Perwujudan Tokoh Laron dalam Akting Karikatural -->
close
Pojok Seni
09 October 2022, 10/09/2022 01:16:00 PM WIB
Terbaru 2022-10-09T06:17:19Z
teaterUlasan

Perwujudan Tokoh Laron dalam Akting Karikatural

Advertisement

Pertunjukan Laron karya Gepeng Nugroho sutradara Rani Iswari


oleh Ikhsan Satria Irianto

Cahaya biru perlahan menampilkan gerbang utama dari sebuah istana laron. Di tengah situasi remang, para laron gelagapan mencari cahaya karena pasokan yang mulai menurun. Akhirnya, persoalan dapat diselesaikan dengan penggunaan sumber daya candangan dan cahaya perlahan kembali menyala. Ketika suasana panggung telah terang sepenuhnya, tergambarlah sebuah istana bawah tanah yang dipenuhi oleh para laron. Di sisi kanan panggung, sang raja laron sedang tertidur pulas dan di gerbang utama para Gonteng (prajurit istana) sedang berjaga di pintu gerbang. Maka dimulailah cerita tentang problematika yang dihadapi para laron dalam program migrasi.

“Aku siap, sudah mulai beberapa saat yang lalu, berapa jam yang lalu, beberapa hari yang lalu, bahkan sebelum aku dilahirkan. Aku sudah siap untuk itu. Selamat tinggal semua kenangan, selamat tinggal semua yang terkasih, selamat tinggal segala kepengapan, selamat tinggal sang perkasaku. Kutinggalkan semua kenangan yang terindah, ingat-ingatlah diriku, sahabat dan semua yang terkasih”

Pertunjukan Laron karya Gepeng Nugroho sutradara Rani Iswari adalah produksi ke-49 dari Teater Art in Revolt (AiR) Jambi. Pertunjukan yang berdurasi satu setengah jam ini digelar di gedung Teater Arena Taman Budaya Jambi. Karya Laron dengan lancar dipentaskan selama tiga hari (6-8/10/2022) berkat dukungan dari UPTD Taman Budaya Jambi, Kopi Paman, Gerai Betubi, Ajwa Tour & Travel dan Idealisme Store. Sebagai sutradara, kerja artistik Rani Iswari didukung oleh EM Yogiswara sebagai dramaturg dan Titas Suwanda sebagai skenografer, untuk kemudian dieksekusi oleh Oky Akbar dan tim selaku penata artistik.

Produksi ke-49 Teater Air Jambi


Laron mengisahkan tentang harapan akan keindahan, kebijakan yang merugikan, upaya kudeta, angka kelahiran yang tinggi, ledakan populasi dan ancaman kepunahan, berbagai persoalan tersebut dirangkum dalam kehidupan para laron yang pelik di dalam istana bawah tanah. Berbagai konflik dan fenomena yang berseliweran dalam pertunjukan Laron, membuka ruang dialogis yang begitu luas untuk melahirkan tafsir-tafsir baru bagi penonton yang mungkin tidak termasuk ke dalam konvensi tafsir yang menjadi visi dramatik Rani Iswari sebagai sutradara. Artinya, pertunjukan Laron sebagai peristiwa teater telah berjalan dengan baik. Namun, tafsir umum atas pertunjukan Laron bergerak dalam spekturm kritik sosial.

Hal yang menarik dari pertunjukan Laron oleh Teater AiR Jambi ini adalah tawaran tafsir atas upaya memanusiakan laron sebagai basis penciptaan tokoh. Proses perwujudan tokoh ini tentunya cukup kompleks, karena laron sebagai entitas yang memiliki sifat-sifat manusiawi tidak dapat diobservasi dan divalidasi dari dimensi laku dan wataknya. Sehingga, sumber data primer hanya tersedia pada ranah imajinasi, sedangkan data sekundernya mungkin dapat ditelusuri dari beberapa film animasi yang menerapkan pola serupa (personifikasi hewan). Namun, tetap saja keseluruhan akting hanya bertumpu pada eksplorasi imajinai. Maka dari itu, perwujudan tokoh laron sangat bergantung kepada tafsir aktor atas tokoh.

