Makan Sushi Sambil Akting Ala Choki Lumban Gaol (Catatan dari Pentas Teater Jerit) -->
close
Pojok Seni
07 July 2021, 7/07/2021 05:27:00 PM WIB
Terbaru 2021-07-07T10:27:42Z
SeniteaterUlasan

Makan Sushi Sambil Akting Ala Choki Lumban Gaol (Catatan dari Pentas Teater Jerit)

Advertisement
Foto 1: Salah satu adegan Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Drama Tanda Tanya karya Irwan Jamal, sutradara Choki Lumban Gaol (Foto: Aenigma)
Salah satu adegan Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Drama Tanda Tanya karya Irwan Jamal, sutradara Choki Lumban Gaol (Foto: Aenigma)

Oleh: Arung Wardhana Ellhafifie


Peristiwa di antara Realitas, Penonton, dan Naskah


Saya ingin membuka tulisan ini dari pernyataannya Shomit Mitter (peneliti), yang juga dibahas oleh Yudiaryani (Profesor ISI Yogyakarta); di mana saya juga menyadari betapa sulitnya memerankan orang lain dengan melakukan peniruan (mimesis). Menjadi karakter seseorang dibutuhkan banyak pendekatan, khususnya akal kita untuk mengolah pengalaman-pengalaman dalam proses penokohan tersebut.


The principal problems in the art of characterization occur, however, when features in roles are not as easy to locate within the usually more limited world of the actor. The task of the director is then to generate those experiences in workshop so that they may subsequently be used in performance. Here the cerebral approach founders as it cannot reasonably create and then construe as real what it does not already know in some measure (Shomit Mitter: Systems of Rehearsal Stanislavsky, Brecht, Grotowski and Brook. London dan New York, 1992, 16).


Mitter menggarisbawahi masalah utama dalam seni karakterisasi terjadi pada saat fitur dalam peran yang tidak mudah ditemukan dalam dunia aktor. Saya melihat bahwa setiap aktor memiliki keterbatasan kinerja agar ‘menjadi’ ke dalam karakter yang diinginkan naskah. Karena itu diperlukan tugas sutradara melakukan praktik kerja berupa beberapa lokakarya, ceramah-ceramah, meng-input data, dan penelitian, serta latihan penyutradaraan lainnya sehuhubungan dengan peran yang hendak dipanggungkan. 


Hal di atas berkaitan dengan lakon Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Drama Tanda Tanya karya Irwan Jamal yang disutradarai Choki Lumban Gaol pada Festival Teater Jakarta 2017 (kota administrasi Jakarta Timur), di PPSB (Pusat Penelitian Seni Budaya)  Satpel Jakarta Timur, Jalan Haji Naman, Pondok Kelapa, tampak terlihat dalam kinerjanya mengolah banyak hal agar pengalaman-pengalaman tokoh bisa dimiliki dengan mudah oleh pemainnya tentang; cemoohan, gugup, kocak, tidak percaya diri maupun ketakutan dalam pentas berikutnya di atas panggung.


Naskah tersebut di atas panggung adalah peristiwa di mana penonton awam ingin terjadinya sebuah realitas (rahasia). Bagaimana realitas sebelum pertunjukan bisa berlangsung dan penonton mendapatkan pengetahuan di balik panggung. Ini menurut saya yang harus menjadi catatan penting berkaitan dengan pengalaman tokoh; seni berfungsi dalam satu ekosistem hari ini. Bagaimana ruang penonton bisa mampu mencerna dengan baik peristiwa panggung sesungguhnya. Saya pun beranggapan fitur dalam peran yang disebut Mitter merupakan bagian khusus yang memperkuat karakteristik (bisa berupa alat, nama, maupun hal apa pun) tokoh. Ada pembacaan saya yang mungkin tidak sependapat dengan penonton lainnya. Terutama ketika melihat realitas panggung tidak seperti yang saya saksikan dalam pemanggungan tersebut; yang mungkin istilahnya membuka ruang belakang panggung. 


Setting bisa mungkin berupa bocoran-bocoran di balik panggung yang sering kali penonton awam tidak bersentuhan langsung. Bisa juga mungkin penonton merupakan bagian tim produksi; yang istilahnya teater ‘tanpa penonton’ karena penonton merupakan bagian dari aktor. Di mana nantinya batasan antara realitas, penonton, dan naskah pun menjadi lebur jadi kesatuan yang utuh dan holistik (menyeluruh). 


