Furor Poeticus: Kegilaan Puitis yang Merasuki Penyair Sebelum Membuat Karya Indah -->
close
Pojok Seni
10 February 2021, 2/10/2021 11:38:00 PM WIB
Terbaru 2021-02-10T16:38:31Z
SastraUlasan

Furor Poeticus: Kegilaan Puitis yang Merasuki Penyair Sebelum Membuat Karya Indah

Advertisement

pojokseni.com -Bagaimana cara membuat puisi? Darimana ilham seorang penyair membuat puisi yang indah? Di era modern memang disepakati bahwa kesusasteraan adalah kemampuan seseorang menguasai teknik dan keahlian berbahasa. Tentunya, hal ini disebabkan pula karena media dari sastra adalah bahasa.


Dari definisi modern tersebut memang mengarahkan bahwa sastra (juga seni lainnya) merupakan karya seni yang berdasar pada pemikiran yang logis, perhitungan yang jeli dan perhatian terhadap detail-detail tertentu. 


Meski demikian, kenapa masih banyak ditemukan penyair yang "menceracau" misalnya. Sastra dianggap sebagai sebuah karya yang berdasar pada inspirasi non-rasional yang pada akhirnya semakin mengenyampingkan sastra dari seni itu sendiri, justru masuk dalam wacana-wacana yang lebih metafisik. Keagamaan, kepercayaan, tenaga dalam, roh dan sebagainya.


Ini mungkin menjadi sebuah paradoks, sebagaimana ditulis Vickers di tahun 2007. Namun ternyata, awalnya semua berasal dari Plato. Plato yang pertama mengungkapkan bahwa inspirasi dari karya seni, khususnya puisi, berasal dari bisikan roh nenek moyangnya. Maka seorang penyair yang kerasukan roh itu akan menulis sebuah puisi yang indah.


Awalnya, ketika agama-agama monoteis mulai lahir, maka pendapat Plato dianggap sebagai dongeng. Namun akhirnya pandangan Plato ditegaskan oleh seorang filsuf penganut monoteis, bernama Marsilio Ficino yang lahir di tahun 1433.


Ficino, Platonis Era Renaisans


Nama Ficino dikenal luas seluruh dunia pasca mendirikan Akademi Plato. Ia yang kemudian memperkuat gagasan estetika Plato.


Awalnya, ia mulai dari mempertegas bahwa bentuk dari karya seni (khususnya seni rupa) adalah keindahan tersebut. Jadi, bukanlah apa bahan yang digunakan, juga material dan teknis. 


Dimisalkan ada dua potong kayu jati yang kemudian dibuat menjadi kursi, sedangkan satu lagi dibuat menjadi patung kuda. Maka, hal yang membuat patung kuda menjadi karya seni sedangkan kursi menjadi benda fungsional tentulah bentuknya. Berarti kayu jati tadi bisa menjadi atau berwujud apapun, jadi bukan kayu jati yang menjadikan sesuatu itu bernilai seni atau bukan. 


Manusia, sebagai makhluk yang diberi pengetahuan berbahasa dan menganalisis sesuatu, adalah satu-satunya mahluk yang mampu menangkap nilai estetis dari karya seni. Sedangkan "makhluk lain" termasuk di dalamnya makhluk metafisik seperti roh dan setan, tidak bisa melakukan hal tersebut. 


Tapi, bagaimana dengan kerasukan roh seperti yang disampaikan Plato? Ficino menerangkan hal yang sama, hanya saja didasari dengan agama yang dianutnya. Inspirasi karya seni itu datang langsung dari Tuhan, maka inspirasi yang sejati juga datang dari Tuhan.  


Maka seniman adalah sosok manusia yang dianugerahi kemampuan untuk mengejawantahkan tanda-tanda dari Tuhan menjadi sebuah karya seni yang indah. Pengalaman estetik saat itu masih belum dikenal, justru yang dikenal oleh seniman adalah "pengalaman mistik".


Itulah yang kemudian disebut sebagai furor poeticus atau kegilaan puisi itu. Karya para seniman dulu menjadi dikenang secara abadi karena dibuat dengan landasan inspirasi dari Ilahi. Kemampuan mengartikulasikan inpirasi Tuhan inilah yang kemudian  dikembangkan dalam pandangan estetikawan berikutnya sebagai "ilham".


Konsep ini sebenarnya juga ditemukan di banyak daerah, sebagaimana konsep Prathiba dalam estetika India kuno. Pentingnya memiliki "ilham" inilah yang dianggap bakat seorang seniman, yang membedakannya dengan bakat lainnya.

Ads