Menyambut Festival Teater Ke-27 LPSR -->
close
Pojok Seni
14 January 2022, 1/14/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-01-14T01:00:00Z
ArtikelUlasan

Menyambut Festival Teater Ke-27 LPSR

Advertisement
Gelaran Festival Teater LPSR edisi sebelumnya


Oleh: Rudolf Puspa


LSPR, London School Public Relation adalah sebuah kampus yang salah satu mata pelajarannya mewajibkan mahasiswa semester satu untuk memproduksi pertunjukkan teater. Pertunjukkan menjadi acara festival tahunan dan tahun ini adalah festival teater yang ke 27. Artinya umur acara ini sudah 27 tahun. Tahun 2022 ada 24 kelas yang wajib ikut dan karena ada dua kelas yang tidak mencukupi jumlah mahasiswanya maka dimasukkan ke kelas lain sehingga akan ada 22 kelas penampilan. Festival tiap hari hanya satu grup yang tampil lewat Youtube karena belum diizinkan tampil langsung di panggung. Namun rekaman videonya sudah diijinkan dibuat di panggung LSPR Bekasi. Jadi akan ada 22 hari tiap malam tampil satu pertunjukkan berlangsung 1 Februari hingga 3 Maret 2022. Tiga juri akan menilai secara on line tentunya.


Luar biasa! Ungkapan yang tepat yang kuteriakkan sewaktu bangun tidur pagi terhadap kegiatan nyata yang sudah 27 tahun terselenggara. Beberapa kali aku menyaksikan secara langsung dan on line untuk dipercaya memberikan penilaian. Luar biasa kataku melihat bahwa kegiatan teater secara resmi menjadi kewajiban di sebuah kampus tentu hal yang belum lumrah. Beberapa kali bincang dengan beberapa dosen yang  kebetulan ada yang ketika SMA menjadi peserta ekskul teater yang aku latih dan selanjutnya kuliah di LSPR dan kini dosen maka aku sungguh menaruh hormat dan terharu bahwa teater kehadirannya dibutuhkan bagi pendidikan di LSPR yang utamanya adalah ilmu komunikasi. 


Ada nilai positif dari teater yang bisa dipakai melatih kemampuan berkomunikasi. Berkomunikasi bukan hanya dengan satu orang namun sering harus dengan jumlah yang besar. Bagi aktor, sutradara dan staf artistik teater dilatih untuk memiliki daya pikat ketika menyampaikan pesan dari cerita yang dipanggungkan. Bukan sekedar menyampaikan namun juga sekaligus mendengar respons penonton secara langsung. Dengan waktu dalam hitungan detik memutuskan memberikan respons  atau tidak kepada cuitan penonton. Dengan kesadaran tersebut maka pelajaran dasar ilmu komunikasi dapat terurai melalui pelatihan keaktoran. Bahkan terjadi saling pembelajaran ilmu komunikasi dan teater. Keduanya memiliki nada dasar yang sama yakni menyampaikan gagasan kepada publik dan mendengar serta melihat tanggapan baliknya.  


Melihat jauh ke belakang apa yang dikatakan Ki Hajar Dewantara ketika menjadi Menteri Pendidikan kabinet pertama Republik Indonesia tahun 1945, kesenian menjadi semakin diperlukan  bagi pendidikan. Beliau menyatakan bahwa pendidikan kesenian adalah landasan bagi pendidikan menyeluruh. Kegiatan kesenian khususnya teater walau lebih banyak dilakukan di luar jalur resmi pendidikan baik pemerintah atau swasta telah memberikan bukti memiliki daya “character building” yang sebenarnya jika tidak malu mengakui telah juga dilaksanakan di pemerintahan presiden pertama Republik Indonesia. Memang belum selesai hingga ketika berganti dengan rezim yang berkuasa 32 tahun ternyata justru pelan2 kegiatan seni khususnya teater hidup segan mati tak mau.  Bagi yang merasakan hidup zaman 32 tahun rezim orde baru pasti kaya akan cerita tentang keruntuhan teater modern Indonesia. Yang mampu bertahan dengan segala ilmu persilatannya bisa dihitung tak lebih dari jari kedua tangan kita yang normal. Mengenaskan memang, namun bergantinya dengan pemerintahan yang disebut orde reformasi sejak 1998  walau tertatih tatih mulai bangkit. Makin terasa  sepuluh tahun belakangan. 


