Catatan Rudolf Puspa: Aktor Teater Membaca Puisi -->
close
Pojok Seni
04 April 2022, 4/04/2022 01:01:00 AM WIB
Terbaru 2022-04-03T18:01:50Z
Artikel

Catatan Rudolf Puspa: Aktor Teater Membaca Puisi

Advertisement
Aktor teater membaca puisi


Kejadian luar biasa menimpa diriku. Tanggal 2 April 2022 malam aku baca puisi secara virtual melalui zoom di acara peluncuran buku kumpulan puisi Nora Septi Ariani, penyair muda dari Yogyakarta.  Aku baru sebulanan ini kenal Nora lewat medsos ketika ia pasang buku dengan judul “Jejak trembesi”. Aku hanya respons untuk memilikinya dan dijawab akan dikirim. Selanjutnya buku tak pernah kuterima lewat pengiriman pos hingga akhirnya ketika aku ada acara mengikuti perayaan hari teater sedunia ke 61 th di Solo, ia menyatakan ingin ketemu walau cuma lima menit. Kesibukan dia dan kesibukanku tentu saja tidak mudah mencari celah untuk terjadinya pertemuan yang diinginkan kedua belah pihak.


Tanggal 24 Maret 2022 setelah pentas “Kursi Kursi” karya dan sutradara Rudolf Puspa produksi teater keliling di SalaHatedu ke 8 tanggal 23 Maret 2022, kami berada di Yogya dan menginapnya di Magelang di home stay Garengpoeng milik  sahabat istriku yakni Abang Erwin yang sama2 lulusan fakultas Teknik Univ Trisakti. Dery di jurusan arsitektur dan dia di jurusan Teknik mesin. Kegiatan utama di kedua kota tersebut adalah memberi ruang dan waktu bagi cucu2ku yang ingin mengenal candi Borobudur. Sayang sekali belum diijinkan untuk naik dan hanya bisa di pelataran saja. Ya sayang sekali dan tentunya mengecewakannya sehingga kami carikan tempat bersejarah lain yang juga tak kalah menariknya yakni ke Gedung Rhema atau yang dikenal dengan sebutan gereja ayam. Padahal oleh si pembuatnya adalah merpati yang merupakan simbol kasih dalam Kristen. Memang gedung ini dibuat utamanya sebagai tempat beribadah yang justru untuk agama apapun.


Tanggal 26 Maret 2022 siang setelah ke Gedung gereja merpati langsung meluncur ke Yogyakarta dengan tujuan menikmati Malioboro yang sudah ada perubahan tatanan yakni dihilangkannya perdagangan kaki lima di trotoar. Malioboro menjadi sangat menarik karena orang bebas tanpa kendala untuk lalu lalang di trotoar yang lebar. Jalan dari palang kereta api stasiun Tugu hingga gedung Agung sungguh terasa suasana ke Yogya-nya. Toko2 yang ada di samping kiri dan kanan yang memang sudah ada sejak zaman kesultanan kini sudah berbenah lebih menarik dan tentu saja turis domestik yang hobi jajan pun memadati untuk belanja entah perlu atau tidak. Ada kenikmatan tersendiri ketika pulang sebar oleh2 dari Yogya lho. Pakaian batik dengan berbagai design, makanan bakpia Pathok yang kesohor dulunya hanya isi kacang ijo kini sudah semakin banyak variasinya. Ada rasa durian walau sukar dipercaya itu durian beneran dari buah durian. Akupun menikmati Malioboro dengan duduk di emperan sebuah toko batik yang lagi booming sambil makan roti dan minum coklat panas tanpa susu dan gula kesukaanku. Sementara yang lain sibuk masuk kedalam toko yang di pintu masuk terpampang tulisan “copet dilarang masuk”. Sindiran halus ala Yogya ini apa berhasil atau tidak namun memperingatkan tamu agar selalu waspada.


Selama berkegiatan di Yogya ini selalu berkabar ke Nora yang kebetulan sedang di Purworejo untuk sebuah hajatan pernikahan dan berusaha cari celah untuk bisa ketemu. Keluarganya naik kereta api pulang ke Yogya dan berharap bisa ketemu walau lima menit. Rupanya 26 Maret 2022 malam menjadi awal sejarah luar biasa seperti yang kusebut di awal tulisanku. Kurang lebih pukul 9 malam kami makan di sebuah warung sate klatak dan tongseng di sekitaran alun alun utara, Nora datang naik sepeda motor dengan wajah gembira entah karena bisa bertemu untuk menyerahkan buku atau karena mendapat ijin suaminya pergi malam2 sendirian. Mungkin kedua hal itu yang membuat pertemuan lima menit menjadi bermakna bagi kepenyairannya. Selain menyerahkan buku Jejak Trembesi juga mengundang saya ikut acara peluncuran bukunya dan baca puisi karyanya. Spontan aku mengiyakan tanpa pikir panjang. Entah apakah energi yang mendorong jawaban spontan tersebut begitu kuatnya maka satu gigi depan saya yang sudah goyang terlepas. Lepasnya gigi ini memang sudah aku nantikan sehingga keempat gigi depan kini terbebas dari tempatnya dan siap untuk dihuni gigi palsu. Barangkali ini juga merupakan catatan puisi yang luar biasa terjadi secara spontan tanpa kata.


