Catatan Rudolf Puspa: Hari Ibu Bukan Mother's Day -->
close
Pojok Seni
23 December 2021, 12/23/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-12-23T00:00:00Z
Analisis PuisiArtikel

Catatan Rudolf Puspa: Hari Ibu Bukan Mother's Day

Advertisement
Rudolf Puspa

Tanggal 22 Desember 2021 seperti setiap tahun diperingati sebagai hari ibu. Aku mencatat hal ini dengan pandangan yang berbeda dengan hari ibu di belahan dunia barat yang disebut sebagai mother’s day. Saya tidak tahu persis apa argumentasi mereka sehingga tak berkeinginan membahasnya.


Ibu bagi saya adalah orang yang melahirkan anaknya tanpa melupakan siapa bapaknya. Untuk melahirkan anak ada proses yang harus dijalani selama 9 bulan 9 hari menurut perhitungan ilmu kedokteran yang sudah kita terima. Untuk sebuah proses yang menyangkut adanya nafas kehidupan terasa di sana ada yang dirasakan sebagai sebuah perjuangan. Bahkan perjuangan antara hidup dan mati yang juga sudah dipahami ketika proses kelahiran tiba waktunya. 


Sebuah perjuangan akan membawa nilai yang salah satunya adalah heroisme. Bahkan heroisme melahirkan sangat berkaitan antara hidup dan mati apakah ibu atau bayi. Dokter atau bidan atau para pembantunya hanyalah membantu sang ibu dalam proses melahirkan. Dengan demikian seluruh perjuangan sepenuhnya adalah ada pada ibu. Melalui kekuatan pernafasannya, yang mana disyaratkan dengan sekali hembusan mendorong membantu sang bayi keluar dari rahim. Menurut ilmu kedokteran dinyatakan bahwa sebenarnya yang berjuang keras untuk lahir adalah sang jabang bayi sendiri. Berarti yang memiliki daya juang adalah ibu dan bayi. Satu kerjasama yang erat dan dipenuhi rasa heroisme untuk merdeka. 


Betapa bahagia wajah ibu ketika perjuangannya bersama sang bayi anak kandungnya berhasil merdeka. Proses melahirkan pada umumnya tanpa ada pembiusan total sehingga yang namanya rasa sakit tentu hanya ibu yang bisa merasakan dan kemudian bercerita dan selamanya para lelaki tak kuasa membayangkannya. Dahsyatnya kelahiran juga membawa rasa bahagia sehingga rasa sakit hilang lenyap bersamanya.  Jika percaya adanya Tuhan maka itulah mujizat yang hanya Dia pemiliknya. Ini proses yang normal dalam arti kehamilannya memang dilandasi hubungan cinta kasih antara pria dan wanita secara legal maupun kadang tidak. Bagi yang kehamilannya ada permasalahan unsur2 yang penuh derita tentu tidak termasuk dalam bahasan ini.


Melebar dari semangat kemerdekaan yang dibawa ibu bersama bayinya maka bukan sesuatu hal yang aneh jika daya hero ada di setiap ibu dan anaknya. Entah laki atau wanita anak tersebut membawa daya hero bagi kelahirannya. Selanjutnya sadar atau tidak ibu memiliki kewajiban mendampingi, mendorong anaknya membesar tanpa kehilangan daya heronya. Heroisme wanita itulah yang perlu selalu kita per-ingat-i bukan hanya tiap tanggal 22 desember namun dalam hidup sehari2 kita. Bukan sekedar mengada-ada jika wanita diciptakan telah membawa pesan heroisme yang dibawanya mendampingi kaum pria dimulai dari suami dan anak2nya jika ia menikah. Bagi yang tidak tentu tetap memiliki heroisme bagi membantu jalannya kehidupan lingkungannya.  


Dari data sejarah yang ada ini bila sepakat tentunya kita dapat melihat hari ibu sebagai momentum untuk penyadaran bagi kita semua bahwa mengingat ibu adalah mengingat semangat heroisme yang dibawanya dan ditularkan kepada kita semua; bukan sekedar mengajar masak memasak, menjahit pakaian , mengurus rumah tangga secara lahiriah namun lebih mendalam lagi pengertiannya.  Memasak kehidupan agar selalu terjadi keseimbangan antara pria wanita, ekonomi ekologi, damai permusuhan, sejahtera lahir batin. Menjahit segala hal yang rusak, robek, pecah kembali dalam persatuan dan kesatuan. Mengatur isi rumah tangga besar yang bernama Indonesia agar penghuninya merasa nyaman aman tinggal di rumah.


