Asketik Timur: Jalan Tak Biasa. Oh Foucault? -->
close
Adhyra Irianto
15 June 2022, 6/15/2022 08:14:00 AM WIB
Terbaru 2022-06-16T01:23:25Z
ArtikelBerita

Asketik Timur: Jalan Tak Biasa. Oh Foucault?

Advertisement
Asketik Timur
Ilustrasi lukisan untuk puisi Road is not Taken


Oleh: Prof Yusmar Yusuf*


Jalan biasa (odinary way) diproduk oleh orang-orang biasa. Bukan orang yang luar biasa. Retas menuju sesuatu (termasuk cita-cita), bisa ditempuh lewat jalan biasa. Namun tak menakjubkan. Sejatinya terhidang jalan yang tak biasa. Bukan jalan rempuhan awam. Tapi jalan yang hanya ditempuh sekali-sekala oleh mereka yang bertindak di luar kebiasaan awam. 


Inilah yang dikenal sebagai jalan luar biasa (extra ordinary way). Tergantung ketinggian ilmu dan nyali menetak hutan pemikiran dalam bentuk simpangan-simpangan tak terduga. Ketika memutuskan untuk menempuh jalan yang biasa, maka hasilnya akan biasa-biasa saja. Kalau pun memperoleh puncak cemerlang dari perjalanan itu, puncak itu tak lebih dari kisah penceritaan awam. 


Kala menempuh jalan tak biasa, maka capaian puncak cemerlang itu akan bermakna lain bagi awam, apatah lagi bagi sang penikmatnya. Jauh sebelum Masehi telah bergelimang jalan-jalan “tak biasa” dirintis kebijaksanaan timur (oriental ascetism). Memberi ruang kontemplasi yang mengikat hubungan alam dengan manusia sedemikian rupa. Alam adalah penyerupaan-penyerupaan misteri yang diulang-ulang sejumlah pembawaan dan penanda. Orang-orang bijak yang melahirkan pemikiran yang tak biasa dan berpembawaan abadi dalam pemikiran dan tuntunan bijak itu, di antaranya; Lao-tzu (Lao-tse). 


Tokoh besar ini, tak dapat disamakan dengan figur sezaman, juga tak bisa disampir dalam jenis fabel untuk menggambarkan keperkasaan pemikiran dan sikap yang jeluk dan menusuk ke ruang batin. Artinya, makrifat yang ditempuh tokoh besar ini adalah sebuah jalan asketis, jalan penyingkapan tentang yang asali, yang sejati dan maha tinggi. 


Lao-tzu ditempatkan pada anjung tertinggi ihwal tuntunan, dalam majelis aksi bijak. Bahkan seorang “guru agung”, Konfusius yang tak diragu amal dan kesalehannya, memberi komentar ringan tapi mencenungkan murid-muridnya tentang sosok ranggi Lao-tzu. Beginilah kesaksian Konfusius terhadap sang Mahaguru (Lao-tzu); “Burung-burung terbang, ikan-ikan berenang, hewan-hewan berlarian – semua ini ku ketahui dengan pasti. Lantas, yang lari bisa ditangkap, yang berenang bisa dikail, dan yang terbang bisa dibidik anak panah. Namun, apa yang bisa kita perbuat dengan naga? Kita tak bisa melihat bagaimana naga menunggang angin dan awan serta menaiki langit. Begitulah Lao-tzu yang ku temui hari ini, hanya bisa dibandingkan dengan seekor naga”


Begitu agung posisi Lao-tzu di depan Konfusius. Penyebabnya? Karena kearifan dan jalan spiritual yang ditempuh Lao-tzu tak terpetakan oleh kisi-kisi awam. Retas jalan yang dirintis itu tidak masuk kategori jalan awam. Sebuah retas yang dirintis dengan keinsyafan agung, yang merakit kehanifan, keselarasan dan keharmonian semesta. Alam sebagai sesuatu nan suci, nan kudus (the holy); bukan sebagai sumberdaya, yang didatangi manusia untuk dikuras dan dimusnah. Pemikiran Lao-tzu menusuk lelangit spiritual zamannya. Dia adalah naga yang tak terjelaskan bagaimana cara, kiat mendaki langit. 