Taufik Darwis (salah seorang juri) berargumentasi bahwa set sangat fungsional sekalipun mungkin akan berbeda dalam kepalanya. Baginya set yang dibangun Sanggar Teater Jerit tidak hanya sekadar menjadi dekorasi. Namun ada material yang tidak ada hubungannya; bisa mungkin menurut saya materi set yang dihadirkan juga cukup berbeda dengan peristiwa dalam naskah. Hanya saja keaktoran punya proses yang sama dalam keseharian, yang sudah saya sebutkan di atas kinerja sutradara cukup berhasil dalam mengombinasikan antara pengalaman tokoh dengan pemain. Sehingga sangat kuat kinerja atau dorongan teaterikal penyutradaraan yang sadar dari awal hingga akhir. Sementara Dindon WS (juri lainnya) berargumentasi bahwa menafsir dirinya sendiri sebagai tubuh pertama, gak ada hubungannya dengan kostum yang mana kita melihat gambar di bawah mengenakan kebudayaan Jepang. Ia menekankan pada keluguan manusia yang konyol, koplak, dan tinggal dipotret maupun diolah dengan akal para pemainnya dan sutradara. Naskah yang konyol, menggelikan juga dimiliki setiap pemain besar sekalipun pada realitasnya ketika gagal pada pertunjukan sebelumnya sehingga kita melihat secara awam ternyata di teater seperti itu; yang akan tampak luar biasa dalam memerankan orang lain.

 

Totalitas pemainnya tentu saja tidak terlepas dalam kerja sutradara pada lokakaryanya; sehingga tubuh aktor, vokal, dan emosi juga terjaga ketat sepanjang permainan. Hanya saja masalahnya adalah apakah tubuh organik aktor harus dibuang atau ditanggalkan dalam naskah ini? Pertanyaan yang memang tidak membutuhkan jawaban karena kita bisa menginterpretasinya masing-masing. Di hadapan saya, yang tampak adalah justru kebalikannya di mana tubuh kedua sangat dominan. Panggung sudah terjadi. Padahal mungkin bisa lebih terbuka kalau diciptakan bahwa panggung belum terjadi, yang terjadi merupakan peristiwa di balik panggungnya yang mana ‘bukan akting’ menjadi fokus utama yang mungkin saya bisa lihat realitasnya. 


Sayangnya saya sudah melihat pertunjukan sedang berlangsung, meskipun hasratnya ingin tidak melihat pertunjukan berlangsung. Ini ditandai hilangnya rasa khawatir atau traumatis masa lalu. Padahal kata kunci dari teks ini adalah traumatis, naskah drama dan penonton; yang mungkin akan lebih memberikan knowledge bagi penonton awam dalam dramatiknya atau logika penonton ruang benar-benar dipindahkan ke belakang panggung dengan segala macam problem dapur pertunjukan sehingga antara orang awam, pengetahuan, drama, penonton, teks pun menjadi penyatuan yang melebur dan berbaur erat ‘tanpa penonton’ maupun ‘tanpa aktor’ (ketika aktor sekaligus menjadi penonton mereka).


Peristiwa di antara Realitas, Logika, dan Realisme Hari Ini


Jika di Barat kita mengacu pada gaya realisme Stanislavksi dengan metode keaktorannya yang banyak diadopsi atau cukup memengaruhi beberapa komunitas teater di dunia, khususnya di Indonesia. Sekalipun di kita banyak komunitas teater yang tumbuh dengan gaya asli kulturalnya sesuai budayanya masing-masing. Gaya realisme Stanislavski hanya dijadikan sebagai pedoman kerja, terutama pada prinsip-prinsip realisme. Di mana realisme juga mengacu pada peristiwa realitas (kenyataan yang dihadapi), logika (sesuai dengan daya pikir), dan elemen-elemen riil itu sendiri (situasi, kondisi, kultural, dan sebab akibat). 


The impulse to realism in Stanislavsky then seems not entirely to have been based on a desire to imitate reality. Rather, it seems to be born of an over whelming urge to engender nature, to be get an order of reality which we cannot possess in life, a reality which we desire precisely because it is ‘other’. In all great art the life of the human spirit is realized, but in the theatre a person can become that reality, literally embody it (ibid., 8). 


Berbicara kenyataan, berdasarkan kutipan Mitter yang menganggap bahwa Stanislavski sendiri mendorong gaya realismenya tidak sepenuhnya didasarkan pada keinginan untuk meniru kenyataan. Bisa mungkin realitas yang dialami dan dihadapi sebagai potret kerja dalam seni pertunjukannya. Stanislavski dicurigai keadaan itu karena didesak pada sebuah proses alamiah, tanpa dibuat-buat, tidak jauh bertentangan dengan realitas sesungguhnya dalam kehidupan; yang juga tidak dialami olehnya. Kadang kala Mitter juga menganggap bahwa kita terlalu berkeinginan, berharap, bermimpi untuk menjadi dan mengalami kenyataan yang dialami orang lain sekalipun nantinya kita belum tentu memiliki perasaan yang sama dengan yang diinginkannya. 


