Yang Dekat dan Tak Terengkuh dari “Pagi 21 Menit” oleh Kala Teater Makassar -->
close
Adhyra Irianto
20 September 2021, 9/20/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-09-20T00:00:00Z
ResensiUlasan

Yang Dekat dan Tak Terengkuh dari “Pagi 21 Menit” oleh Kala Teater Makassar

Advertisement



Oleh: Raihan Roby

Kala Teater Makassar kembali memproduksi pementasan virtual, kali ini berjudul “Pagi 21 Menit” yang disutradarai oleh Nurul Inayah. Naskah dan Dramaturg oleh Shinta Febriany. Pementasan virtual ini sendiri berlangsung selama 9 hari dari tanggal 10-19 September 2021 dan dapat ditonton melalui YouTube dengan memesan tiket terlebih dahulu, selengkapnya dapat dicek di Instagram @kalateater. 


Berbicara tentang pagi hari, Goenawan Mohamad pernah menulis “Pagi terbaik datang tanpa sisa mimpi—dan hari bisa dimulai dengan harapan”. Dalam kumpulan Epigramnya Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali. Membaca kalimat ini, tentu kita mengharapkan agar dapat terbangun di suatu pagi yang tanpa dihantui oleh sisa mimpi atau masa lalu. 


Tapi, seberapa sering kita berhasil melewati bangun pagi dan tak dihantui masa lalu? Adakah harapan di sana yang dapat meyakinkan kita akan cerahnya masa depan? 


Saat pementasan ini dimulai, layar masih menampilkan judul “Pagi 21 Menit” tiba-tiba terdengar sebuah nyanyian dengan nada rendah, nyanyian yang bagi saya penuh keputusasaan. Meski saya tak sepenuhnya yakin bahwa yang dinyanyikan adalah lirik dari sebuah lagu. Saya menduga bahwa yang dinyanyikan adalah petikan puisi dari penulis naskah ini. Kurang lebih begini lirik/puisi itu:


mungkin aku adalah anjing

yang dikisahkan agamamu

anjing yang lapar dan dahaga

yang gagal mati

sebab memiliki kemaluan untuk dikenang


Sungguh suatu cara yang paradoks untuk menghadirkan “pagi” dan “puisi gelap” di bagian awal pementasan. Bagi yang menontonnya (dan melihat poster pementasannya) mungkin akan berpikir bahwa pementasan ini penuh keceriaan, seperti nuansa pagi hari yang menggembirakan. 

Tetapi saya (dan para penonton) salah mengira, Kala Teater mempunyai cara dan cirinya sendiri dalam menggarap sebuah pementasan. 


Setelah mendengar nyanyian tadi, terlihat tokoh Zore dan Niso sedang merawat sebuah halaman di belakang rumah. Zore (Wawan Aprilianto) mencabuti rumput liar yang tumbuh, sementara Niso (Dwi Lestari Johan) menyiram tanaman. 


Sesaat saya mendapati nuansa pagi hari yang meneduhkan, bunyi burung-burung terdengar, bunyi air yang mengucur keluar dari selang, bunyi besi mencukil tanah. Lalu datang Poha (Syahrini Andriyani) dengan secangkir minuman di tangannya. Ia berkeluh kesah pada dirinya sendiri, ia muak untuk diminta meminum obat, vitamin. Disuruh untuk makan dan minum yang tidak ia sukai, bahkan hingga pola tidur yang harus dibenahi.


Niso dan Zore yang mendengar keluh kesah Poha hanya menanggapi dengan seperlunya saja. Tetapi semakin ditanggapi, kelakukan Poha semakin menyebalkan. Ia mulai mencaci dirinya sendiri, menyebarkan suasana negatif kepada Niso dan Zore.


Niso mencoba menghibur Poha dengan kalimat motivasi, seperti “Bahwa pagi hari adalah saat harapan tumbuh dan bisa membuatmu berpikir tentang masa depan.” Alih-alih Poha menjadi diam, ia merenung sesaat dan kembali bertanya pada Niso.