Tradisi Vedanta (satu bentuk kebijaksanaan Timur) juga menghidang selasar “jalan tak biasa” itu sebagai pilihan kaum yang sedikit, jua terpilih. 


Zaman modern, kita dibentur Foucault menerjang pemikiran mainstream (arus perdana): Tentang hukuman, kota hukuman, pidato di tiang gantungan, mempertontonkan hukum penyiksaan (berujung eksekusi) di depan publik pada abad 18 di Prancis. 


Bahwa seluruh bentuk hukuman badan, pengendalian dan penyiksaan tubuh yang dilakukan demi menegak hukum raja, meletakkan “badan” sebagai obyek hukum itu sendiri. Akibat badaniah (corporal) menjadi alat untuk menggoreskan kuasa raja dalam model amat “membadan” kepada tubuh yang menentang kuasa raja. Ini sebuah perbuatan (hukum) yang biadab. Kita disuguhkan dengan tragedi penyiksaan (eksekusi) Damien pada 2 Maret 1757 yang amat menggetirkan dawai kemanusiaan sepanjang sejarah. 


Penyiksaan, ujar Foucault apa pun penjelasannya, tak lebih dari “mesin penghasil kebenaran”: tanpa kehadiran sang terdakwa. Penyiksaan dilakukan untuk memaksa para si tertuduh menyemburkan pengakuan. Adanya pengakuan, maka bukti yang lain tak diperlukan lagi. Di samping itu, lewat pengakuan si tertuduh, kata Ayrault: si penjahat telah menghukum dirinya sendiri. 


Para pencari kebenaran langit, tak henti-henti mengeja langit dalam kadar bergelombang, penuh rona. Di anak benua India, tepatnya sempadan India-Pakistan, ada sebuah tapak “perindu langit”: Punjab. Di titik tumpu kota suci Amritsar. Di sini, disuguhkan kejelitaan tentang “melukis langit” dalam guratan hyme suci dari “Adi Granth” dengan sosok utamanya Guru Nanak. 


Inilah ajaran Sikh yang mempersuakan kaidah Hindu dan Islam. Ingat, dalam perjalanan sejarah Sikh, Guru Nanak pernah mengunjungi tanah suci Makkah dalam secuil kisah hidupnya. Tuhan itu satu dalam keyakinan Sikh. Didaulat dengan sapaan Om-kara (Yang Ilahi). Guru Nanak memandang wanita lewat belaian syair merdu: 


“Dari wanita kita terlahir, dari wanita yang mengandung, 

Kepada wanita kita bertunangan, kepada wanita kita menikah 

Kepada wanita kita berteman, oleh wanita peradaban berlanjut... 

Oleh wanita ketertiban dijaga 

Lalu, kenapa penyebutnya jahat yang darinyalah pria-pria agung terlahir? 


Jua, Guru Nanak berkaidah indah tentang Tuhan dalam bait syair yang teramat menawan. Menjeluk mata batin untuk membongkar misteri pencarian spiritual: 


        “Ada satu Tuhan, namanya kebenaran abadi 

         Dia pencipta segala hal, yang meliputi semua jiwa 

         Tak kenal takut dan tanpa kebencian, kekal dan tak berwujud 

         Melampaui kelahiran dan kematian, Dia tercerahkan dengan sendirinya 

         Dia dikenal dari rahmat Guru”. 


Jalan tak biasa itu kian lengkap, ketika pencari kebenaran sejati diurut tidak berdasarkan perkauman seiman semata. Bahwa setiap orang merindukan Yang Satu, yang tak terjelaskan oleh persangkaan-persangkaan cerdas. Untuk mengenal Tuhan, rupanya kita memerlukan sejumlah kedunguan demi kedunguan. 


*Prof Yusmar Yusuf adalah seorang budayawan, dan guru besar Sosiologi dalam Malay Studies and Sociology of Knowledge, Fisip Universitas Riau. Beliau juga pengampu utama mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan. Baca tulisan lain dari beliau di Pojok Seni di pranala ini: Kumpulan tulisan Prof Yusmar Yusuf

Ads