Prinsip Tekstur Teater Nonkonvensional Pengarang Baru/ Avantgardist di Eropa 1940-1950 -->
close
Adhyra Irianto
17 September 2021, 9/17/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-09-17T00:00:00Z
BeritaMateri Teaterteater

Prinsip Tekstur Teater Nonkonvensional Pengarang Baru/ Avantgardist di Eropa 1940-1950

Advertisement
Prinsip Tekstur Teater Nonkonvensional Pengarang Baru/ Avantgardist

Pojokseni.com - Teknik penggarapan teater nonkonvensional menyerupai, pada umumnya, penggarapan musik dan lukisan abstrak, penemuan “peristiwa-peristiwa unik”, dan juga, terutama, pencarian terhadap kemurnian teater. Kata “kemurnian” menjadi kata kunci bagi teater nonkonvensional. Pencarian ini menunjukkan implementasi kehendak untuk mengkonkretkan idealisme abstrak. Eksplorasi Kemurnian panggung teater dapat dilakukan dengan tiga cara yang berbeda, yaitu:


1. Pencarian abstrak


Pencarian ini melenyapkan suasana keharusan dan pewarisan “dosa-dosa” seperti yang dialami tokoh Oedipus. Teater nonkonvensional mengikuti seni abstrak khususnya seni lukis dan seni musik dalam beberapa materi dan teknik garapannya. Misalnya, surprais, , spontan, improvisasi


2. Pencarian kekhususan.


Pengarang baru, atau avantgardis menggarap panggung seperti yang dilakukan Artaud. Teater adalah puisi “rasa” yaitu konkretisasi ide dan pikiran dan seluruh kebenaran sejati dari kenyataan tak mampu diterjemahkan  melalui kata, maka keseluruhan dapat tersampaikan melalui bahasa tubuh. Oleh sebab itu, simbol, gambar yang membungkus kata lebih bermakna di hati penonton daripada kata dan kalimat panjang. Mewujudkan simbol, menghidupkan obyek, dan mengutamakan gerak merupakan bentuk teater baru yang unsur-unsur pembentuknya berasal dari garapan teknologi sinematografi,  opera dan pertunjukan sirkus.


3. Pencarian keunikan


Pencarian bentuk tekstur panggung mengacu pada bawah sadar manusia, seperti mimpi, bayangan, harapan, dan visi. Aspek-aspek nonkonvensional atau nondramatik ini secara audio visual muncul di atas panggung. Teknik penyampaian semacam ini menjadi kebaruan teater yang tidak pernah digunakan dalam teater konvensional sebelumnya.

 

Ketiga pencarian kebaruan yang berbeda, yaitu abstrak, khusus dan unik merupakan usaha seniman untuk menghilangkan konsep kelampauan, kemapanan, keakraban. Pada pencarian bentuk-bentuk artistik panggung, teater baru menggunakan cara-cara inovatif melalui teknologi radio, film dan video,  juga melalui analisis psikologi (misalnya pentingnya imajinai, mimpi, bawah sadar) dan melalui cerita-cerita fiksi (percakapan batin dan penggunaan waktu yang tumpang tindih dan melompat).


Penggunaan Inovasi Teknologi


Dalam naskah Eugène Ionesco Les Chaises terdengar suara perahu meluncur di air, dan dalam Dèlire a deux terdengar suara dentuman granat, dan guruh yang berkesinambungan. Samuel Beckett menyukai slide, dan Arthur Adamov mempergunakan teknik audiovisual: teriakan, deruman mobil, peluit, sirine dan kilatan lampu. Suara radio membuat plot cerita terbagi dua yaitu plot tentang masalah sosial dan masalah individual. Tujuan menggunakan inovasi teknologi adalah pertama, menyingkirkan progresi Aristotelian. Kedua, membagi antara tindakan riil dan imajinasi tokoh. Ketiga, menghadirkan adegan-adegan  dalam  cerita secara otonom. 

 

Penggunaan Teknik Imajinasi


Pada pembagian plot cerita, Beckett menyatukan peristiwa-peristiwa masa lalu, sekarang dan masa depan. Ciri khas Beckett ini mengungkapkan adanya kelelahan, keputusasaan, ketuaan yang dialami tokoh cerita. Plot ini terdapat juga dalam beberapa karya Ionesco. Kesemuanya itu merupakan sindiran masa kini terhadap penyingkiran masa lalu. Peristiwa-peristiwa di masa lalu muncul dalam kenangan. Mimpi misalnya, mewujud melalui simbol-simbol dengan makna tertentu. Freud dan seniman surealis melukiskan simbol tersebut sebagai keinginan bawah sadar. 


