Komodifikasi Seni: Sebuah Keniscayaan -->
close
Pojok Seni
09 November 2021, 11/09/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-11-09T00:00:00Z
ArtikelOpini

Komodifikasi Seni: Sebuah Keniscayaan

Advertisement


Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.* 


Kita memahami bahwa sebuah karya seni termasuk karya seni berbasis tradisi, merupakan produk atau komoditas yang sangat menarik minat banyak orang. Teranyar terdapat sebuah kajian yang cukup mendalam tentang komodifikasi (aransemen) sebuah musik tradisional dari daerah tertentu. Sedemikian menarik musik tradisional itu untuk dikomodfikasikan, sehingga perlulah kita pahami bahwa ketika sebuah seni musik berbasis tradisi dikomodifikasikan, tujuan yang ingin dicapai adalah supaya seni itu bisa menjadi komoditas unggulan, atau paling tidak menambah ‘nilai jual’ di tengah pasar yang penuh persaingan. 


Terpisah dari itu, kita bisa menyaksikan bahwa terdapat banyak produk atau komoditas di bidang pertanian dan lain sebagainya, yang telah dikemas sedemikian rupa agar bisa bersaing di pasar. Tentu saja kemasan yang dimaksud merupakan kemasan yang masuk kategori unggulan. Bandingkan: pengembangan budidaya kopi, kerajinan tangan, batik serta kuliner khas tradisi tertentu. Hal ini tentu semakin menarik untuk ditelaah karena entahkah terdapat kekuatan tertentu dibalik sebuah komodifikasi. 


Kita bisa merujuk dari berbagai sumber, informasi tentang komodifikasi, pasti kita akan menemukan sebuah catatan negatif tentang komodifikasi itu. Kita pun bisa melihat dalam berbagai literatur tentang komodifikasi sebuah produk seni berbasis budaya, yang atas cara tertentu telah diupayakan secara massif oleh para pegiatnya, agar menarik perhatian audiens, sehingga bisa menjadi sebuah produk unggulan. 


Di sisi yang sama sebetulnya dalam pemahaman penulis, komodifikasi tidak terlampau berarti negatif, karena untuk ukuran tertentu, komodifikasi seni budaya justru akan berarti banyak dan demikian akan membuka ketersembunyian kekayaan serta kekuatan dari seni budaya itu. Maka komodifikasi hemat penulis menjadi sebuah keniscayaan yang menyebabkan produk seni budaya itu ‘laku dipasaran’.


Dalam kerangka itu, tulisan ini tidak akan mengurai sisi negatif komodifikasi itu, karena hemat penulis komodifikasi dalam seni dan budaya dirasa perlu, terutama di era digital saat ini, yang terus menerus mengandalkan tampilan/kemasan, tanpa meninggalkan kedalaman nilai seni budaya itu. Lihat saja dalam sebuah pertunjukkan tari daerah tertentu, yang atas cara tertentu berdasarkan keahlian dan ketrampilan pelatih tari, mengkreasikan koreografinya, untuk bisa menarik perhatian, dengan menyertakan ornamen-ornamen modern ke dalam tampilan mereka di atas panggung.


Seiring dengan itu, dalam sebuah kajian berjudul: “Design Produk Seni Budaya Lokal ke Mancanegara”, yang dipublikasikan oleh Universitas Negeri Yogyakarta, 2014, penulis menemukan bahwa seni dan budaya memiliki peranan yang penting untuk menarik perhatian audiens. Seni dan budaya dengan keunikannya, akan menambah nilai tambah dan tentu saja nilai juga seni itu. Selain faktor ekonomis, kemasan seni dan budaya yang telah ‘digubah’, merupakan salah satu bentuk konkret dari pelestarian budaya yang diyakini akan menambah manfaat bagi pengembangan kepariwisataan yang memiliki nilai-nilai pelestarian aset budaya, dengan tujuan agar aset budaya tersebut berfungsi lebih optimal dalam meningkatkan dampaknya masyarakat.


Sejalan dengan itu maka dapatlah kita peroleh sebuah fakta bahwa produk seni dan budaya perlu terus dikemas sedemikian rupa, demi menarik minat audiens, dalam konteks tertentu, wisatawan dan atau orang lain di luar daerah itu. Hal itu tentu harus dibarengi dengan sebuah manajemen pengelolaan yang baik, agar sungguh-sungguh berhasil guna bagi daerah itu, tetapi juga bagi pemilik seni budaya itu. 


Mengenai seni dan budaya, dari sumber yang sama penulis menemukan bahwa sumber daya budaya (cultural resource) menunjuk kepada gejala fisik baik alami maupun buatan manusia yang memiliki nilai sejarah, arsitektur, arkeologi dan pengembangan kreasi manusia yang secara turun temurun diwariskan dari satu generasi ke genarasi berikutnya yang sifatnya unik dan tidak diperbaharui. 


Dalam konteks kita tentu saja, “sumber daya budaya” merupakan salah satu modal dasar pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya, yang dikembangkan secara bersama-sama dengan sumber daya lain seperti sumber daya alam dan sumber daya manusia (Nurhayati, dkk., 2014: 3-4). 


Di Minahasa terdapat salah satu musik tradisional yang dikenal dengan musik kolintang. Musik ini kurun waktu 15 tahun terakhir sedang bergeliat karena akan diusung menjadi warisan budaya tak benda yang mendapatkan pengakuan UNESCO. Musik ini menjadi perhatian segenap insan seni budaya secara khusus komunitas-komunitas seni musik kolintang di Indonesia. Kendati demikian, produk (baca: Musik kolintang dengan aransemen komodifikasi), harus terus diupayakan, untuk bisa menambah daya tarik audiens. Produk musik yang selama ini tidak beranjak dari genre modern (baca: Aransemen tradisional), sesegera mungkin untuk diupayakan ke penggarapan yang mengabdi pada genre modern, agar audiens menerima itu. 


Dalam konteks tersebut, telah pula diupayakan untuk menciptakan produk musik kolintang yang direkam berkolaborasi dengan musik lain seperti piano, band, dlsb. Kolaborasi ini telah dilakukan oleh seniman Minahasa, tetapi juga komposer sekelas Dwiki Dharmawan, yang dalam berbagai pertunjukkan seninya, selalu menggandeng musik tradisional tertentu. Kolaborasi ini tentu menjadi sebuah bukti bahwa komodifikasi musik kolintang harus terus diupayakan bukan dalam sebuah konsep saja, tetapi diwujudkan dengan nyata. Maka dari itu, sebagai wujud nyata, keniscayaan sebuah komodifikasi, perlu kita nantikan dalam The Sounds From Minahasa karya: Dwiki Dharmawan & Ferdinand Soputan.  


*Penulis adalah Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Filsafat-Estetika

Ads