“Apa itu harapan?” 


Mendengar pertanyaan dari Poha. Niso lantas mengakhiri kegiatannya menyiram tanaman itu, ia pergi ke sebuah tembok di dekat Poha yang sedang duduk. Dan menulis pertanyaan Poha di tembok itu.


“Apa itu harapan?”


Niso lantas merenungi pertanyaan ini sedalam-dalamnya, ia mungkin tak pernah menyangka bahwa kata-kata yang keluar dari mulutnya tak sepenuhnya ia pahami. Kini, tinggal Zore yang masih fokus mengurus rumput-rumput liar dan membersihkan tanaman di pot.


Niso dan Poha merenungi kesadaran eksistensialisme tentang apa itu harapan? Benar adakah harapan itu? Mereka berdua saling memberikan definisi tentang harapan. Lalu ketika telah sampai pada pengertian tentang harapan, mereka runtuhkan kembali dengan pertanyaan-pertanyaan absrudis yang lain. Lalu mereka bangun kembali dengan mencari makna akan harapan, terus begitu berulang-ulang.


Belum selesai dengan harapan, obrolan Niso dan Poha juga menyinggung akan masa depan, mendengar kata “masa depan” inilah Zore lantas beranjak duduk bersama mereka. Mempertanyakan kembali apa itu harapan dan masa depan dengan persepsi masing-masing.


Sebenarnya, apa itu harapan? Apa itu masa depan? Seorang penyair perempuan asal Argentina, Alejandra Pizarnik menulis puisi Caer yang diterjemahkan oleh Siegert Yvette menjadi Falling begini puisinya:


Falling

Never again a hope

in the comings and goings

of names, of figures.

Someone dreamed this up so poorly,

someone consumed by accident

the forgotten distances.

Jika di puisi awal, Shinta Febriany menggambarkan bagaimana keterasingan Aku liris sebagai metafor seekor Anjing dalam riwayat penceritaan kitab suci atau ritus keagamaan yang menjadikan Anjing itu dalam keadaan sengsara dan tak bisa memilih untuk hidup atau mati. Hingga puncaknya adalah bagaimana si Anjing yang merasa tak pantas untuk dikenang, harapan sebagai seekor “hewan yang tak sengsara” pun sirna.


Sebagaimana Shinta Febriany, Alejandra Pizarnik juga menulis “puisi gelap”. Dalam puisinya itu, Pizarnik seakan mengingatkan kita agar kita tak perlu menjadi suatu harapan akan sesuatu yang tak pasti dan jatuh terus menerus dalam lubang yang sama. 


Ketidakpastian antara puisi Shinta Febriany dan Alejandra Pizarnik cukup terasa kuat. Ketidakpastian menghadirkan jarak yang sebetulnya sangat dekat (dengan kematian dan harapan) tetapi dalam puisi Shinta Febriany “jarak” itu dialusikan dalam riwayat agama, sedang dalam Pizarnik “jarak” itu sendiri dibatasi oleh kesadaran dalam diri bahwa ketika menumbuhkan harapan, lawan katanya adalah dilupakan. 


Kembali ke pementasan, Saya mengapresiasi bagaimana tata letak perekaman pementasan ini. Sebab ia tahu waktu yang pas untuk melakukan zoom in dan zoom out serta sesekali menghadirkan point of view dari mata tokoh untuk memperkuat ke-absurd-an yang ingin ditonjolkan. 

Seperti ketika Niso berbicara langsung ke kamera (yang menjadi mata penonton) dan mempertanyakan kembali tentang harapan kepada Poha lalu ke Zore dan kembali ke Niso. Untuk meyakinkan Poha tentang harapan, Niso mengutip Mazmur 71:14 dan Zore mengutip Q.S Al-Hijr 56. Tetapi Poha terus menyangkal meski telah diberi ayat-ayat suci sekalipun. 


Ada yang menarik dari pembahasan mereka. Ketika Niso berbicara tentang masa depan tiba-tiba kamera menunjukkan pemandangan pohon-pohon yang sama tingginya dengan gedung-gedung. Atau ketika Poha menceritakan tentang lebah pekerja dengan ratunya. Mereka membandingkan lebah itu dengan manusia yang juga bekerja (dan sengsara).


