"Seni Tertinggi” & Musik Tradisional Kolintang (I) -->
close
Pojok Seni
15 September 2021, 9/15/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-09-15T00:00:00Z
ArtikelMusik

"Seni Tertinggi” & Musik Tradisional Kolintang (I)

Advertisement
Musik tradisional kolintang


Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.*


Seni dan seni musik memiliki keistimewaan pada dirinya. Menjadi istimewa karena musik mampu berkomunikasi melalui sentuhan rasa yang mendalam, yakni mampu menularkan kesan dan pengalaman subyektif (pengalaman seniman) kepada publik atau audience. Seni menyimpan konsepsi keindahan dan menanamkan konsepsi ini ke dalam perasaan publik-audiens atau masyarakat. (Sudiarja dalam Silaen, 1995: 33).


Pada akhirnya musik membawa pengalaman nan estetis, dimana pengalaman itu hanya dimiliki oleh orang dengan kemampuan lebih, termasuk kemampuan dalam hal pengetahuan yang bersifat transendental. Pengetahuan bagi setiap subjek-manusia adalah penting. Refleksi penulis sebelumnya, misalnya, telah menguraikan bahwa pengetahuan penting karena dengan pengetahuan, seseorang bisa memiliki kekuasaan, dan atau memiliki kekuatan tertentu. 


Di era modern saat ini pun, pemikiran-pemikiran para pesohor telah mengajarkan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan, subjek harus memiliki rasio atau akal sehat dan berkesadaran. Rasio atau kesadaran ini, membuat subjek mengarahkan diri pada dirinya sendiri dan bahkan sesuatu di luar dirinya. Bandingkan konsep ‘cogito ergo sum’ dari Rene Descartes, sang filsuf modern.


Berbanding terbalik dengan fakta bahwa pengetahuan itu sangat vital dan penting seperti uraian di atas, sedikit berbeda dengan pemikiran Arthur Schopenhauer (1788-1860), seorang filosof kelahiran Polandia. Dalam uraiannya beliau mengatakan bahwa rasio tidak dapat mengetahui benda pada dirinya sendiri, namun kita (subjek) memiliki jalan lain menuju sebuah realitas yang tidak bersifat intelektual, yakni kehendak- will. Kehendak adalah akar dari segala yagn kita anggap nyata, dan hanya dalam tindakan-tindakan kehendak itulah kita dapat merealisasikan diri sendiri sebagai makhluk yang punya eksistensi (Ali, 2011: 133). Hal ini menegaskan bahwa pengetahuan juga memiliki keterbatasan, yakni keterbatasan yaitu tidak bisa mengetahui segala hal yang lain.


Pandangan Schopenhauer di atas, bukan tanpa kaitan dengan teori estetikanya, secara khusus musik. Kendati demikian, pandangannya tentang seni musik, terkait erat dengan pendapat utamanya yang terfokus pada peran dan kekuatan kehendak dalam setiap subjek, karena bagi dia, segala gejala alam semesta sebenarnya merupakan ungkapan atau fenomena dari sebuah kehendak, dan tentu seja sebuah realitas alam sebuah kesenian. 


Terhadap seni, Schopenhauer berpendapat bahwa seni musik adalah seni yang tertinggi. Hal itu dilatarbelakangi oleh fakta bahwa seni musik itu berdiri sendiri dan berbeda dengan seni-seni lainnya. Jika seni-seni lain menyalin ide tentang eksistensi, sedangkan musik justru merupakan presentasi langsung dari kehendak itu sendiri. Musik juga memiliki pengaruh yang kuat pada inti kodrat manusia, maka oleh karena itu, musik dimengerti dalam kesadaran sebagai bahasa universal. 


Melampaui itu, kita pasti mengetahui bahwa semua seni mempengaruhi manusia secara menyeluruh, tapi justru musik melebihi pengaruh-pengaruh seni lain, hal itu disebabkan oleh fakta bahwa ketika manusia memainkan musik, dia memainkan apa yang ada dalam kehendaknya, dan tidak seperti seni-seni lainnya. Hal ini tentu tidaklah mutlak demikian, namun jika kita refleksikan, musik menjadi sebuah seni yang memiliki peran yang melebihi seni lainnya, juga karena musik bisa mengubah perasaan seseorang. 


Musik itu berbicara tentang dirinya, dan esensi dirinya sendiri. Demikian juga ketika bermusik atau mengarungi dunia musik, seseorang tentu mengalami sebuah kepuasan. Seseorang yang sedang menderita pun dipuaskan dengan musik, karena merasa terhibur. Akhirnya analogi Schopenhauer ini dia akhiri dengan pendapat bahwa musik bukan merupakan ungkapan kehendak melainkan kehendak itu sendiri. Kedalaman musik yang yang tidak bersifat verbal terletak pada kenyataan bahwa musik memulihakan emosi esensi kodrat manusia, (Ibid, 140). 


Berangkat dari fakta itu, bagaimana kita memosisikan seorang seniman musik tradisi dalam upayanya bekesenian dan terus berkesenian? Sebagai sebuah seni musik yang khas berbasis tradisi, musik kolintang adalah musik yang  kaya. Kekayaannya tampak melalui cara memainkannya yang bisa diterapkan dalam berbagai genre musik. Musik yang bagi Schopenhauer adalah seni tertinggi, juga untuk ukuran tertentu berlaku bagi musik kolintang itu sendiri. Karena kekhasannya dan perannya dalam hidup orang-orang Minahasa, maka musik kolintang masuk kategori seni tertinggi, karena musik berbasis tradisi ini, adalah ekspresi realitas masyarakat Minahasa yang kental dengan ‘negeri bernyanyi’.  


Bandingkan pandangan Lapian bahwa masyarakat Minahasa dikenal suka bernyanyi. (Lapian & Mulyana, 2017: 71). Bernyanyi ini selalu dilakukan di setiap aktivitas hidup religi maupun hidup sosial. Bernyanyi sudah menyatu dengan jiwa orang Minahasa. Fakta ini menjadi fondasi bagi orang Minahasa terkait eksistensi musik kolintang itu. 


Baca tulisan menarik lainnya dari Ambrosius M. Loho, M.Fil di tautan ini: Artikel Ambrosius M. Loho

Ads