Analisa Semantik dalam Kata "Kolintang" -->
close
Pojok Seni
23 June 2021, 6/23/2021 07:00:00 AM WIB
Terbaru 2021-06-23T00:00:00Z
BeritaBudayaMusik

Analisa Semantik dalam Kata "Kolintang"

Advertisement
Asal kata Kolintang


Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Filsafat - Estetika)


Pelacakan atas sebuah istilah tidak bisa terlepas dari istilah awalnya. Hal penting ini akan berkaitan erat dengan apa yang dikenal umum dalam ilmu linguistik yakni: semantik. Semantik, juga disebut semiotika, semiologi adalah studi ilmiah tentang makna dalam bahasa alamiah dan bahasa buatan. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani ‘sēmainō’ (“berarti” atau “menandakan” atau diartikan sebagai tanda atau lambang (sign). (https://www.britannica.com/science/semantics). Semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik bersama dengan hal-hal yang ditandainya. Jadi semantik adalah ilmu tentang makna atau tentang arti. Dalam analisis semantik, setiap pengguna sebuah kata, harus menyadari keunikan sebuah kata, karena tentu saja sebuah kata memiliki hubungan erat dengan masalah budaya. 


Pengertian dasar di atas, penulis mencoba melihat semantik itu dan mengaitkannya dengan istilah penting yakni: ‘Kolintang’. ‘Kolintang’ adalah jenis alat musik tradisional dari Minahasa-Sulawesi Utara. Terkait hal itu, diskusi alot seputar penggunaan istilah kolintang, sangat perlu ditelaah dari segi semantiknya. Berbagai konsep bisa kita dapatkan ketika kita berupaya untuk memahami akar yang paling mendasar tentang asal muasal nama ‘kolintang’ itu. 


Sebagaimana yang umum dikenal, ‘kolintang’ yang sangat dikenal orang kurun 10 tahun terakhir, adalah ‘kolintang’ kayu, namun sebagaimana penulis pernah menuliskannya dalam ‘Estetika Kolintang 2019’, bahwa, jauh sebelum ‘kolintang’ kayu ini menunjuk pada kayu, Remy Sylado pernah mengadakan penelitian tentang asal muasal alat ‘kolintang’ ini. Dia berpendapat bahwa kolintang tua, yang asli Minahasa, yang berbentuk fisik seperti bonang tersebut, sejatinya sebangun dengan instrumen totobuang di Maluku serta talempoang di Minangkabau. Beliau menegaskan bahwa jika mengacu pada ciri material, bunyi ‘ang’ pada kolintang sangat erat terkait dengan akhir setiap entri ‘ang’ pada bonang, ‘ang’ pada talempoang, ‘ang’ pada totobuang, dan tentu saja ‘ang’ pada kolintang. (Sylado dalam Loho 2017: 2). Uraiannya ini menunjuk pada kolintang gong-logam, sebentuk gong-gong kecil yang terbuat dari bahan logam.


Penemuan Sylado ini tentu bukan tanpa dasar. Sumber yang kami temukan berkaitan dengan sejarah alat ‘kolintang’ gong-logam itu, telah ada dalam sejarah musik tradisi di  di Asia Tenggara. Hal itu tampak lewat artikel yang dicatat oleh Usopay Hamdag Cadar, “The Maranao Kolintang Music: An Analysis of The Instruments” in Musical Organization, Ethnologies and Historical Document. (University of Washington, Seattle, WA, 1971). Kemudian artikel berjudul: Some Principles of Formal Variation in The Kolintang Musik of the Maranao, karya Hamdag bersama dengan Robert Garfias. Kajian ini menulis tentang kolintang, sama seperti istilah kolintang kayu namun kolintang yang mereka kaji adalah kolintang gong-logam.


Dari fakta ini, apa yang perlu diluruskan? Pertama, bahwa kolintang Minahasa adalah kolintang kayu, jika memang sudah sedemikian mutlak, bisa diterima sebagaimana adanya alat itu. Kedua, kendati itu sudah menunjuk mutlak kepada kolintang kayu, namun tetap saja tidak bisa dilepaskan dari ‘kolintang’ yang sedari awalnya, menunjuk pada kolintang gong-logam. Maka didalamnya tersirat sebuah perspektif bahwa sejarah istilah ‘kolintang’, tidak bisa lepas dari sejarah lahirnya sebuah alat yang paling tua itu (yakni kolintang gong-logam). Dan atas kenyataan yang sudah menyejarah ini, tak bisa dielakkan pula sebuah kenyataan mutlak bahwa ‘kolintang’ yang ada saat ini, yang menunjuk kepada alat yang berbahan dasar kayu, tidak bisa dipisahkan dari akarnya yang paling mendasar yakni kolintang gong-logam. 


Upaya untuk mempermanenkan istilah kolintang yang mutlak harus menunjuk ke bahan dasar kayu, atas cara tertentu, bukan merupakan upaya untuk mencatatkannya secara runut, runtut dan terstruktur. Mengapa demikian? Karena kita bisa membayangkan bahwa kolintang dari sisi media/alat yang ada sekarang, yang sudah berwujud kayu, yang disebut kolintang Minahasa itu, tetap melekat dengan ketat istilah kolintang gong-logam, yang secara historis telah ada sedari awal munculnya yakni kolintang itu. 


Dari uraian-uraian ini akan semakin menegaskan bahwa kajian penulis sebelumnya yang juga sudah dipublikasikan di laman pojokseni.com dengan judul: Pertama, “Nilai makna dan Prospek Musik Kolintang”, kedua, “Historis Musik Kolintang: Quo Vadis?”, dan ketiga, “Historisitas musik Kolintang & Sumber Pengetahuan”, yang menjelaskan dengan runut perlunya uraian historisitas yang benar dan jelas, masih tetap belum menemukan jalannya. Mengapa demikian? Karena dalam upaya untuk menemukan sejarah, kita tidak bisa lepas dari penelusuran dan analisa semantik. Maka dengan demikian, analisa semantik dalam kata kolintang, tentu tidak bisa lepas dari budaya setempat, dalam hal ini konteks Minahasa, tapi makna dan arti dari kolintang dalam pengertian kolintang kayu Minahasa, tak lepas dari istilah kolintang gong-atau logam itu.


Bahkan secara leksikal, kolintang bermakna sesuai dengan referennya, yakni sesuai dengan sejarah awal munculnya yakni kolintang yang menunjuk pada kolintang gong-logam. Dan kata kolintang yang dikenakan untuk kolintangkayu, adalah kata yang sudah pernah ada dan telah digunakan, namun dipasangkan pada kolintang gong-logam. Dari fakta ini, apa sebetulnya arti pentingnya untuk menguraikan sebuah makna dari satu atau lebih kata, yakni mengetahui, dari mana asalnya, dari mana katanya, dan apa makna dari kata yang kita gunakan itu.


Asal kata Kolintang


Maka dengan demikian, upaya untuk meluruskan pengertian kolintang dari perspektif semantik ini, tidak kemudian menjadi sebuah kemutlakkan. Apa yang diupayakan selama ini, tentu untuk ukuran tertentu sudah baik dan pasti akan mengabdi pada sebuah kebenaran. Namun kendati itu akan mengabdi kepada kebenaran, namun fondasi untuk bisa semakin mengarah kepada kebenaran sebuah kata, harus ditelaah dari sisi semantik, sehingga tujuan utamanya bisa tercapai. Historisitas kendati telah mulai dibangun sebagaimana mestinya, harus pula ditelaah dari perspektif sedari awal munculnya sebuah historisitas itu.

Ads