Estetika Kaum Tertindas Augusto Boal: Kritik Atas Estetika Aristoteles -->
close
Adhyra Irianto
02 April 2021, 4/02/2021 01:30:00 AM WIB
Terbaru 2021-06-05T06:21:41Z
ArtikelBeritaEstetika

Estetika Kaum Tertindas Augusto Boal: Kritik Atas Estetika Aristoteles

Advertisement
Estetika Kaum Tertindas Augusto Boal
Estetika Kaum Tertindas Augusto Boal

PojokSeni.com - Nama Augusto Boal yang meninggal tahun 2009 lalu akan selalu dikaitkan dengan "estetika kaum tertindas". Estetika kaum tertindas merupakan gagasan Boal yang menjadi salah satu pemikiran penting beraliran Marxis di dunia teater, setelah pemikiran Bertold Bretch. Tentunya, PojokSeni sudah mengulas tentang Augusto Boal dalam rangkaian artikel dengan tajuk "Menuju Post Realis". Khusus untuk pembahasan Augusto Boal, bisa Anda baca lebih lengkap di artikel ini: Teater Kaum Tertindas dan Augusto Boal.


Selain disebut sebagai "teater kaum tertindas", gagasan Boal juga kerap disebut teater legislatif (wakil rakyat) yang ditujukan untuk mendobrak tatanan "eksekutif" yang selama ini menjadi kabut yang menutupi panggung teater. Boal menghadirkan penonton sebagai subjek seni, alih-alih objek. Hal itu ditujukan agar keterikatan penonton menjadikan semua tindakan penonton menjadi emansipatoris. 


Tidak ada "ceramah" dari pertunjukan, yang memaksa penonton untuk merenung. Penonton juga dianggap sebagai seseorang yang punya pemikiran sendiri, sehingga panggung teater menjadi medan dialektis antara penonton dengan pemain. Bahkan, bisa dikatakan sekat antara penonton dan pemain sudah menghilang, alias tanpa jarak lagi.


Pertanyaannya, kenapa Boal membuat itu? Apa yang mendasari estetika kaum tertindas ini? Ternyata, semuanya berawal dari tanggapan kritis Boal terhadap estetika Aristoteles.


Boal dengan tegas menyatakan bahwa gagasan Brecht tidak berhasil menggugat estetika Aristoteles dan tidak mampu menghilangkan dominasi estetika Aristoteles pada pertunjukan teater yang digarapnya. Bahkan, teater Brechtian hanya dikesankan untuk menggugat teater realisme yang hadir di abad ke-19. Padahal, menurut Boal, realisme yang dihadirkan dalam teater Aristotelian bukanlah realisme dan naturalisme yang hadir belakangan. Realisme teater Aristotelian hanya berupa "realisme kodrati", sehingga bentuknya tidak seperti corak Realisme modern. Mimetik dalam realisme modern adalah "meniru atau menyalin penampakan kehidupan nyata" sedangkan dalam teater Aristotelian, bentuknya lebih ke penciptaan hakikat dari kenyataan sesungguhnya.


Hal itu didasari bahwa teater Boal memang ditujukan sebagai teater dengan fungsi korektif. Teater ditujukan sebagai penyucian jiwa, sehingga perlu meluruskan hal yang dianggap salah. Sehingga Aristoteles mencoba menggerakkan pemikiran penontonnya untuk bergerak ke arah kesempurnaan. Jadinya, manusia yang dihadirkan Aristoteles adalah "rekaan manusia sempurna" yang justru tidak ada di kehidupan yang nyata.


Kaitan Politik dan Teater Aristoteles Menurut Boal


Boal melihat Aristoteles menjadikan hubungan antar seni sebagai sebuah hirearki totalitas. Jadinya, ada satu seni yang lebih memimpin di antara semua cabang seni. Misalnya, "seni berperang" memimpin cabang-cabang seni seperti seni berkuda, seni memanah, seni persenjataan, seni beladiri, dan sebagainya. Maka, dengan logika tersebut, akan ada satu seni yang paling tinggi di antara semua seni. Dan hebatnya, menurut tafsiran Boal, dari semua seni, seni yang paling tinggi dalam hierarki tersebut adalah "seni berpolitik". 


Politik menjadi pimpinan yang memengaruhi semua cabang seni. Begitu premis pemikiran Aristoteles menurut tafsiran Augusto Boal. Penyebabnya adalah, menurut Aristoteles, kodrat yang tertinggi adalah polis (keadilan). Ditambah lagi dengan perumusan keadilan Aristoteles yang menjadi pondasi "berpolitik" dunia saat ini. Hal itu didasari dari kritik Aristoteles terhadap tatanan masyarakat Yunani saat itu, yang dianggapnya tidak mengarah ke keadilan.


Hal itu yang menjadikan konsepsi teater Aristotelian sangat kuat dipengaruhi politik. Tujuan hidup adalah menjadi lebih baik, berkeadilan, dan sesuai hukum. Tentunya, hal itu juga menjadi tujuan dari politik menurut Aristoteles. Karena itu, ketaatan hukum menjadi pondasi utama gagasan teater Aristotelian. Masalahnya, hukum yang menjadi pondasi tersebut masih mengecualikan para budak dan perempuan, yang sejak awal tidak memiliki tempat di hukum.


Lalu, bagaimana dengan katarsis yang menjadi tujuan dari teater Aristotelian? Penyucian jiwa yang dimaksud itu seperti apa? Boal punya tafsiran yang unik mengenai ini. Menurutnya, penyucian jiwa yang dimaksud menjadikan jiwa penonton sebagai jiwa yang patuh pada aturan. Malahan, hal itu mampu membuat perlawanan terhadap sesuatu yang "sudah diatur" akan berakibat hal yang buruk. Moral diberi standar tertentu, begitu juga adab, iman, dan ketaqwaan. Semua penonton harus memiliki ketaatan terhadap hukum yang berlaku, baik itu hukum pemerintah, maupun hukum adat, hukum agama, dan sebagainya. Tidak ada ruang untuk pertanyaan, apalagi sanggahan. Hal ini disebut Boal sebagai "sistem koersif tragedi Aristoteles".


Setidaknya hingga abad ke-20, estetika Aristoteles masih menjadi corak utama semua produk seni. Bahkan sampai industri seni populer sekalipun, seperti Holywood misalnya. Namun, tentunya ada batas yang tidak bisa disentuh oleh gagasan Aristoteles. Salah satunya adalah daerah, atau tempat yang sedang dalam revolusi. Maka di tempat seperti itu, gagasan Aristoteles tidak mampu melakukan "penyucian jiwa", karena untuk menuju "penyucian jiwa" bukan dengan mengikuti aturan yang berlaku, melainkan mendobraknya. Tak ada sandaran terhadap katarsis, maka hal yang akan "dimurnikan" justru adalah revolusi itu sendiri.


Namun, apa yang dibawa Brecth menurut Boal masih belum cukup mampu untuk menandingi atau melawan dominasi estetika Aristoteles yang pro-konstitusi tersebut. Karena, Brechtian masih menjadikan penonton sebagai objek, dan seniman sebagai subjeknya. Dengan demikian, tampak seperti guru dan murid, ketimbang diskusi. Tampak seperti seseorang yang sedang mengajari orang lainnya. Hal itu membuat proses diskusi yang dialektik menjadi hilang.


Demikian sedikit ulasan terkait gagasan Augusto Boal yang menjadi "antithesis" dari gagasan estetika Aristotelian. Dalam artikel berikutnya, Pojokseni akan mengulas lebih dalam tentang "Peran Penonton sebagai Subjek".

Ads