Sekilas Tentang Teater Daerah di Bali -->
close
Pojok Seni
18 December 2020, 12/18/2020 11:43:00 PM WIB
Terbaru 2020-12-18T16:43:59Z
Seniteater

Sekilas Tentang Teater Daerah di Bali

Advertisement


pojokseni.com - Kehidupan kesenian di suatu daerah, khususnya kesenian tradisi, sangat erat hubungannya dengan kearifan lokal dan kebudayaan daerah tersebut. Salah satu daerah dengan adat budaya yang begitu kental di Indonesia adalah Provinsi Bali. Provinsi yang melingkupi satu pulau ini bahkan menjadi daya tarik bagi wisatawan asing ke Indonesia karena budayanya yang kental di samping pesona alamnya yang memukau.


Bisa dibilang bahwa kesenian di Bali sudah menjadi milik masyarakat setempat sepenuhnya. Kesenian telah mendapat tempat yang sangat baik di hati setiap masyarakatnya, bahkan sudah mendarah daging. Hal itu disebabkan oleh berhasilnya sinkretisme agama Hindu (dari Jawa) dengan unsur-unsur kepercayaan Bali itu sendiri. Hasilnya menjadi satu bentuk baru yang disebut Agama Hindu Dharma. Sementara itu, agama Hindu Jawa juga sudah merupakan sebuah sinkretisme antara agama Hindu dengan Budha. Maka kebudayaan Bali menghadirkan sesuatu yang unik dan orisinil.


Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat, bahwa dunia ini dulunya penuh dengan kehancuran dan marabahaya. Bahaya dan kehancuran tersebut dapat membahayakan kehidupan manusia. Berangkat dari premis tersebut, maka muncullah sejumlah upacara, atau hal-hal lain seperti mantra, doa, sesaji dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan untuk menghindari bencana, sehingga dilakukan rutin atau periodik.


Paduan Religi dengan Kesenian


Paduan antara unsur religi atau kepercayaan tersebut dengan kesenian sangat tampak pada tarian-tarian di Bali. Sebab, upacara-upacara yang dimaksud di atas dilakukan dengan disertai tari-tarian tertentu. Maka hadirlah sejumlah tarian yang bertujuan untuk menolak bala, atau tarian penolak wabah penyakit. Salah satu tarian yang terkenal dan ditujukan untuk penolak marabahaya adalah tari Sanghyang.


Nyaris semua tarian yang ditemukan di Bali (tari yang dimaksud adalah tari daerah) bersifat religius. Bahkan tarian yang sekular juga bersangkut-paut dengan religi. Berbagai jenis tarian Bali misalnya, akan membuat penarinya "kerasukan" (intrance). Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat, dewa-dewa yang tinggal di tempat yang disebut Ring Luwur nantinya akan turun apabila diundang oleh manusia. Undangan yang dimaksud berbentuk upacara, yang disertai tari-tarian tentunya. Dewa-dewa ini akan didampingi oleh Buta Kala, yang biasanya akan merasuk ke tubuh para penari. Selain Buta Kala, dewa dan bidadari (atau dewi) juga biasa merasuk ke tubuh penari.


Trance atau kemasukan ini ternyata sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Bali tersebut. Sebab, penari yang akhirnya trance tersebut menjadi personifikasi seorang dewa, atau dewi atau pula Buta Kala yang dipercaya menjadi sosok kunci mengusir malapetaka, atau wabah penyakit yang bisa menimpa masyarakat setempat. Namun di sini spirit dari teater hadir. Seorang penari menggunakan pakaian yang mentransformasikan dirinya menjadi sebuah "boneka" dengan pakaian berbentuk jubah gemetris, serta hiasan rambut. Teater tersebut menghadirkan representasi "jiwa bukan manusia" sedangkan manusia (pemeran) hanya meminjamkan "tubuhnya" untuk peran. Maka seorang aktor akan tampak menjadi boneka, sedangkan jiwanya adalah makhluk lain yang tentunya bukan dirinya, atau bukan miliknya. 


Teater Bali, Teater Murni


Ketika pertama kali teater hadir di muka bumi, maka tujuannya adalah untuk dewa atau tuhan. Karena itu, bentuk teater di awal mula kehadirannya adalah sebuah upacara keagamaan. Teater yang hadir di awal-awal juga menghadirkan nyanyian, tarian, cerita, dan sebagainya yang menjadikan tampilannya sederhana namun sangat murni. Nah, teater "murni" inilah yang tampak dalam teater daerah Bali.


Teater daerah Bali menghadirkan tari, nyanyi, musik, pantomime dan (bahkan) ada unsur-unsur teater seperti yang disepakati di Barat. Awalnya, teater ini menghadirkan kombinasi antara ketakutan dengan perspektif khayalan. Hasilnya, akan timbul kesadaran kita dalam bentuk sense, atau fisikal dalam melihat tanda, simbol, makna dan sebagainya yang dihadirkan lewat isyarat. Bahkan, tampilan lewat isyarat juga dianggap lebih mengena dan lebih kuat dibandingkan dengan kata-kata.


Berikutnya, teriakan dipadu dengan getaran dan gerakan tubuh yang ritmis nyatanya menjadi sebuah bentuk pembebasan atas ketidaksadaran yang berlaku otomatis. Berdasarkan itu, hadirlah sejumlah gestur dan mimik yang sangat kaya dan menghadirkan dampak yang sangat masif. Anda mungkin sering melihat bagaimana putaran mata yang begitu mekanis, ketegangan otot dengan gerakan kepala yang seperti stakato dan kerutan-kerutan di wajah dan bibir bukankah semuanya menghadirkan tanda yang begitu kuat?


Hasilnya, bukan hanya kata-kata verbal yang  membangkitkan kesadaran seseorang. Justru, seperti teater di Bali yang memberikan bahasa teatrikal yang begitu kuat. Maka benar bahwa bahasa bisa juga merupakan seluruh kumpulan gestur ritual. Dipadu dengan musikal yang sangat tepat menghadirkan sebuah pemikiran ke arah sistem yang begitu misterius. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa gestur, mimik dan ekspresi yang hadir tersebut berdasar dari impuls psikis yang tersembunyi. Impuls psikis yang kerap manusia ingin hadirkan sebelum kata-kata meluncur. Maka bahasa yang datang dari impuls psikis tersembunyi inilah yang mampu membawa para pemirsanya ke alam metafisik.


Maka tidak salah bila kita menyebut bahwa teater di Bali merupakan sebuah realisasi yang mengagumkan dari perlawanan pada bahasa. Mereka "menindas segala kemungkinan teradap perlindungan kata-kata" dan memungkinkan mereka untuk membawa tema-tema yang lebih abstrak dengan penerangan via bahasa teatrikal.


Bagaimana Antonin Artaut akhirnya melawan teater literer dengan frontal. Juga bagaimana seorang Eugene Ionesco juga mencoba menghancurkan atau menceraiberaikan bahasa dan sejumlah tokoh teater dunia akhirnya mengumumkan "pengembalian teater pada kemurniannya". Tapi ternyata, Bali sudah jauh lebih dulu melakukannya.


Karena itu, tokoh-tokoh teater dunia semacam Richard Schechner, Robert Marcell, dan sejumlah nama tokoh teater beken dunia lainnya akhirnya datang ke Bali dan menelitinya. Richard Schechner akhirnya menuliskan tentang Environtmental Teater sedankan Robert Marcell mencoba mengembangkan ide-ide berdasar dari Teater Bali di grup teaternya di Swiss.


Referensi: Dramaturgi (RMA Harymawan)

Ads