Pertanyaan mendasar tentang makna hidup dan kenyataan yang bersifat mistik, yang tidak mampu terjawab dengan logika. Dalam hal ini Ionesco mengatakan “...kenyataan ada dalam mimpi, imajinasi; setiap persoalan akan mengacu padanya. Fiksi akan mendahului sains atau ilmu pengetahuan.”


Pendapat ini mengejutkan karena hendak meniadakan tekstur logika. Namun disitulah terdapat hal-hal yang menarik, misalnya Ionesco menggunakan “mimpi” tidak hanya untuk pesan atau isinya, tetapi juga untuk bentuk pertunjukannya (bandingkan dengan Sartre dan Camus). Hilangnya tekstur rasional dan logis bagi pengarang baru sangat penting karena memudahkan mereka menumbuhkan pertentangan-pertentangan dramatis, dan menguntungkan timbulnya inovasi imaji. Itulah sebabnya para pengarang baru menggunakan mimpi secara total pada karya-karya mereka, baik dalam penciptaan naskah drama maupun pertunjukannya.


Transformasi mimpi ke atas pentas terkadang mengalami kesulitan karena mimpi bukanlah obyek nyata. Ingatan sekaligus mimpi hadir dalam  suatu keterpaduan yang membutuhkan ketrampilan tata artistik. Melalui bentuk mimpi, pertunjukan terkadang menjadi terbatas. Mimpi hanya bagian dari tekstur cerita; ia tidak berperan sebagai kata, ia tidak menghadirkan dorongan energi, karena lebih menitikberatkan pada komposisi dan orientasi pada panggung. 


Bagi Eugene Ionesco, Samuel Beckett, Arthur Adamov, imajinasi menjadi unsur pokok. Pengembangan imajinasi tidak perlu dibatasi, diarahkan bahkan di jembatani, karena kenyataan bersumber pada imajinasi. Terlihat di sini bahwa pertunjukan teater menjadi sebuah komposisi puitik di mana bentuk pertunjukan terkadang belum memiliki kepastian  bentuk. Bentuk selalu mengalami perubahan dan akhirnya beragam tafsir bentuk.


Tekstur Abstrak Pada Suasana dan Irama serta Spektakel Panggung


Tekstur karya pengarang baru menunjukkan kesamaan dengan komposisi musik nonkonvensional, bahkan terlihat adanya kecenderungan pemindahan-pemindahan konsep. Irama cenderung berperan penting. “Pause, “senyap” dan “omongan basa basi”, menjadi unsur retorika yang menjadi ciri khas teater baru. Hal ini dianggap sebagai perjalanan dialektik bahasa senyap (parole silence ). Tekstur formal teater baru tergantung  juga pada selingan antara tempo cepat dan lambat permainan. Selingan kecepatan tempo terwujud melalui intensitas vokal (pertengkaran tokoh cerita) atau suara ribut, juga pada penggunaan variasi teknik gelap-terang. Di sisi lain, kebaruan terletak pada suasana mencekam yang hadir melalui  pencahayaan. 


Tata cahaya menekankan peristiwa seperti halnya bunyi perkusi dalam irama musik. Bunyi berfungsi sama seperti dialog. Cahaya, musik, dan kata merupakan unsur-unsur simbolik. Cahaya mencekam mengganti kata-kata mencekam di akhir cerita tragedi konvensional. Bahasa kata digantikan oleh bahasa cahaya, bahasa bunyi, dan bahasa gerak. 


Tekstur Melingkar 


Komposisi alur melingkar banyak terdapat pada karya–karya baru. misal La Cantatrice Chauve, Le Balade Primadona, La Leçon, Waiting for Godot, menghadirkan  sebuah tema di mana tema tersebut menerjemahkan kembali bentuk pertunjukannya. Tekstur melingkar  mengungkapkan tema mayor tentang eksistensi manusia yang bersifat absurd dan tanpa tujuan. Maknanya adalah bentuk menyatu dengan isi.


Tekstur Cerita


Teater baru merupakan pertemuan antara teknik irama dan unsur audio visual yang tidak hanya berbicara tentang logika tetapi juga “rasa”. Teater baru tidak hanya berbicara tentang absurd, tetapi juga merasakan keabsurdan. Teknik ini berhubungan erat dengan teknik T.S.Eliot yaitu objective correlative. Konsep estetik “panca indera” mempengaruhi juga pada tekstur cerita. Secara konvensional, tema diungkapkan dalam bentuk pentasnya. Misal, konsep keterasingan disimbolkan dengan kursi-kursi kosong, dalam naskah Les Chaises. Pem”benda”an ini menunjukkan adanya hubungan yang alamiah antara ide yang terkandung dalam naskah dengan bentuk ekspresi yang nyata. Persamaan tema cerita dengan fisik pentas merupakan konsep estetik mendasar dari Teater Baru ( La notion d’ecart ). Ekspresi dari pem”benda”an ide ini terkadang menggelisahkan karena  ide  akan hadir bersama dengan bentuknya. Hasilnya adalah suatu imaji. 


