Catatan Rudolf Puspa: Monolog TEDxUNDIP -->
close
Pojok Seni
01 June 2021, 6/01/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-06-01T00:00:00Z
Opini

Catatan Rudolf Puspa: Monolog TEDxUNDIP

Advertisement


Sekitar November 2020 mendapat undangan dari mahasiswa UNDIP yang menjadi panitia TEDxUNDIP 2,0 untuk menjadi salah satu pembicara dari tiga orang di acara yang akan dilaksanakan 14 Maret 2021 di Semarang secara virtual.  Makalah yang harus aku siapkan mengenai perasaan dalam umur lansia dengan judul  “ keuntungan menjadi bergairah.”  Alasan mereka memilih saya adalah sebagai penghormatan atas semangat yang tiada padam hingga masuk lingkaran lansia tetap berkesenian bahkan mau bersusah payah bekerjasama dengan anak2 muda. Saya diminta kirim video pembacaan artikel ke panitia.


Selanjutnya mereka meminta saya ke Semarang untuk merekam pembacaan artikelku yang lebih mirip dengan sebuah pertunjukkan monolog karena saya bicara lepas naskah. Saya pun segera ke Semarang ditemani Pascal Vivaldi, kameramen dari teater keliling agar bisa ikut urun rembug bila diperlukan. 


Singkat cerita Januari 2021 pagi naik kereta api ke Semarang tiba sore langsung dibawa ke sebuah café terbuka di pinggir kota Ungaran untuk langsung syuting. Ketika ditanya letih atau nggak tentu semangat berteater saya menyatakan tak pernah ada kata lelah untuk berkesenian. Segera bersiap diri memakai wardrobe yang sudah aku bawa dan berbincang dengan sutradara dan segera syuting dilakukan. 


Darah merah seluruh tubuhku tersirap ketika melihat para pengunjung café berhamburan menuju lokasi syuting untuk melihat pertunjukkan teater; kata mereka. Naluri ke aktoranku meledak dan benarlah aku bukan baca makalah tapi berubah menjadi sebuah monolog. Inilah selama pandemi untuk pertama kali pentas dengan dihadiri penonton langsung. Sangat bergairah hingga tiga kameramen serta sutradaranya dan juga panitia2 tampak turut bergairah bahkan ketua panitia; Fikannisa Deaputri loncat2 penuh semangat. Fika sejak SMAN 53 Jakarta anggota ekskul teater yang aku latih dan masuk ke teater keliling juga. Kulihat dua pendampingku sejak jemput ke stasiun yakni Daffa dan Emeralda menyaksikan begitu antusias semakin menambah gairah permainanku.


Akhirnya makalah yang direncanakan 15 menit bertambah durasi hingga 45 menit dan panitia tetap tak akan memotong dan akan diputar di puncak acara. Tentu saja artikel pendek ini ketika aku mainkan tertambah oleh improvisasi yang muncul dari dialog langsung dengan penonton. Gaya permainan ku tak bisa kubendung yakni suka berinteraksi secara langsung dengan penonton. Bukankah teater adalah dialog dari hati ke hati?


Sungguh bahagia sekali mendapat ruang teater ku kembali yang hampir setahun dibenamkan tamu yang datang tak diundang yakni Covid-19. Namun protokol kesehatan tetap berlangsung dengan tetap memakai face shield sepanjang berakting dan jaga jarak dengan penonton dengan ketat dijaga para satpam yang tadinya kebingungan mau melarang atau aaaah enak juga tontonan yang mereka mungkin tidak pernah saksikan. Entah bagaimana perasaan pemilik café yang mesti harus bertanggung jawab jika sampai terjadi klaster covid baru di café yang baru mereka buka.


Keesokan hari ditemani Fika  sang ketua dan satu panitia  berwisata dalam kota melihat2 keindahan dan tempat2 bersejarah. Berempat merasakan kebahagiaan yang sama atas “monolog” dadakkan kemarin sore.


Inilah artikel yang saya tulis dan kemudian berubah menjadi monolog. Jika aku telah terima rekaman videonya pasti akan aku bagi agar bisa ditonton teman2 di seluruh Indonesia.


Selamat membaca dan berikan tanggapannya.


KEUNTUNGAN MENJADI BERGAIRAH

Catatan Rudolf Puspa



Berita tanggal 16 Desember 2020 yang jadi viral tentang  Elena seorang wanita berumur 104 tahun setelah dirawat 14 hari di rumah sakit Gregorio Madrid Spanyol sembuh dari covid 19.  Tepuk tangan dokter dan perawat mengiringi sang nenek yang meninggalkan rumah sakit dengan senyum bahagianya. Mujizat? Anugerah? Tuhan Maha Besar.