Saya pun juga menduga barangkali hasrat yang timbul (cukup berlebihan) dan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan (yang juga tipis peluangnya bisa terjadi). Maka memungkinkan seni sebagai dalih atau cara mewujudkan kehidupan yang kita lihat semua, tetapi teater tidak sepenuhnya bisa mewujudkan. Mitter pun menduga kemungkinan teater hanya harfiahnya kita dapat mewujudkannya. Begitu juga dengan pertunjukan Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Drama Tanda Tanya; yang mungkin sangat sulit ketika dituntut pada hubungan peristiwa realitas, logika, dan gaya realisme hari ini. Sebab peniruan hanyalah keinginan untuk sama, agar nantinya dipandang serupa, dorongan agar sampai kepada wujud yang diinginkan pengarangnya. 


Namun ada yang mungkin dilupakan bahwa hari ini; pemalsuan dan peniruan terhadap alam sudah cukup banyak sehingga perlunya dipikirkan sikap kontekstual dalam menyikapi naskah-naskah privat yang ditulis Jamal; yang akhirnya sifatnya menjadi publik. Maka tujuan utamanya adalah teks-teks memang untuk publik agar bisa merasakan pengalaman-pengalaman puitis yang konyol dari kegelian dari para pelaku drama atau pekerja seni.


Situasi dan  kondisi yang ditulis Jamal semacam peristiwa yang ‘cacat’ karena tidak pernah terpetakan sebelumnya, di luar dugaan peristiwa cemoohan, maupun tindakan-tindakan fisik yang diluapkan terhadap aktor-aktornya. Traumatis pun lahir dan tumbuh berkembang. Karenanya saya juga melihat sutradara bekerja dengan pembangunan karakter melalui; mengolah impuls-impuls fisik, yang juga diterapkan oleh Stanislavski dalam satu pertunjukan tertentu. Bisa dilihat dari kutipan Mitter; 


In Building a Character,Tortsov’s physical impulses to character occur in spite of him self and he finds them difficult to analyse. Of course, not knowing the reason for an effect does not normally prevent people from using those results. But as Stanislavsky had resolved in his system to rid acting of accident, it seemed improper to include within it the agency of a construct that was still incomprehensible (ibid., 18). 


Satu-satunya kekuatan yang bisa saya yakinkan pada pemanggungan itu adalah aktor-aktornya yang padu antara satu dengan lainnya. Sekalipun saya masih melihat problematika sutradara dalam menginterpretasi yang ditekankan Diding Zeta (salah satu juri lainnya) sangatlah penting sehingga tidak mengalami ‘kecelakaan’. Namun Stanislavski pernah juga melakukan hal demikian menurut Mitter yang sebenarnya hasil pertunjukannya sulit dianalisis. Hanya saja hasil yang terjadi di atas panggung masih saja bisa dipahami sebagai pertunjukan dengan impuls-impuls yang menarik, barangkali juga Choki dalam penerapan metodenya terhadap aktor memasuki ruang konstruksi yang masih juga tidak dapat dipahami oleh aktor, sehingga keterpaduan aktor bisa menutup kebolongan dari interpretasi tersebut.


Pertunjukan Sanggar Teater Jerit sebenarnya memberikan lorong pada realisme hari ini di Jakarta; di mana tubuh urban, dialog dalam aksentuasi kultural yang bercampur, dan tujuan kebudayaan dalam berkesenian lewat simbolik-simbolik yang dihadirkan cukup memberikan peluang bagaimana menemukan realisme di era ini khas kultural orang-orang urban. Bagaimana orang Batak memperlakukan tubuhnya di ekosistem masyarakat Jakarta, begitu juga dengan orang Sunda, maupun keturunan etnis Cina yang menjadi satu kesatuan dalam satu komunitas Sanggar Teater Jerit. 