Yang menarik dari pementasan ini adalah dialog-dialog yang dihadirkan sangat puitis, penuh metafora dan tak jarang mengalusikan cerita dalam kitab suci. Semua itu bertujuan untuk mencari definisi dari harapan dan masa depan. Serta mencari kedamaian hati dari cerita masa lalu untuk menerjemahkan apa yang terjadi pada masa kini dan kemantapan hati dalam menjalani masa depan. Ironinya adalah seakan para tokoh (atau mungkin kita manusia) tak pernah puas dengan definisi yang ada, kita selalu mempertanyakan, mengapa harus ada harapan, apakah masa depan penting. Atau mengapa manusia ingin berbahagia? Sungguh pertanyaan-pertanyaan sederhana yang sangat sulit untuk dijawab. 


Arthur Schopenhauer mengatakan bahwa manusia selalu dirundung oleh derita dan rasa bosan. Manusia tertatih-tatih untuk mencapai sesuatu yang ia inginkan dalam kehidupan. Setelah mencapai apa yang ia inginkan, tak lama ia akan segera bosan dan kembali menderita untuk mencapai sesuatu yang ia inginkan lagi, dan ketika telah sampai kepada apa yang ia citakan, ia merasa bosan kembali, begitu terus menerus. Dan patut kita akui bahwa derita dan rasa bosan memang menjadi pokok dari kehidupan.


Obrolan mereka bertiga ditutup oleh pendapat Niso bahwa masa depan adalah kumpulan fiksi bagi setiap orang. Zore masih terkesan tak terima dengan hasil akhir perbincangan mereka. Tetapi Poha lantas mengambil alat pengeruk rumput dan segera membersihkan rumput-rumput liar itu.


Keheranan akan apa yang terjadi, Zore menghampiri Poha dan bertanya bagaimana pendapat Poha terkait pandangan Niso tentang masa depan, alih-alih berpendapat Poha merasa kesal dengan Zore karena telah menginjak tangannya dan berteriak akan rasa sakit itu.


Pementasan ditutup dengan ketiganya melihat ke kamera dan terjadi situasi anti-klimaks di sana. Tiba-tiba mereka bertiga mengakhiri pementasan ini dengan dialog yang mempertanyakan apakah ini klimaks? Atau untuk mengakhiri pementasan ini? Lalu terdengar kembali nyanyian dan selesai.


Bagi saya pementasan ini telah mencapai klimaks (yang mana terjadi pembalikan karakter) ketika Poha tiba-tiba tak berpendapat terkait hasil akhir dari perdebatan mereka, Poha lebih memilih untuk membersihkan rumput. 


Di sinilah pembalikan karakter terjadi, semula Poha mengajak Zore dan Niso (yang awalnya sedang melakukan pekerjaan) masuk ke dalam ruang absurditasnya. Dan Poha beranjak dari ruang itu menuju ruang yang mana Zore dan Niso lakukan di awal tadi. 


Ada kedinamisan dalam diri Poha, mungkin ia menyadari seperti yang dikatakan Arthur Schopenhauer, manusia hanya berfokus pada rasa sakit alih-alih kita berpikir (dan mensyukuri) apa yang kita punya, kita selalu memikirkan apa yang kurang dari diri kita. Oleh sebab itu, perbincangan tentang harapan dan masa depan tak akan pernah selesai untuk dibahas. 


Setelah selesai menonton pementasan ini, saya ikut-ikutan mempertanyakan apa itu harapan, dan apa itu masa depan. Mungkin jika Kala Teater ingin sedikit “iseng” mereka bisa memperluas ruang absurditas hingga sampai ke penonton dan penonton terus-terusan mempertanyakan hal yang sama dengan cara menutup pementasan ini dan bertanya (ke kamera sebagai mata penonton) apa itu harapan, apa itu masa depan?


Yogyakarta, 2021.  

Ads