Betapa mulianya hati ibu yang kehadirannya bukan menadahkan tangan namun memberi dan merawat serta terus menerus mendampingi perjalanan suami dan anak2nya menjadi bangsa yang selalu berada dijalan lurus yang benar baik secara subyektif dan obyektif. Masihkah harus selalu kita terjemahkan sebagai orang kedua, dibelakang pria dan seterusnya sehingga tidak memiliki tempat menjadi pemimpin? Selalukah sebutan ibu rumah tangga hanya sekedar pengatur dan tidak menentukan? Jika melihat apa yang dikatakan tanggung jawab ibu maka seharusnya juga diterima bahwa ibu adalah pemimpin. Sangat tepat bila di Minangkabau memiliki sistem hidup matriarchat dimana kehidupan berada dibawah kendali wanita. Walaupun pada kenyataannya tetap yang didepan adalah pria. Sebutan bundo kanduang begitu memiliki kesakralan serta kekuatan sebagai daya hidup masyarakat Minangkabau. Tentunya sudah selayaknya memiliki hak untuk menjadi pemimpin di masyarakat seperti jabatan2 pemerintahan dari lurah hingga gubernur. Namun belum terdengar hal ini menjadi hal yang umum. Entahlah apa para bundo kanduang masih malu2 tampil atau para pria masih malu2  memberi ruang dan waktu.


Pada tanggal 20-25 Desember 1928 di Ndalem Joyodipuran yang sekarang untuk kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya di Jalan Brigjen Katamso 139 Yogyakarta diselenggarakan Kongres Perempuan yang pertama. Terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia Pertama ini merupakan momentum yang sangat penting dalam sejarah perjalanan wanita Indonesia. Artinya secara politik bangsa sudah ada kesadaran wanita yang menunjukkan bahwa wanita memiliki darah heroisme bagi kemerdekaan bangsa. Apalagi salah satu tujuan kongres adalah menuntut pemerintah memberi dana bagi Pendidikan wanita sejak dini hingga ke jenjang perguruan tinggi. Terbukti bahwa perjuangan wanita dimulai selalu dari pendidikan. Kita bisa baca sejarah Kartini dan banyak wanita kita yang pada zamannya bukan sekedar angkat senjata namun lebih jauh meyakini bahwa pendidikan sangat penting karena setelah berhasil merebut kemerdekaan dan harus memimpin negeri sendiri akan dibutuhkan tenaga profesional yang menyangkut berbagai bidang keilmuan.


Melalui catatan kecil dari rakyat kecil menyerukan peringatan hari ibu tidak hanya sekedar seremonial atau ucapan2 standard lewat WA grup atau medsos; namun lebih jauh memahami apa siapa mengapa dan bagaimana “ibu” dalam pemahaman yang luas. Ibu bagi bangsa yang tentu tidak melupakan sebagai orang yang melahirkan kita semua ini. Ingat kita ada ibu negara, ibu kota provinsi hingga negara yang tentu memiliki nilai yang begitu penting karena bisa diterjemahkan sebagai pemimpin. Jika karena alasan “tertentu” masih belum bisa menerima ibu sebagai pemimpin paling tidak ada kesediaan menerima bahwa di hadapan Yang Maha Kuasa kedudukan wanita dan pria sama. Terjemahan secara intelektual hingga kecerdasan manusia tentu bisa menjelaskan kenapa kita perlu belajar memahami hingga menerima apa yang sering didengar dikatakan “persamaan hak dan kewajiban” pria dan wanita.


Pertanyaannya punya kesadaran kah kita untuk tidak sekedar berbasa basi mengucapkan kata2 standar kepada wanita pada hari yang disebut hari ibu 22 desember 2021?


Salam jabat merdeka bersama.


Duren seribu Bojongsari Depok. 22 Desember 2021.

Rudolf Puspa

pusparudolf@gmail.com

Ads