Situasi dan Metamorfosa Dialog


Artaud : Kita, tanpa sadar, telah mengingkari nuansa sakral teatral dalam naskah dan kemutlakan pengarang. Di abad ke-20, terdapat tiga kecenderungan pemakaian bahasa oleh para pengarang. Pertama, adalah cara di mana pemakaian bahasa sebagai jiwa teater. Misal Jean Giraudoux, Paul Claudel, Jacques Cocteau, Andre Gide memakai bahasa untuk mengungkapkan ekspresi tokoh cerita. Kedua, cara di mana pengarang berikutnya lebih mementingkan bahasa sebagai bentuk percakapan. Bahasa–kata adalah unsur penting mempertanyakan masalah-masalah  kemanusiaan. Dengan kata lain, kata mewakili pesan. Fungsi kata ini oleh pengarang baru diubah secara radikal. Ia tidak lagi bersifat pasti dan logis, tetapi kata menjadi tidak menentu, pesimis, ambigu dan sarkastis. Ketiga, cara di mana bahasa digunakan untuk berbicara tentang lain hal.  Lebih jauh, bahasa mengungkapkan hal-hal yang tak tampak di permukaan, semangat yang tak mampu diungkapkan hanya oleh kata. Antonin Artaud mengatakan bahwa teater bukan sekedar seni berkata-kata, tetapi seni pertunjukan kehidupan, ritual yang menitikberatkan pada dialog yang menghadirkan kekacauan dan kemusnahan umat manusia. Maka dari sudut inilah kita mengenal kesakralan teater dan kekuasaan mutlak seorang penulis.


Kata menjadi salah satu unsur dramatik


Beckett, Ionesco dan Adamov menyadari bahwa kata yang ada dalam karya tradisional dapat diungkapkan kembali dengan cara berbeda. Hal ini mengharuskan teater dikembalikan pada akarnya, yaitu dengan cara memperlakukannya lebih spektakuler dan mujarab yang keduanya sangat berhubungan dengan “rasa”. Mengapa harus terjadi perubahan ? Kata telah kehilangan fungsi pilihan yang seharusnya ada dalam dunianya. Kata telah  turun nilai dan kemungkinannya. Ionesco mengatakan bahwa dunia tater adalah bahasa : kata-kata, akting, obyek-obyek pentas, bloking, semuanya merupakan bentuk ekspresi dan tanda. Untuk itulah seorang dramawan haruslah seorang semiolog, seniman penanda. ( lihat Theatre of  Derision p 203): Ia mem”benda”kan ketakutan, meng”hidup”kan perlengkapan pentas, meng”konkrit”kan simbol-simbol melalui kata yang divisualkan melalui gestur, gerak berpindah, pantomim ( Artaud ).


Dengan mengembalikan pada fungsi awalnya, kata menjadi bahasa yang memiliki perspektif lebih luas. Ia tidak lagi sekedar alat untuk berbicara tetapi berkomunikasi. Pada saat dunia pentas hadir secara utuh melalui dialog, maka dialog bukanlah menjadi salah satu unsur dramatik. Dialog menjadi teater itu sendiri. Gerak berpindah, gestur, suara, objek, kata mengisi dunia fisik pentas dan divisualkan dengan gaya “sensibilite histrionique” (berlebihan/artifisial). Melalui imajinasi penonton, keduanya dilakukan bersamaan untuk menghasilkan “dunia ciptaan” yang otonom dan sekaligus memiliki bentuk yang plastis dan berirama.


Tiga tahapan kata dalam karya-karya baru:


  1. Kata yang bermakna lugas:  Kata apa yang diucapkan
  2. Kata figuratif: Apa yang sebenarnya diucapkan. Suasana dihadirkan.
  3. Kata significatif: Bagaimana kata diucapkan. Memerlukan penjiwaan dan konflik.


Contoh: “ Lho, engkau lagi” (Menunggu Godot) 


  1. Tahapan 1 : Kalimat ini bermakna tentang pertemuan dua orang sahabat atau teman lama.
  2. Tahapan 2 : Suasana kerinduan, kebosanan, tidak terduga. Semua bisa masuk tergantung pada tahapan ketiga.
  3. Tahapan 3 : Diucapkan dengan cara yang lesu, kurang gairah, acuh tak acuh, dan sebagainya.


Dialog dan dinamikanya


Dialog telah mengalami pemotongan semena-mena. Pemakaiannya saling berbeda antar pengarang dengan gaya ekspresi masing-masing. 


