejarah
untuk menundukkan lautan.
laut yang diam adalah sahabat kami,
dan laut yang memberontak dalam prahara dan topan
adalah alasan yang paling baik
untuk menguji kesetiaan dan bakti kami
padaMu.
barangkali beberapa orang putus otot-otot lengannya,
yang lain pecah tulang-tulangnya, tapi anak-anak kami yang setia
segera mengubur mereka di laut, dan melanjutkan
perjalanan yang belum selesai ini.
biarlah kami bersumpah kepada Sejarah, ya Tuhan, untuk membuat bekas-bekas yang tak terbatas di lautan.

Buku Prosa dan Puisi, H.B. Jassin angkatan ’66

Menyelami Puisi Doa Para Pelaut yang Tabah karya Sapardi Djoko Damono


Puisi ini dibuka dengan kalimat yang heroik "Kami telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah". Kenapa tidak boleh menyerah? Karena sudah kepalang tanggung. Sudah terlalu dalam dan terlalu jauh mereka melangkah. 

Ini mengingatkan kami akan sanggar teater yang kami bangun sejak 2012 di Curup, Teater Senyawa. Di saat zaman sudah semakin buruk bagi teater, tapi kami sudah tidak bisa berhenti di sini. Sudah terlalu jauh langkah yang sudah kami tempuh. Seperti yang disampaikan lewat baris berikutnya: bukankah telah kami lalui pulau demi pulau, selaksa pulau, dengan perahu yang semakin mengeras oleh air laut.

Kayu yang dibuat untuk menjadi bahan perahu adalah kayu ulin, kayu bengkirai, dan kayu damar laut. Kayu-kayu ini adalah kayu yang akan semakin kuat dan semakin keras apabila terlalu lama terkena air. Semakin sering perahu digunakan untuk berlayar, maka kayunya akan semakin kuat, juga semakin keras.

 Karena sudah berjanji untuk tidak berhenti, maka mengayuh kapal akan dilakukan sampai batas waktu yang tidak bisa mereka tentukan sendiri. Karena itu, "kami" lirik menguatkan diri mereka sendiri dengan berdoa agar otot-otot lengan mereka menjadi sekuat baja. Karena seiring berjalan waktu, satu persatu mereka melemah dan perahu akan terhenti. Tapi, mereka yakin penerus mereka akan segera memegang dayung untuk melanjutkan perjalanan.

satu demi satu merasa letih, dan tersungkur mati,
tapi berlaksa anak-anak kami akan memegang dayung
serta kemudi
menggantikan kami

Dengan kata lain, apapun yang terjadi, perjalanan mereka akan terus berjalan. Hal ini bisa dianalogikan dengan keadaan hidup yang berantakan dan membutuhkan "kewaspadaan permanen". Seberat apapun hidup ini, manusia tidak punya pilihan lain selain tetap menjalaninya. Karena itu, bunuh diri (misalnya) bukan opsi yang boleh diambil. Satu-satunya langkah yang bisa diambil adalah, bagaimana caranya sekecil apapun yang ada di kehidupan harus dinikmati. Apapun pencapaian seorang manusia, harus disyukuri.

Bila ada motivator berkata, jangan melihat masa lalu atau jangan puas dengan apa yang sudah dicapai. Maka, puisi ini justru meminta yang sebaliknya. Apapun yang sudah dicapai harus dihormati sebagai sebuah tonggak prestasi. Sejarah bukan untuk dilupakan, tapi untuk dihormati.

kamilah yang telah mengayuh perahu-perahu sriwijaya serta majapahit
mengayuh perahu-perahu makasar dan bugis,
sebab kami telah bersekutu dengan Sejarah
untuk menundukkan lautan.

Menundukkan semua tantangan tersebut membutuhkan pengorbanan. Itulah hidup yang absurd. Manusia akan mengorbankan sesuatu, untuk mendapatkan sesuatu. Hidup adalah perjalanan, kata orang-orang yang terus melangkah. Tapi, hidup adalah penjara kata orang-orang yang terasa telah terhenti semua langkahnya.

Sumpah untuk membuat bekas-bekas tak berbatas di lautan, adalah sebuah manifesto yang diteriakkan di hadapan kehidupan. Masa muda enggan belajar, maka masa tua harus siap menanggung pedihnya kebodohan. Untuk itu, agar di masa muda seseorang siap dan tetap punya tekad untuk belajar, dibutuhkan sumpah dari dalam diri. Sumpah untuk menaklukkan kehidupan ini di depannya. Sumpah untuk membuat bekas yang tak terbatas di lautan.

Cintailah hidupmu, cintailah apapun yang berada di sekitarmu. Mungkin ajaran agama akan meminta Anda untuk menjauhi kehidupan dan mendekati apa yang gaib dan ada di ujung kehidupan. Tapi, kehidupan layak dihargai. Hidup terlalu berharga untuk dilewati sebagai "mampir minum teh" saja. Ada bekas sejarah yang harus ditorehkan, ada tongkat estafet yang harus diberikan pada generasi berikutnya, dan ada cerita yang harus diceritakan untuk membakar motivasi siapapun penerus Anda.

Ads