Hadirnya banyak informasi yang ditangkap dengan cepat, gelombang teknologi yang terus bermunculan membuka ruang tubuh kita dengan pertanyaan-pertanyaan realisme yang relevan dengan hari ini. Ketika ekosistem bergeser, apakah realisme dalam realitas juga tidak ikut bergeser, kalau sedang bergeser secara beriringan, apa yang mesti dilakukannya? Apakah realisme hari ini tetap hadir sebagai prinsip realis atau pemahaman realis selama ini; yang juga dipahami dengan banyak ragam, atau apakah memang realisme didudukkan atau diredefinisi atau mengkritisi gaya realis sebelumnya dengan menempatkan banyak elemen di era postmodern ini. Jika kita terus melacaknya, maka tentu akan kita temukan fungsi aktor di era postmodern ini yang cukup longgar dalam pemahaman saya melihat apa yang dilakukan beberapa aktor Sanggar Teater Jerit di atas panggung. 


Karenanya Choki  Gaol perlu mempersiapkan strategi apa yang tepat dalam menjawab sensibilitas aktornya terhadap urbanisme yang dikonstruksi dalam tubuhnya; seperti apa yang dilakukan Stanislavski dalam penerapan metodenya yang tak kunjung usai karena dinamisnya beberapa aktor yang dihadapinya dalam melihat kebudayaan Rusia pada saat itu.


Thus Stanislavsky exploits the ambiguity set up by the symbiotic relationship between objectives and justification by semantically consolidating the conclusion that the actor now is the character. If an enquiry in to the given circumstances of the drama is an exercise in making the facts of the play familiar enough to seem personal, an analysis of objectives is an exercise in making the logic of the play (literally) one’s own. Systems of rehearsal (ibid., 11). 


Mitter menjelaskan dalam menghadapi kemampuan bisnis akting aktornya dalam kebudayaan Rusia, Stanislavski melakukan cara dengan mengeksploitasi ambiguitas yang ditetapkan oleh hubungan simbiotik antara tujuan dan pembenaran.  Karena itu, Choki nampak perlu memikirkan strategi yang tepat dalam hubungan tujuan, kebenaran, estetika, dan etika kesenian dalam menghadapi kemampuan aktornya yang majemuk. 


Para pemain Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Drama Tanda Tanya karya Irwan Jamal yang cukup stabil mengembangkan permainannya (Foto: Aenigma)
Para pemain Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Drama Tanda Tanya karya Irwan Jamal yang cukup stabil mengembangkan permainannya (Foto: Aenigma)

Sementara Stanislavski sendiri secara semantik akhirnya mengonsolidasikan simpulan bahwa aktor yang dihadapinya saat itu adalah karakter. Barangkali juga kalau kita cukup peka melihat kemampuan aktor dalam satu komunitas, kemungkinan aktor bukanlah karakter yang dipahami Stanislavski, bisa mungkin aktor adalah peneliti, antropolog, atau etnografer. Tergantung kebutuhan Choki dalam mencapai visi dan misi berkeseniannya. Penyelesaian akhirnya sehubungan dengan perumusan dan kesimpulan tersebut, akan berkenaan dengan konsepsi dalam metodenya. Karena sudah disimpulkan oleh Stanislavski bahwa aktor adalah karakter, tentu saja berkaitan dengan sistem penyelidikan terhadap keadaan  dari sebuah drama adalah latihan dalam membuat fakta-fakta yang ditangkap dari kesan pribadi, analisis, maupun logika secara harfiah. Sistem pun akan bermacam-macam dalam perumusan tujuan dan kebenaran yang sudah disebutkan di atas.


Kemungkinan Eksperimen ‘Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Drama Tanda Tanya’


Jika merujuk pada Mitter dalam penelitiannya, sehubungan dengan reposisi realisme hari ini yang selalu dipertanyakan dan kemungkinan besar Choki bisa melakukan kinerja eksperimen dalam memperlakukan prinsip realisme ke era postmodern. Sebab Stanislavski pun sepanjang perjalanannya bukan tanpa problematika bersama aktor-aktornya. Ia dan komunitas teaternya juga berada dalam titik pengalaman paling menjenuhkan beriringan dengan dinamika zaman. Maka sebagian aktor pun coba melakukan eksperimen tanpa kepemimpinan Stanislavski yang juga mengalami kemustahilan dalam pengembangan rumusan metodenya.


Stanislavsky did not live to see his work on Tartuffe completed. The actors put on the play but abandoned the experimental work which, without Stanislavsky’s leadership, seemed impossible to develop. What in Stanislavsky remained incomplete and therefore in effective was refined later by a number of directors. One of those involved in the process of severing the physical method from Stanislavsky’s ironically far more widely admired cerebral approach was Peter Brook (ibid., 20). 