Kembali melihat teater di LSPR sungguh rasa sesak dada mulai menjalani perbaikan sehingga bisa menjadi segar karena hawa keindahan seni teater yang makin merebak.  Yang memberikan kekuatan daya optimis kedepan adalah adanya kegiatan teater di LSPR yang tentu dilakukan anak muda. Sudah 27 tahun terjaring tiap tahun anak muda bergaul dengan teater walau tentu di lingkungan kampusnya. Di Luar tembok kampus sebenarnya juga ada kegiatan anak muda yang terlihat adanya festival teater tiap tahun dari dewan kesenian Jakarta misalnya; walaupun mohon maaf masih terasa sebagai kegiatan “proyek” tahunan yang belakangan ini sudah mulai dibenahi. Belum lagi di daerah2 juga terjadi kegiatan yang sama yang sangat disayangkan kurang mencuat karena media seperti koran, televisi yang besar ada di Jakarta sehingga kurang menjangkau ke daerah. Harus rela dan ikhlas menerima jika hal tersebut terjadi karena teater masih belum dipandang sebagai berita yang bisa dijual. Jadi kasarnya nilai komersilnya belum bisa laku. Perlu ada jembatan untuk mempertemukan seniman dengan para pengelola media yang orientasinya profit.


Luar biasa ! Semakin kuat keyakinan bahwa teater begitu hebat manfaatnya bagi usaha besar bangsa yakni “mencerdaskan bangsa.” Salah satu cita-cita kemerdekan 17 Agustus 1945 dari dua cita-cita yang lain yakni “mensejahterakan bangsa serta turut menjaga perdamaian dunia.” Cita-cita sebagai bangsa besar yang merdeka namun sering ter atau dilupakan oleh bangsanya sendiri. Bangsa yang sejak awal kemerdekaan sudah mengantongi kearifan lokal yang salah satunya adalah kesenian. Kesenian yang salah satunya adalah teater atau sandiwara sebutan lamanya. Sebutan yang justru lebih memiliki arti filosofi yang mendalam yakni sandi yang diwartakan. Sandiwara atau teater yang memiliki ajaran sangat mendasar yakni kebersamaan karena hasil karyanya adalah hasil kerja kolektif. Kerja barengan ini sudah merupakan sikap langkah laku bangsa yang sejak awal dikenal dengan sebutan “gotong royong”. 


Semakin banyak lembaga, kelompok, kampus, sekolah yang memberi ruang kehidupan teater maka berarti turut mendukung secara nyata kegiatan yang sadar atau tidak memiliki ajaran utama yakni “gotong royong”.  Jika gotong royong sudah tertanam sejak dini secara terus menerus hingga ke jenjang pendidikan tinggi maka ketika terjun ke dunia nyata dalam pergaulan yang sering dikatakan kehidupan yang keras maka jiwa gotong royong akan mampu menjawab semua kendala yang muncul.  Secara gotong royong akan selalu membawa segala problem ke meja bundar duduk bersama mencari solusi. Itupun sudah tertulis di sila keempat Pancasila yakni “musyawarah.”  Maka sangat tepat jika undang undang pemajuan kebudayaan sudah ditandatangani presiden sehingga salah satu tujuannya yakni kehidupan “berkesenian” seharusnya wajib didukung siapapun. 


Salam jabat merdeka berteater.


Jakarta 11 Januari 2022.

Rudolf Puspa

pusparudolf@gmail.com

Ads