Ujar, Alam Ibarat -->
close
Pojok Seni
16 October 2021, 10/16/2021 10:24:00 AM WIB
Terbaru 2021-10-16T03:24:42Z
ArtikelNarasi

Ujar, Alam Ibarat

Advertisement
Ilustrasi Ujaran

Oleh: Prof. Yusmar Yusuf


Guru berujar tentang ajaran. Ujaran belum tentu ajaran. Tapi, setiap ajaran, memerlukan ujaran. Guru sejati, adalah mereka yang mempelajari murid mereka sebaik-baiknya.  Dia harus banyak belajar, tak sekadar mengajar (misal dan ibarat). Belajar dari murid-murid. Kunci dari ajaran adalah pelayanan dan setiap orang yang tak tahu menahu tentang pelayanan, pasti tidak mengetahui tentang keguruan (lembaga berguru); adab. Bagi mereka yang memiliki kesadaran (pengertian), hanya dengan sebuah isyarat: selesai segalanya. Sebaliknya, bagi yang tuli, sejuta penjelasan, takkan pernah jeda.


Hari ini, antara ujar dan ajar menyatu. Setiap orang, saban detik berujar menghias layar-layar kaca; sekaligus mengajar. Yang berujar, sebagian besar adalah mereka yang dulunya kalah di medan akademik. Tak sekadar berujar, mereka memanfaatkan instrumen media yang berujar untuk sekaligus mengajar. Mereka yang korban secara akademik, ketika diberi kesempatan oleh demokrasi dan politik,   pun jadi penguasa; menguasai panggung politik,  parlemen, partai. Lewat keangkuhan seorang berkuasa, kini dia berujar dengan niat untuk mengajar dan mendikte guru-guru dan mantan guru. Dipilihlah podium yang paling tinggi posisinya, paling cathcy lokusnya, paling seksi gayanya. Dikumpullah segala bentuk “paling” menjadi  superlatif dalam segala hal; gaya, kemasan, setting waktu, tempat dan kaidah-kaidah metroseksual.


Beragam pula sudut pandang yang dilontar lewat alam ujar demi mengajar. Sudut pandang adalah suasana jiwa yang serba relatif; “bagi pendosa dan orang jahat, aku ini setan. Tapi, bagi orang baik-baik, aku orang nan dermawan”. Para pengujar di parlemen, memanfaatkan medan laga itu sebagai alat bisnis, dan cari untung lewat ujar dan ajar yang memenuhi ruang-ruang private di hotel-hotel bintang, salon, kafe dan lobby. Semuanya berbincang tentang kemuliaan rakyat dan jelata.Rakyat, kemakmuran, kesejahteraan menjadi fragmen yang dibajak, sekaligus jadi jualan produk; “kami berbuat demi rakyat, untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama jelata”.


Ujar, hanyalah medium. Dia tak lebih dari instrumen yang bisa terperangkap dalam alam ibarat. Tradisi ujar ini, bisa berangkat dari dua alam kecerdasan; intelektual/akal (reason) dan yang kedua adalah kecerdasan khayali (imagine). Ilmuan besar, menemukan hukum tinggi dalam fisika, berasal dari khayali, dalam  sebuah mimpi malam hari. Bukan hasil kerja labor dengan ragam eksperimen dan segregasi fragmen. Para penghayat, termasuk seniman, pelukis, penyair, dan arsitek, lebih mumpuni dalam kecerdasan khayali. Bahkan sang mistikus pencari Tuhan lebih mengedepankan khayali (imagine) berbanding kecerdasan akal (intelektual). Sebab, alam yang kita hadapi saat ini adalah ‘alam mitsal’ (khayali), untuk itu dia harus diungkai dengan instrumen khayali pula. Khayali itu amat bermanfaat dan bernilai guna. Setiap orang yang mengedepankan kecerdasan akal (intelektual/reason), ketika akan memutuskan sesuatu, dia juga harus menggunakan khayal, imagine. Tapi seorang yang menjunjung kecerdasan khayali, tak pernah sekali pun menggunakan kecerdasan akal, ketika akan memutuskan sesuatu (decision). Jika alam raya ini adalah alam mitsal, maka manusia itu sendiri adalah makhluk imajinasi.


Untuk menghentikan peristiwa imajinatif yang melekat pada fenomena manusia, jalan satu-satunya adalah lewat kematian. Dalam kematian, manusia pun berujar tentang realitas. Inilah realitas kehidupan sesungguhnya (kematian). Ini juga sebuah ujar yang meng-ajar. 


Jalan tasawuf menunjuk kematian sebagai peristiwa naik kelas. Maka berujarlah tentang kematian yang nikmat. Mati adalah pasangan hidup (judunya hidup). Dulu kita pernah mati di alam (rahim dan ruh); dengan segala persiapan, alam ini melangsungkan semua jenis ujar dan ajar, untuk masuk dan naik kelas ke alam “hidup” di dunia imajinatif saat ini. Untuk menuju alam abadi yang bersuasana unio mystica itu, jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah lewat kematian. Ini sebuah ujar yang tak mengajar (tentang kisah naik kelas). Dengan tidak mati-mati, maka kita akan tetap di kelas yang sama, sementara generasi di bawah kita mengejar posisi di kelas yang kita tempati saat ini. Tak punya rasa malu kah? Kita tetap bertahan di kelas tiga selamanya? Adik-adik kelas, sudah naik kelas enam, bahkan mereka telah kuliah dengan segala peringkat ijazah. “Mati”, bagi Ibn Arabi bukanlah kejadian biologis. Ia adalah kejadian spiritual yang menuntut tindakan manusia membuang belenggu indra dan nalar (reason), melampaui dinding-dinding (alam) fenomenal dan menerawang jauh ke balik benda-benda fenomenal. Maksudnya, secara singkat, merasakan pengalaman mistis “peniadaan diri” (fana)”. 


Seniman, saban hari melayari khayali. Itulah pekerjaan. Tanpa khayali, tiada kerja. Bukan kurang kerjaan. Alat untuk bekerja seorang seniman, mistikus dan ilmuan adalah khayali. Tak genap kerja intelektual tanpa khayali. Sejauh alam ibarat yang berlapis-lapis itu, kita tak memerlukan ibarat yang berlebih. Namun, menakwilkan ibarat dalam letupan-letupan imajinatif dan melingkarinya dalam “kenyataan imajinatif” yang tengah kita layari hari ini di alam dunia. Persebatian unio mystica itu sejatinya tak menunggu mati. Selagi menjalani hidup imajinatif di panggung bumi ini, manusia bisa dengan tajam dan dalam melangsungkan persebatian, menyatu dengan ruh; melalui latihan, bukan hafalan reason, bukan hitungan dan ujaran bertendens.


Naik peringkat itu sebuah keniscayaan, bukan terberikan. Dia sebuah upaya, sebuah ikhtiar. Tak mungkin melangsungkan kerja seni dalam bungkus baju kurung dan tanjak tiada jeda. Ada masa, kita melangsungkan segala ujaran misal dan imajinatif dalam “kebebasan” tak berpenghuni.


Baca juga: Tulisan menarik dari Prof Yusmar Yusuf lainnya.

Ads