Apa yang dilakukan oleh Stanislavski berdasarkan penelitian Mitter dianggap sebagian orang pada capaian puncaknya juga dinilai tidak lengkap dan tidak efektif pada zamannya, karenanya kemudian disempurnakan oleh banyak sutradara Eropa dan Amerika, termasuk salah satunya adalah Peter Brook yang mana banyak pemain yang menerapkan metode Stanislavksi memutuskan bergabung dengannya, yang semula dengan pendekatan Stanislavski lebih menekankan pada otak, yang kemudian pada metodenya Brook menekankan pada fisik yang berangkat dari pendekatan otak Stanislavski, dan ironisnya ternyata konsepsi berpikir Brook lebih dikagumi oleh aktor-aktor yang selama itu melakukan pendekatan Stanislavski. Justru saya cenderung membaca dalam konsepsi berpikir Choki melihat kemampuan aktornya di atas panggung sangat menawarkan dalam perpaduan secara kultural yang dikombinasikan dengan fisik, otak, pengetahuan, urban, elektronik, dan media pada perspektif hari ini.

 

Adegan lainnya dalam lakon Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Drama Tanda Tanya yang dipanggungkan Sanggar Teater Jerit (Foto: Aenigma).
Adegan lainnya dalam lakon Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Drama Tanda Tanya yang dipanggungkan Sanggar Teater Jerit (Foto: Aenigma).

Pergeseran atau dinamika di atas juga bisa terjadi pada sebuah realitas setiap aktor yang bermain kurang baik sebelumnya, dan kemudian di panggung berikutnya akan jauh lebih bermain baik dan mengagumkan penontonnya. Tentu hal ini dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya yang memberikan justifikasi sudut pandang dalam segala macam perasaan. Bagaimana membangun ketakutan aktor atas cemoohan, penonton yang sangat kritis dan seolah-olah “yang paling benar” sesungguhnya. Perasaan ini yang terputus dari awal karena terlihat pertunjukan yang bisa dinikmati dalam kategori ‘aman’. Konsepsi Stanislavski yang ragu dengan gaya asli kultural komunitas Sanggar Teater Jerit yang sudah saya paparkan sebelumnya, terputus juga pada realitas sehari-hari khas urban dari gagasan yang dimainkan, maupun dari cemoohan yang dihadirkan ke atas panggung. 


Realisme konsep Stanislavski khas Rusia, diolah menjadi urbanisme oleh Choki yang dekat dengan sehari-hari akan terpisah ruangnya ketika dibangun dengan cara hyper/berlebihan karena sutradara seperti kehilangan keasliannya atau memang tidak memiliki kekhasannya sama sekali. Apakah organisme tubuh pertama kita tidak lebih menarik ketimbang menjadi tubuh kedua akan ketakutan gagal yang kurang terbangun, disebabkan kekhawatiran sikap dalam melakukan eksperimen untuk mengolah reproduksi realitas. Sekalipun banyak sekali corong-corong yang bisa dijadikan sebagai transportasi menuju hasil eksperimen yang menurut saya akan lebih menarik dalam praktik kerja kesenian, bukan hanya sekadar hasil yang terjadi di atas panggung antara ‘aman’ dan ‘tidak aman’. 


Secara menyeluruh ini berkaitan dengan pola permainan yang terlihat monoton (realitasnya) ketika teks sudah ditajamkan konfliknya otomatis energi ketakutan manusia/aktor semakin dekat. Sementara naskah drama belum terjadi. Justru bagi saya ada kemungkinan eksperimen dalam kerangka realisme yang menarik ketika dihantar dengan lampu neon di atas panggung sebagai gimmick pertunjukan, kenapa tidak dimulai dari peristiwa semacam itu, yang menghubungkan antara musikal dan lampu dalam pernyataan teks. Maksud saya adalah tata cahaya dan musik menjadi dari realitas panggung, yang bisa mungkin bahwa itu sebagai konsepsi peristiwa di balik panggung, dengan menggunakan ‘bukan akting’ sebagai alatnya agar penonton meyakini bahwa yang terjadi di atas panggung memang belum terjadi. 


Jadi lampu neon memang sebagai rehearsal sebelum pertunjukan berlangsung, sangat memungkinkan langkah-langkah eksperimen yang bisa membuka ruang pengetahuan pada penonton pada pertunjukan nantinya. Sah saja setiap pemain digali dan diolah cara-cara menghadapi ketakutan atau kecemasan dalam bermain, sehingga antara batas ‘bukan akting’ dan ‘akting’ benar-benar terjadi, bagaimana strategi menjadikan ‘bukan akting’ dalam ‘akting’ yang juga memberikan saya dorongan untuk menuliskan metode yang diterapkan Sanggar Teater Jerit jika hal demikian benar-benar terjadi.

Ads