Membaca berita tentang nenek Elena mengusik pikiran dan perasaanku yang juga sudah memasuki usia senja. Umur di atas kepala tujuh yang sedang kujalani saat ini kusadari sebagai sebuah perjalanan bonus kehidupan dari sang Maha Kuasa yang sering sukar dipahami secara logika duniawi. Perjalanan panjang yang jika disusun sebagai sebuah biografi tak akan cukup hanya dengan 3-4 lembar kertas kwarto yang memang oleh pemberi waktu dibatasi 15-18 menit bicara di kegiatan yang hebat tentang esensi matahari secara harfiah maupun kiasan.


Tidak dipungkiri bahwa usia senja akan selalu mendapat ruang utama yang disebut kesepian. Ruang yang tidak menyediakan teman untuk bicara secara harfiah dimana kita bisa bertatap muka saling dengar dan melihat. Alasan utama yang terhormat adalah anak, menantu, keluarga punya kesibukan menyelamatkan hidupnya.  Namun di ruang sepi itu ternyata tidak selalu gelap gulita  karena tersedia jendela, pintu dan atap yang bisa dibuka sehingga mata dan telinga masih diberi kesempatan melihat dan mendengar suara, gerak, warna, hembusan angin yang menyapa dan siap sedia menjadi teman atau lawan berkomunikasi. Keindahan alam serta lalu lalang manusia dengan beraneka laku dramatisnya menyulap ruang sepi ini menjadi sebuah taman kehidupan yang menyediakan jawaban dari apa yang dibutuhkan manusia lanjut usia. Pertanyaannya mau dan mampukah membuka? Atau pasrah dan menerima menjadi pesakitan sambil menunggu hari kepulangannya. Bersyukurlah bila masih ingat untuk berdoa.


Seperti umumnya manusia biasa ketika usia senja tiba suara parau, tubuh gemetar, jantung berdetak sumbang, pandangan mata kabur mendesak mendorong ke sudut2 ruang gelap hingga ketakutan tumbuh dan semakin hari semakin menguat bahkan hingga melumpuhkan logika berpikir serta emosi yang gaduh oleh perasaan takut akan datangnya kematian. Yang selama ini dengan gagah yakin dan percaya bahwa mati pasti akan tiba dan tak perlu dipermasalahkan tiba2 kini justru kematian menjadi hantu yang menakutkan. Perasaan ngeri merasa sendiri, merasa tak berguna, merasa tak punya apa dan siapa sehingga bagai berada ditengah kuburan yang dikelilingi hantu2 yang siap menerkam merobek2 jiwa yang kehilangan kekuatannya.


Setiap manusia diberikan kekuatan cadangan bagai ban serep untuk dipergunakan ketika malapetaka datang dan seluruh kekuatan hidup sehari2 habis. Cuma memang kadang ada yang ingat dan kadang tidak.  Awalnya saya tidak tahu apa sebabnya saya bisa ingat ban serep yang tersimpan rapi. Dengan demikian saya menyadari masih memiliki daya hidup untuk menggerakkan tubuh dengan segala perangkatnya dan bergerak membuka pintu, jendela, atap ruang sepi. Sinar mentari, angin, menerobos masuk ruang dan memutar balikkan ketakutan menjadi daya hidup dan aku merasa lahir kembali. Saya tidak sendirian karena saya melihat hamparan taman, ladang, sawah, hutan, gedung2 pencakar langit, lalu lintas padat saling berebutan untuk sampai tujuan, pameran seni rupa, pertunjukkan kesenian dalam segala bentuknya, anak2 bermain riang gembira, pelajar menuntut ilmu, kampus2 siang malam sibuk menganalisa, observasi, bekerja keras untuk tidak beku oleh perubahan2 yang terus menerus terjadi di dunia ini.


Aku bergerak menari, bernyanyi, bergumam hingga berteriak menyapa, mendekap kesegaran yang dibawa angin dan sinar mentari. Melalui jendela dan pintu serta atap yang selalu kutemui adalah anak-anak, remaja, muda mudi yang melambaikan tangan memanggilku. Merekalah tunas2 bangsa yang akan terus lahir dan membutuhkan usapan, bisikan, dorongan untuk melangkah kedepan mencapai apa yang sering orang katakan mimpi atau cita2 yang ditemui secara merdeka. Mereka hanya bergerak mengikuti rasa, emosi yang timbul yang tidak mau digurui atau diarahkan apalagi ditentukan. Semua itu adalah bentuk penjajahan manusia atas manusia. Mereka butuh untuk mendapat ruang merdeka belajar, bekerja hingga mendapatkan ruang yang dipilih dirinya bagi dirinya serta lingkungannya.