Wujud akting yang dipilih aktor (berdasakan kesepakatan tim artistik) adalah bentuk akting karikatural. Memilih bentuk akting karikatural memang merupakan pilihan yang tepat untuk memerankan tokoh Laron yang merupakan tokoh satiris. Pilihan bentuk akting ini kiranya tepat untuk mewujudkan tokoh laron, karena untuk memanusiakan laron akan sulit jika menggunakan pola inner act (akting dari dalam). Hal ini dikarenakan tokoh dalam naskah Laron hanya memiliki dimensi psikologis dan mungkin juga sosilogis, namun secara wujud fisik tidak tersedia datanya. Sehingga, pola yang tepat adalah merumuskan bentuk akting dari luar (outer act). Pola ini diwujudkan dengan cara merumuskan bisnis akting terlebih dahulu barulah para aktor merasakan motif aktingnya.

Para aktor dalam pertunjukan Laron memformat aktingnya ke dalam gaya representasi yang nonrealistik. Pilihan ini menjadi tepat karena untuk mewujudkan akting Laron yang realistis sangatlah tidak realisitis. Format bisnis akting yang dipilih adalah berjalan dengan kaki menyeret, warna vokal yang cempreng, gestur dan dialog yang ekspresif. Karena kebenaran dari akting ini tidak dapat divalidasi, maka tawaran format bisnis akting ini tidaklah keliru, melainkan mampu memberikan daya tawar baru untuk kekayaan seni peran.

Namun, pemilihan bentuk akting karikatural tentunya memiliki berbagai resiko. Salah satunya adalah struktur dramatik yang tidak dapat terkawal dengan ketat dan pertumbuhan karakter yang stagnan. Hal ini tentunya berpengaruh kepada tidak tercapainya intensitas emosi pada adegan-adegan yang dramatis. Meskipun demikian, pilihan akting karikatural telah berhasil menyuguhkan pertunjukan Laron yang membahagiakan. Setiap peristiwa menghadirkan komedi situasi yang cair dan segar, karena para aktor tetap bermain di porsi yang tertata. Ini menjadi begitu membahagiakan karena para aktor begitu tulus merasakan peristiwa tanpa ada tendensi untuk melucu.

Hal lain yang sangat perlu diapresiasi dari pertunjukan Laron adalah komposisi panggungnya. Meskipun set panggung yang dibangun begitu besar dan beresiko menenggelamkan aktor. Namun, persoalan tersebut terselesaikan dengan penataan blocking  dengan komposisi yang rapi. Sehingga panggung yang luas dan desain panggung yang besar dapat terkuasai dengan baik. Meskipun ada beberapa penempatan blocking aktor yang tidak menguntungkan bagi level permainan dan bentuk panggung. Salah satunya adalah posisi pintu gerbang utama dan posisi singgasana raja laron yang sejajar dan berat sebelah. Masalah komposisi ini sebenarnya terselesaikan dengan hadirnya tokoh Semut yang mengisi sisi kiri panggung, namun strata sosial dari tokoh raja laron mengalami degradasi karenanya.



Keutuhan dari akting karikatural para Laron didukung pula oleh bantuan tata busana. Kain transparan dengan aksen garis-garis berwarna, ditambah dengan antena dan sayap,  menawarkan tampilan Laron yang unik. Hal ini tentunya menjadi faktor pendukung untuk keberhasilan para aktor dalam mewujudkan tokoh Laron ke atas panggung. Sayangnya, pemilihan konsep tata rias aktor tidak begitu menguntungkan untuk ekspresi aktor. Pilihan tata rias tidak menegaskan detail-detail ekspresi, bahkan menenggelamkannya. Bentuk-bentuk yang membuat pola rias di wajah aktor lebih mencuri fokus dibandingkan dengan ekspresi aktor itu sendiri. Pilihan ini tentunya sangat merugikan aktor, terlebih ketika adegan-adegan yang membutuhkan intensitas emosi yang tinggi.

Secara keseluruhan, pertunjukan Laron sutradara Rani Iswari sungguh membahagiakan. Rani berhasil menggarap pertunjukan yang aman, meskipun dengan materi aktor yang didominasi oleh aktor muda. Tentunya ini merupakan kerja direktorial yang cukup kompleks dan kiranya Rani telah berhasil menyelesaikannya. Hal ini tentunya sangat memukau bagi sutradara perempuan yang (berdasaran biodata narasi) sedang belajar menjadi sutradara. Semoga Rani Iswari sebagai sutradara tetap produktif dan kreatif untuk memberi warna baru bagi perteateran di Indonesia, khususnya di Jambi. 

 

Ads