Ciri khas karya Beckett: Menunggu Godot


Dalam rangka menyampaikan pandangannya tentang kondisi kemanusiaan, kita bisa amati bahwa melalui novel dan dramanya ia selalu menggunakan gambaran yang sama tentang tema, karakter dan teknik. Pertama, karyanya selalu memiliki nada yang sama yaitu perasaan tertekan yang dialami manusia karena memikirkan kegagalan terus-menerus. Hal ini diakibatkan  dunia yang tak menentu, statis dibayangi oleh suasana keraguan. Suasana ini menghadirkan tingkah laku tokoh yang cenderung bersikap diam. Mereka duduk dan jongkok bahkan jika mereka bergerakpun selalu dilakukan perlahan tak bersemangat. Posisi akting ini selalu dilakukan setiap aktor. Misal Gogo.


Kedua, figur sentral biasanya tokoh anti-hero. Dari sudut pandang Beckett, manusia merupakan anti tesa dari tokoh agung seperti tergambar dalam tokoh tragedi. Klasik. Mereka bukan tokoh cerdik, atau makhluk yang tegar, tapi makhluk yang cacat dan lemah. Misal Gogo yang mempunyai kesulitan dengan kakinya, Didi yang sulit buang air kecil dan Pozzo serta Lucky yang menjadi bisu tuli. Penggambaran karakter ini dapat ditelusuri dengan gambaran seting yang tak utuh misal : hanya terdapat satu jalan dan satu pohon. 


Suasana setting seperti inilah, tokoh-tokoh Beckett mencari makna keberadaannya. Tentu saja pencarian ini selalui menemui kegagalan karena mereka tidak yakin apa yang mereka cari. Tanpa diketahui mengapa Gogo dan Didi berusaha bertemu dengan Godot yang belum mereka kenal dan yang akhirnya tak pernah datang. Karakter seperti ini adalah wujud dari kecemasan yang mengharuskan mereka mencari seseorang untuk meminta bantuan sehingga menghilangkan keraguan dan kegagalan.


Tinjauan Filsafat Menunggu Godot ( Genesis of Waiting for Godot )


Beberapa komentar mendudukkan karya-karya Ionesco dan Beckett sebagai karya peralihan dari makna sosiologi ke metafisik. Masalah  yang ada dalam teater absurd, Menunggu Godot termasuk di dalamnya, adalah masalah yang sangat mendasar. Manusia itu sendiri merupakan ciptaan yang absurd, dan usahanya untuk menjalankan ambisinya terhadap dunia ini juga merupakan cara yang sama absurdnya. 


Sehingga problem mendasar bagi dramawan absurd adalah problem manusia itu sendiri yaitu the problem of the nature of man dan posisinya dalam jagad besar. Problem tentang “ada” merupakan masalah metafisik. Dan untuk memahaminya kita bisa berpaling pada faham eksistensialisme.Bahwa keberadaan individual lebih penting daripada akal pikirannya sendiri, bagi akal pikiran manusia menjadi pusat keterlibatan dan mengembangkan kepentingan/keutamaan obyek, dalam hal ini obyek dari pikiran. Inilah kesimpulan pemikiran Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi.


Anggapan ini membantu pemahaman Waiting for Godot. Titik tekan eksistensialisme, berdasarkan eksistensi, adalah konkret dan individual. Dimana keadaan ini muncul, maka hal itu benar-benar ada. Ada berarti meruang. Meruang memiliki dua aspek penting yaitu lokasi fisik: wadah itu sendiri dan tempat dimana wadah itu berada, dan juga lokasi sosial: hubungan sosial dan tempat yang bernilai utuh. Apabila ruang ini tak ada maka tak akan ada keberadaan. Tentu saja kita dapat menghubungkan antara gagasan ini dengan Waiting for Godot.


Tekstur Abstrak dan Ritmis


  1. Sama dengan komposisi musik modern : irama dengan pause, senyap  bahasa senyap.
  2. Tempo cepat lambat : pertengkaran, suara ribut.
  3. Cahaya gelap terang : untuk menekankan peristiwa = berfungsi sama seperti dialog.
  4. Bahasa kata berganti dengan bahasa cahaya.


Irama:


  1. Ukuran waktu
  2. Gerakan berturut-turut secara teratur
  3. Alunan yang tercipta oleh kalimat juga berimbang.


Tempo:


  1. Waktu, masa
  2. Ketika, saat
  3. Kesempatan


Tema cerita:


  1. Keterasingan
  2. Penderitaan dan kecemasan
  3. Absurditas.


Tulisan ini disarikan dari tulisan berjudul sama yang ditulis oleh Prof Hj Dr Yudi Aryani, MA (guru besar teater ISI Yogyakarta).

Ads