Kucubit kulitku, kugelitikin tubuhku, kutampar wajah  dan masih terasa sakit, geli dan perih yang membuatku sadar bahwa usia senja bukan berupa seonggok daging yang renta tak punya daya; namun akan menjadi daya hidup yang justru menjadi tongkat ajaib bagi anak cucu hingga cicit dalam membentuk diri mereka bergelora penuh gairah hidup bagi diri dan sesamanya bukan saja lokal, nasional namun menembus masuk ke dunia luas untuk berenang di samudra penuh ombak besar, terbang menembus awan tebal serta berjibaku ke dalam hutan belantara dan menjadi sang juara. 


Sejarah panjang kesenimanan yang telah mengalir sejak 1966 hingga kini adalah cermin dahsyat yang memperlihatkan sebuah perjuangan hidup dari panggung ke panggung di kota besar, kecil hingga desa yang terpencil di Indonesia dan 11 negara. Bukan hanya pertunjukkan namun juga kegiatan bengkel latihan yang bukan sekedar melatih berteater namun lebih jauh adalah justru memberi ruang inovasi anak2 muda hingga menemukan kepribadian dan karakternya.   Keringat dingin, hangat hingga panas membakar semangat bergerak sehingga tak ingat lagi lelah, sakit, miskin, cibiran, sanjungan dalam kegiatan menggelorakan hidup melalui kesenian apapun dan khusus  bagiku teater. 


Gairah. Ya gairah yang tumbuh dari dalam lubuk hati yang tidak mengenal waktu dan ruang untuk terus bekerja bahkan jauh dari pemikiran finansiil. Gairah adalah terjemahan dari passion. Ketika kita sudah memiliki gairah akan sesuatu maka akan mendapatkan rasa keberuntungannya dari gairah tersebut. Tak pelak lagi ruang sepi justru membukakan mata telinga hatiku hingga aku pun merasakan sebagai kelahiran keduaku dalam gairah yang tidak berubah namun justru makin menguat. Manusia pada hakikatnya selalu membutuhkan teman maupun lawan untuk berdialog, debat bahkan tidak menutup kemungkinan bertinju di atas ring, yang justru menjadi batu asah yang akan menyegarkan gairah. Salah satu keberuntungan dalam gairah adalah terciptanya rasa bersama dalam kebersamaan. Berlawanan ide, karakter, laku dramatik bukan merupakan sikap untuk bermusuhan yang hanya akan melahirkan “kekerasan” dalam berbagai bentuknya yang semakin jauh dari perdamaian hidup sejahtera.


Kutemukan kegairahan hidup selama bergaul dengan anak,cucu, cicit di arena teater berpuluh tahun sudah. Kudapatkan pelajaran yang sangat berharga dan layak dibagikan adalah ketika senja mulai kumasuki adalah dalam hal kemampuan untuk menyingkirkan ego yang tidak mau mendengar dan hanya mau didengar seolah-olah umur yang lebih tua adalah yang paling benar dan harus dituruti. Perasaan inilah yang akan membuat usia senja terjerembab pada rasa kecewa, merasa disendirikan, dijauhkan bahkan lebih menyayat yakni dibuang. Padahal semua itu terjadi bukan karena mereka namun justru dari dalam diri si lansia. Memang diakui bahwa sering umur senja sangat sulit menerima gairah anak muda yang terlihat jauh berbeda dengan gairah si senja usia. Jadi tak heran jika terjadi jurang yang dalam antara si muda dengan si senja. Karena keras kepala si senja maka si muda mengalir mencari jalannya sendiri dan itu bisa diartikan  merupakan cara terbaik dalam menghormati karakter si senja. Manusia sering lupa bahwa hidup memiliki apa yang disebut irama. Irama adalah perubahan dari saat ke saat dari awal hingga akhir. Masa lalu kita bukan milik anak kini walau tidak salah diajak melihat dan merdeka untuk dipakai sebagai batu loncatan atau tidak. Yang pasti harus kita pahami mereka berlari kedepan bukan mundur kebelakang.