Tanggal 27 Maret 2022 dalam perjalanan pulang ke Jakarta menyempatkan mampir ke candi Prambanan yang juga belum boleh naik namun berada di pelataran candi terasa dekat dan masih bisa membaca relief yang mencatat cerita Panjang. Cucuku senang luar biasa bisa melihat candi. Jadilah sore jelang malam baru menuju Jakarta dengan mobil sendiri dan 28 Maret 2022 siang baru nyampe rumah. Keesokan harinya di Jakarta hari pertama kegiatan adalah baca buku Jejak Trembesi.  Dari 78 puisi Nora aku memilih dua puisi yakni Di Ladang Kematian dan Pewaris kematian. Ketika aku membaca seluruh puisi yang kurasakan adalah aku mendengar Nora bercerita tentang segala hal yang dia jumpai atau alami atau dengar. Ia bercerita kepadaku melalui puisinya tersebut sehingga aku ikut menikmati apa yang dia ceritakan. Namun ketika bertemu dua puisi tersebut aku merasakan sesuatu yang beda. Kuulang beberapa kali dan kuat sekali sebuah gerak batin yang muncul dari diriku sendiri dan aku merasakan dua puisi itu adalah ceritaku. Aku sedang menceritakan lingkaran kematian kepada diriku.  Segera kurekam baca puisiku dan kemudian kudengar kembali dan menambah keyakinan memang itu suaraku, puisiku, cerpenku, novelku atau dramaturgiku. Tidak ada Nora disana karena yang kutemui adalah diriku sendiri.


Kurenung-renung dan ketemu jawabnya kenapa memilih dua puisi tersebut. Jiwa keaktoranku tidak pernah lepas yakni menyatakan sesuatu dari hasil pergumulan hidupku dengan alam lingkungan melalui teater. Dari 55 tahun perjalanan teaterku hampir separuh lebih telah menemukan pribadi teaterku dimana aku menjadi diriku di setiap peran yang kumainkan. Bukan aku menjadi peran misalnya Hamlet atau Diponegoro tapi peran atau Hamlet dan Diponegoro adalah saya.   Saya sudah pada tingkat tidak merasakan lagi peran lain selain diriku sendiri. Saya yang bicara, saya yang merasakan, saya yang mengekspresikan apa yang ada di benak dan emosiku. Itulah sebabnya ketika membaca puisi maka aku juga secara mengalir saja memilih puisi yang adalah diriku. Bisa dikatakan lebih extrem bahwa saya bukan Nora tapi Nora adalah saya melalui bacaan saya. Tak peduli apa yang dibawa Nora sang penyair karena saya lebih memilih apa yang saya bawa. Oleh karenanya cepat2 kurekam dan kukirim ke sang penyair muda yang guru SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta.  Biarkan dia memilikinya karena jika harus membaca lagi akan berbeda expresinya dan pesan2nya karena diriku selalu berada dalam irama perubahan terus menerus. 


Sedikit tentang kepenyairan Nora yang kutangkap dari hasil puisinya memang tampaknya terkesan jiwa keguruannya, apalagi guru SD yang terbiasa jelas indah ketika berbicara dengan murid2 tingkat sekolah dasar.  Boleh setuju atau tidak namun itulah yang kurasakan. Seorang guru SD bicara dan gayanya akan selalu lebih banyak meresap di murid2nya. Selanjutnya akan dibawa si anak dalam menjalani menuju kedewasaannya.Barangkali itulah yang terbawa ketika menulis puisi pendek atau panjang berat atau ringan. Tidak salah jika kemudian saya pun menjadi murid SD yang mendapatkan ilmu yang kemudian menjadi milikku dan telah kukabarkan lewat pembacaan dua puisi karya Nora melalui zoom meeting 2 April 2022 di acara peluncuran buku kumpulan puisinya “Jejak Trembesi”.


Luar biasa. Jika bacaanku dirasakan pendengar terasa seram atau berat itu sebuah kebebasan tafsir. Namun bagiku membaca dua puisi tersebut justru terasa “tertawa'' dalam arti luas. Rasanya semangat  dan gembira sekali melantunkan tiap bait, kata bahkan huruf yang ada.  Disana ada suasana “kehilangan adalah kesunyian yang panjang.” Saya merasakan bahkan bertahun2 mencari jawab akan arti kesunyian sejak ibuku wafat 2 Februari 1962 tatkala aku masih duduk di bangku sekolah SMA kelas dua. Kesunyian yang panjang entah dalam kematian semasa hidup atau kematian yang sesungguhnya  bukan sebuah ratapan namun keabadian yang disiapkan oleh sang Maha Pencipta yang tentu menjanjikan kebahagiaan yang sempurna. Gelora keyakinan itulah yang membuatku gembira dalam dentang bahagia ketika membacakan puisi sebagai penyuara batinku.


Terima kasih telah mendapat kemuliaan untuk dihadirkan sebagai pembaca puisi yang baru untuk pertama kali saya melakukannya. 


Salam jabat merdeka berkarya bestie.


Sawangan Depok 3 April 2022. 

Rudolf Puspa

Email pusparudolf@gmail.com

Ads