Persepsi Artistik Menyaksikan Pertunjukan Teater Secara Daring: Catatan Ringan Tentang Mencabik Pekik Sunyi -->
close
Pojok Seni
12 December 2020, 12/12/2020 11:19:00 PM WIB
Terbaru 2020-12-12T16:19:13Z
Artikelteater

Persepsi Artistik Menyaksikan Pertunjukan Teater Secara Daring: Catatan Ringan Tentang Mencabik Pekik Sunyi

Advertisement

pojokseni.com - Menyaksikan pertunjukan Mencabik Pekik Sunyi karya Muhammad Ibrahim Ilyas yang disutradari oleh Mahatma Muhammad oleh Komunitas Seni Nan Tumpah secara daring memberikan pengalaman baru bagi kami khususnya. Pertunjukan teater yang semestinya disaksikan secara langsung, sehingga tubuh mendapatkan interaksi langsung baik secara visual, rasa, pikiran maupun audio, namun kali ini harus disaksikan secara daring, alias lewat video yang disiarkan langsung. Tentu berbeda sekali pengalamannya dibandingkan ketika berada di gedung teater dengan segala respon psikologis dan fisiologis penonton di dalamnya.


Meski demikian, dengan segala macam kebiasaan baru yang belum selesai diadaptasikan pada penonton teater era teknologi ini, Mencabik Pekik Sunyi nyatanya telah menghadirkan banyak persepsi artistik yang baru. Sekilas tentang "Mencabik Pekik Sunyi", pertunjukan ini merupakan karya kolaborasi teater dengan seni rupa. Dua naskah karya Muhammad Ibrahim Ilyas yang menjadi titik konsentrasinya, Cabik dan Pekik Sunyi. 


Mahatma Muhammad (sutradara) merespon dalam bentuk pertunjukan oleh Komunitas Seni Nan Tumpah, sedangkan Kapten Moed (perupa) merespon dalam bentuk karya seni instalasi. Pertunjukan ini digelar pada tanggal 11 hingga 13 Desember 2020 di Galeri Taman Budaya Sumbar dan disiarkan secara daring.


Semua adegan bermula dengan seorang anak kecil, membawa boneka Mickey Mouse, dan berteriak sana-sini memanggil orang tuanya, teman-temannya sampai larut dalam kesendirian yang kelam dan sepi. Lalu, masuk empat orang dengan pakaian tidur, dan adegan bermula.


Jauh sebelum pertunjukan dimulakan, terlebih dulu sudah dipamerkan seni instalasi berbahan limbah kayu karya Khairul Mahmud (yang kemudian disebut Kapten Moed) bersama rekan-rekannya. Sayang sekali, karena jarak yang cukup jauh, kami memang hanya mampu untuk menyaksikan pertunjukan teater dan tidak bisa melihat pameran instalasi berbahan limbah kayu itu. 


Namun "pameran" instalasi berbahan limbah kayu nyatanya hadir pula di atas panggung sebagai set artistik panggung. Maka secara visual, ada paduan antara instalasi yang simbolik, permainan aktor yang menarik serta puisi-puisi yang berhamburan di atas panggung. Dan penonton tak bisa menyaksikannya secara terpisah, karena persepsi artistik akan melibatkan seluruh pengalaman kebertubuhan yang menyertainya. Mengutip pendapat Merleau-Ponty, bahwa semua karya seni "bekerja" seperti tubuh. Bekerja yang dimaksud adalah bekerja secara serentak dan beraturan dalam satu kesatuan, bukan secara atomistik.


Maka berangkat dari persepsi itu, premis yang muncul adalah bagaimana penonton musti melihat "Cabik", "Pekik Sunyi", "pertunjukan teater" dan "karya instalasi limbah kayu" tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh. (Mungkin bukan premis pertunjukan tersebut, melainkan premis tulisan ini)


Instalasi yang unik tersebut tidak bisa kita lihat berpisah dengan para aktornya, mereka telah melebur. Yah, hampir 1,5 jam pementasan diisi dengan peleburan-peleburan itu. Dialog saling-silang antar empat aktor, dua laki-laki dan dua orang perempuan memerankan sepasang suami istri, (seperti yang diungkapkan Mahatma Muhammad sebelumnya, pertunjukan ini memang salah satu eksperimen "putus-sambung" dari dua naskah). Tidak lupa pula kita berikan tepukan tangan bergemuruh untuk kinerja penata cahaya yang menyirami pertunjukan ini. Semuanya menghadirkan satu kesatuan yang bersetangkup secara visual, dan tidak bisa dipisah-pisahkan oleh mata kita (meski sesekali dipisahkan oleh "mata" kamera).


Sedangkan puisi yang dibaluri musik dan suara-suara yang membangun imaji dihadirkan pula melengkapi tampilan visual tadi. Tidak hanya musik, tapi "bunyi" yang sangat baik menghadir-bangunkan imaji di kepala penonton. Saya kira, Mahatma sedang setuju untuk menangkal cara kebanyakan orang yang melihat karya seni dengan persepsi objektif (karya seni sebagai objek). Maka karya yang dihadirkannya menunjukkan hal sebaliknya, bahwa persepsi indrawi (baik visual maupun audio) yang menubuh dan memberikan pengalaman kebertubuhan bagi penontonnya. 


Sebuah "benda" yang "berbentuk" tempat tidur, meja, kursi dan kaca cermin karya Kapten Moed dan kawan-kawan, tidak bisa dilihat sebagai karya instalasi lagi. Mereka telah menjadi "benda hidup" apabila dilihat sebagai komponen dalam komposisi "Mencabik Pekik Sunyi". Puisi-puisi yang bertebaran di mana-mana, (hasil "mencabik" dua naskah) telah menjadi "benda hidup" ketika berbaur dengan instalasi tersebut, didukung dengan pencahayaan dan sejumlah "efek" di latar belakang. 


Konsepsi ini mengingatkan kita pada tubuh kita sendiri. Bahwa jantung, telinga, otak dan mata kita juga bekerja secara serentak, termasuk ketika mengapresiasi sebuah karya seni. Ketika tubuh dijadikan objek, maka jantung, telinga, otak dan mata tak akan berbeda (secara ontologis) dari pisau belati (meminjam istilah band Serious) bahwa mereka sama-sama objek, sekaligus benda mati. Karena karya seni direduksi menjadi objek, sebagaimana pisau belati atau korek api misalnya.


Sayangnya, yah benar-benar disayangkan, bahwa Indonesia memang belum siap untuk teknologi 4.0 atau malah yang lebih tinggi lagi, khususnya untuk Sumatera. Terlalu banyak buffering karena laju internet tidak stabil mau tidak mau menyebabkan gangguan teknis untuk menyaksikan pertunjukan ini. Hasilnya berdampak pada pertunjukan Mencabik Pekik Sunyi ini yang hampir 15 menit di antaranya terganggu oleh buffering.


Tapi, pertunjukan ini menunjukkan kesetiaan Mahatma dan teman-teman dari Komunitas Seni Nan Tumpah pada pengalaman panggung di tengah pandemi ini. Lebih dari itu, pertunjukan ini tetap mengajak kita untuk menyaksikan "bersamanya" alih-alih "menyaksikannya". Meski "keintiman" antara penonton dan karya seni menjadi terpisah (dipisahkan oleh teknologi) namun metafor yang disajikan tetap sampai ke penontonnya. 


Dan pada akhirnya, saya kira seniman teater akan tetap berharap pandemi ini cepat berakhir, agar teater tetap menjadi dunia yang ditubuhkan, di atas panggung dan disajikan langsung pada penontonnya.

Ads