Dari uraian di atas kita bisa memahami kenapa yang namanya regenerasi di berbagai bidang begitu sulit dilakukan. Sepertinya ada halangan yang sangat mendasar yakni budaya adat zaman raja2 masa silam bahwa yang namanya raja itu seumur hidup dan penggantinya adalah putra mahkota.  Jika mengarah kesana maka cukup terasa menghardik pemikiran kita untuk menyadari bahwa rentang waktu zaman raja2 silam hingga hari ini sudah lebih dari seratus tahun. Usia kemerdekaan bangsa saja sudah 75 tahun hingga 2020 ini. Oleh karenanya kita perlu keberanian membedah masa lalu yang masih belum terlalu lama pemerintahan masa lalu kita yang berkuasa 21 tahun dan yang terdekat 32 tahun. Adakah benih benih feodalisme yang melahirkan raja dan putra mahkota yang istilah kerennya KKN?   Perlu ruang tersendiri untuk bincang masalah ini.


Yang kini aku rasakan justru sangat berbahagia ketika gairah berkesenian ku tetap mampu terselenggara bersama anak cucu cicit. Ada terpancar sangat kuat daya hidup bersama anak bangsa yang sedang tertatih, melata, merangkak, menggapai dan bergerak di tanah bebas lepas merdeka dan bergandeng erat mencapai masing2 apa yang menjadi mimpinya. Bukan sebagai pelaksana kemauan orang tua mereka. Itu semua aku syukuri karena selama berkarya sebagai sutradara aku memilih apa yang sering disebut sebagai teater aktor. Barangkali ini akibat positif aku terlahir sebagai anak yang pemalu sehingga selalu lebih nyaman berada dibalik layar. Karenanya aku sangat minim bicara walau sudah sebagai sutradara; lebih banyak mendengar dan melihat lalu memberikan ruang dan waktu para pemain dan penata artistik berkarya yang tentu pada akhirnya sutradara yang menjadi penentu. Kusadari merangkai ciptaan para pemain dan juga penata artistik ternyata tidak mudah sehingga memerlukan polesan, potong tambah  sana sini sehingga menjadi satu rangkaian yang tepat menjadi satu bentuk pertunjukkan yang komunikatif indah dan penuh daya sentuhan dari hati ke hati. 


Gairah tidak mengenal waktu dan ruang serta menembus rasa takut tidak memiliki kenikmatan benda2 duniawi maka tidak ada alasan apapun untuk mengatakan bahwa gairah juga tak mengenal usia senja. Ia akan terus menggema menggerakkan daya hidup yang justru membawa sinar terang serta angin segar yang terus merasuki jiwa yang terpancar lewat senyum damai dan membawa kasih bagi sesamanya tanpa kecuali.  Bahkan keberagaman yang merupakan bentuk kebangsaan kita yang tak ada duanya di dunia akan mudah menyatu dalam diri setiap anak bangsa  menjadi sebuah kekuatan yang akan mampu hadir sebagai bangsa besar yang mengayomi dunia. Jika kita semua bisa menyadari hal ini tentulah akan semakin terhindar pertikaian akibat perbedaan suku, ras, adat budaya, agama hingga pilihan politik. 


Senja bukan merupakan ruang sepi yang mutlak yang membuat lemas hingga sakit yang justru membebani keluarga. Jika awalnya aku juga tak menemukan kata yang tepat untuk menjawabnya maka tanggal 26 Desember 2016 di panggung teater Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki aku berdiri dan menerima penghargaan dari Federasi Teater Indonesia sebagai “Abdi abadi”. Sebuah penghargaan yang untuk pertama kali ada dan ini merupakan sejarah yang menyadarkan bahwa seluruh kehidupanku didukung sebuah daya hidup yang bernama pengabdian. Barangkali aku merasa lebih tepat memahami istilah abdi yang tentu bisa disamakan dengan passion atau gairah. Abdi mengandung sifat bijak, arif, merangkul, mengasihi, yang bisa mengasah sifat ego untuk tidak menjadi penghalang dalam bekerjasama. Semakin bersyukur karena melalui teater aktor aku dilatih memiliki mata telinga yang peka yang ujungnya adalah kemampuan berbagi dan peduli. Hal ini sebenarnya sudah terangkum pada sila ke empat kita yang kesohor yang memang digali dari bumi pertiwi yakni musyawarah. Menyedihkan sekali bila sila ke empat ini semakin menipis sehingga yang terjadi justru saling kuat2an bahkan dalam fisik dan jumlah. Aku percaya kesenian apapun terutama yang telah hidup mengakar di bumi pertiwi bila diberi ruang dan waktu akan mengembalikan marwah bangsa yakni cinta tanah cinta air cinta tanah air.


Pengabdian adalah suara, gerak gairahku yang membawa keberuntungan untuk tetap berdaya hidup dalam menerima serta menjalani usia senja bahkan semakin menuju malam  terang benderang bagiku, bagi anda, bagi kita semua.


Salam jabat bahagia gairah senja.


Jakarta 17 Desember 2020

Rudolf Puspa

Sutradara teater keliling.

Ads