Estetika Feminis: Nilai Estetis dan Masalah Gender -->
close
Pojok Seni
05 March 2021, 3/05/2021 03:23:00 AM WIB
Terbaru 2021-06-05T06:23:07Z
ArtikelBeritaEstetika

Estetika Feminis: Nilai Estetis dan Masalah Gender

Advertisement

pojokseni.com - Sebagai gelombang pemikiran yang mencakup banyak hal, feminisme tidak mungkin tidak dilibatkan dalam pembicaraan estetika. Pemikiran feminisme bahkan merasuk hingga ke sendi-sendi ilmu pengetahuan, seni (dan kritik seni), hingga filsafat. 


Dengan berlandas pada masalah gender, memungkinkan gelombang pemikiran feminisme menjadi begitu kompleks. Mulai dari urusan dapur, ranjang, sampai semua medan yang bisa dijelajahi oleh "perempuan". Berikutnya, feminisme tidak hanya menjadi satu gerakan pembuktian diri, atau perlawanan. Tapi, lebih dari itu, feminisme sudah menjelma menjadi sebuah gelombang pemikiran dan gerakan sosio-politik.


Sedangkan untuk pria, diskursus yang ditawarkan nyatanya bukan "khusus lelaki". Tetapi, lebih merupakan sebuah diskursus yang universal dan netral. Hanya saja, kerap kali lawan bicaranya maupun tujuan pembicaraannya memang sesama lelaki. Meski demikian, diskursus demikian tidak membawa-bawa gender.


Hal tersebut seperti dinukil oleh Martin Suryajaya dari Korsmeyer (2004:3) bahwa pembicaraan perkara yang universal dan netral tersebut melupakan konsepsi gender atau masalah gender. Apalagi, manusia akan mendapatkan masalah yang berbeda tergantung dengan gendernya. Nah, masalah gender inilah yang dipertegas dalam gelombang pemikiran feminisme.


Dalam kadar yang tepat, estetika justru mengarah ke perempuan. Perempuan disebutkan sebagai objek estetis, pusat keindahan, perpaduan antara proporsi dengan ketenangan, kuat sekaligus rapuh, bisa membius siapapun dan memberikan rasa senang. Hal itu yang justru dianggap oleh sebagian perempuan sebagai satu kesalahan. 


Sebab, perempuan bisa juga memosisikan dirinya sebagai subjek,dan laki-laki sebagai objeknya. Laki-laki juga bisa dikagumi, dan mampu membius kaum wanita. Selanjutnya, keindahan yang identik dengan perempuan disebut pula keindahan feminin, sedangkan keindahan yang identik dengan lelaki disebut sebagai keindahan maskulin.


Namun selanjutnya, keindahan feminin juga dimiliki oleh lelaki. Serta keindahan maskulin juga dimiliki oleh perempuan. Maka kita mulai terbiasa dengan lelaki yang membicarakan perempuan sebagai objek estetisnya dan perempuan yang membicarakan lelaki sebagai objek estetisnya. Meski demikian, harus tetap diakui bahwa domain pemikiran estetis masih tetap didominasi lelaki.


Feminisme hadir karena perempuan kerap direpresi oleh sejarah. Baik sosio-politik, seni, budaya hingga estetika. Inilah yang dilawan oleh para feminis itu. Estetikawan feminis juga mencoba melawan represi estetik tersebut dan mencoba memutar kondisi.


Harus diakui, di bidang seni era klasik hingga modern, khususnya seni rupa, teater dan sastra, peran wanita cukup kecil, kalau tidak dikatakan langka. Meski demikian, objek estetisnya justru lebih banyak perempuan. Pelukis lebih banyak melukis tubuh perempuan, teater memanggungkan kisah perempuan dan sastra menjadikan perempuan sebagai objek sastrawi.


Gerakan feminisme memunculkan ciri khas terbaru. Bila sebelumnya, lelaki menuliskan atau menggambarkan perempuan dalam citraan lelaki. Maka setelah itu baik lelaki (fiksi/tokoh) maupun perempuan akan menulis dan menggambarkan perempuan dalam citraan perempuan. Hasilnya, gerakan ini justru membagi kekaryaan dalam gender; karya seni maskulin dan karya seni feminin.


Karya feminin lebih bersifat singularitas (alih-alih universialitas yang menjadi pretensi karya "laki-laki"). Hal itu ditujukan sebagai negasi antara karya seni feminin dengan karya seni "maskulin". Karya seni yang universal terkadang akan memberikan generalisasi pada semua hal, termasuk perempuan. Meski demikian, para pengkarya dan pemikir feminis selalu berpendapat bahwa "perempuan tidak pernah umum." 


Perempuan yang sabar di satu tempat, dengan perempuan yang sabar di tempat yang lain akan jauh berbeda. Begitu pula perempuan yang lembut di suatu pulau dengan perempuan yang lembut di pulau yang lain. Hal itulah yang menjadi dasar pemikiran estetika feminin yang terus digaungkan bersama mengalirnya gelombang pemikiran feminisme. 


Namun sisi egoisnya adalah, kaum feminis entah sadar atau tak disengaja seakan-akan memberi negasi untuk pembicaraan terkait perempuan. Seakan-akan, apa yang diungkapkan oleh lelaki, baik itu dalam ilmu pengetahuan maupun seni, akan selalu keliru dalam menggambarkan perempuan. Maka bagi mereka, hanya perempuan yang bisa membicarakan perempuan. Mudah-mudahan saja tidak, karena bagian terakhir ini hanya sekedar asumsi belaka.

Ads