Kapitalisme Mutakhir dan Konsumerisme Tanda yang Mencengkeram Anak Muda -->
close
Pojok Seni
10 December 2020, 12/10/2020 09:42:00 PM WIB
Terbaru 2020-12-10T14:42:06Z
ArtikelBerita

Kapitalisme Mutakhir dan Konsumerisme Tanda yang Mencengkeram Anak Muda

Advertisement

pojokseni.com - Tanpa disadari, dunia telah menjadi medan simulasi tanpa henti. Logika hasrat (desire) manusia telah jauh mengalahkan logika kebutuhan (need). Dan sialnya, di era kekinian korban konsumerisme simbol berdasar logika hasrat ini adalah anak-anak usia sekolah, alias remaja.


Pernah mencoba menengok kembali sekolah menengah atas? Lihatlah bahwa gedung sekolah sudah bertransformasi menjadi gedung pameran. Mulai dari pameran laptop merek kenamaan yang dibeli seharga puluhan juta untuk bermain game daring. Sampai deretan sepeda motor dan mobil mewah yang harganya sampai ratusan juta.


Apakah tidak mungkin melihat seorang siswa SMA yang usianya bahkan belum genap 17 tahun mengendarai motor Kawasaki Ninja menuju ke sekolahnya? Tidak ada yang tidak mungkin di era yang disebut eranya teknologi dan kemajuan industri ini.


Indonesia merupakan bangsa pasar, namun bukan produsennya. Indonesia berubah menjadi bangsa para konsumen yang mengedepankan hasrat ketimbang kebutuhannya. Kemana pabrikan motor mewah asal Jepang menjual produknya? 


Hasrat manusia yang tak akan pernah terpuaskan, dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh para kanon kapitalisme dunia. Apakah Anda pernah mendengar bahwa kualitas pendidikan Indonesia meningkat? Kabar baiknya, setidaknya di dunia pendidikan saat ini, kualitas tempat parkir untuk kendaraan siswa benar-benar meningkat.


Selain motor Kawasaki Ninja yang ditungganginya dengan (harapan) menjadi gagah di hadapan lawan jenisnya, sekarang coba lihat gawai yang digunakannya. Baru kemarin sore iPhone 8 menggebrak pasaran dengan spesifikasi (dan harga) yang fantastis, sekarang anak-anak sudah mengenggam iPhone 10 di tangannya. Apa alasan mereka? Simpel, untuk mendukung proses belajar mengajar (?)


Guy Debord, seorang filsuf dan produser film Marxis di Perancis menyingkap distorsi realitas pemuda dan remaja di Indonesia yang begitu terpengaruh dengan media sosial. Sebagaimana validasi citra seseorang dipengaruh oleh validasi seorang influencer di media sosial.


Ada kepuasan meski semu, yang didapatkan seseorang dengan memenuhi hasratnya akan sesuatu berdasar validasi tersebut. Jadi, nilai guna dan nilai tukar sesuatu barang (seperti yang pernah diterangkan Karl Marx) sudah bukan hal yang penting untuk dibicarakan saat ini. Apakah nilai guna Kawasaki Ninja bagi anak sekolah itu sesuai dengan harganya? Jelas tidak. Tapi, bila diperhitungkan "tanda" yang dimilikinya, maka harga itu sangat masuk akal.


Maka konsumerisme tanda menjangkiti anak muda yang menjadi penerus kemajuan bangsa Indonesia di kemudian hari. Tidak ada yang lebih dulu harus dilakukan kecuali memuaskan hasrat, meski keinginan seperti itu begitu utopis. Pemuasan hasrat hanya menghasilkan hasrat yang lebih tinggi, dan sialnya itu yang menjadi semacam kebutuhan primer bagi anak bangsa; pemuasan hasrat.


Percaya atau tidak, logika hasrat tadi tidak hanya digunakan oleh masyarakat menengah ke atas. Tapi lucunya, bahkan masyarakat menengah ke bawah juga ikut terseret arus ini. Maka kapitalisme yang dulunya masih mempertimbangkan nilai guna, direvitalisasi menjadi kapitalisme mutakhir yang hanya mengedepankan "tanda".


Tidak perlu berbuih-buih mengajarkan anak muda untuk menabung. Karena tanpa diajari, seorang anak muda yang bahkan dari keluarga menengah ke bawah akan menabung berbulan-bulan untuk membeli poster bertanda tangan boyband kegemarannya.


Sialnya, kebanyakan yang menjadi korban kapitalisme mutakhir dan konsumerisme tanda ini adalah anak muda, usia sekolah! Dan dunia pendidikan tak pernah menciptakan sesuatu semacam perisai untuk itu. Konsumerisme tanda bukan hal yang penting, ketimbang moral, akhlak dan agama.


Maka tidak apa-apalah seorang anak muda dibekali dengan banyak hal yang sebenarnya tidak diperlukannya, tapi hanya untuk pemuasan hasrat dan tanda semata. Terpenting, akhlaknya bagus, tidak terlibat pergaulan bebas dan tidak menggunakan narkotika. Tesisnya seperti itu, bukan?

  

Maka hasrat tadi berubah menjadi labirin yang mengurung pemuda Indonesia untuk terus mengonsumsi tanda, bukan kegunaannya. Tampil gagah dan kaya masih jauh lebih penting ketimbang hanya memikirkan nilai guna. Itu pondasi utama keberhasilan kapitalisme mutakhir. Yah, konsumerisme tanda.

Ads