Habis Anjay Terbitlah Anjir, Habis Itu Hadirlah Anjrit: Siklus Konyol -->
close
Pojok Seni
01 September 2020, 9/01/2020 10:10:00 PM WIB
Terbaru 2020-09-01T15:10:41Z
ArtikelUlasan

Habis Anjay Terbitlah Anjir, Habis Itu Hadirlah Anjrit: Siklus Konyol

Advertisement


PojokSeni.com - Kata Anjay jadi fenomena, apalagi kalau bukan Komnas Perlindungan Anak lewat ketuanya Arist Merdeka Sirait yang memberikan surat edaran pelarangan penggunaan anjay dalam konteks tertentu.


Bila ingin berpikir positif, tujuannya mungkin baik. Komnas PA tidak ingin ada orang yang merendahkan martabat, atau melecehkan orang lain dengan kata Anjay yang secara harfiah merupakan pelesetan dari kata anjing.


Anjing, meski memiliki konotasi positif di belahan dunia lain, tapi di Indonesia berarti sangat buruk. Wajar saja, karena mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam, sehingga sebagai hewan yang najis maka anjing dan babi menjadi dua umpatan atau makian yang paling populer.


Masalahnya adalah, sebagaimana perkara viral dari Komnas PA beberapa waktu terakhir yang justru menunjukkan betapa "menariknya" institusi satu ini. Mulai dari statement bahwa berenang bisa mengakibatkan kehamilan sampai pelarangan anjay. Tapi, khusus untuk yang "anjay" ini adalah yang paling menarik.


Yah, karena anjay berasal dari pelesetan kata anjing. Apa yang lucu?


Karena anjay bukan satu-satunya pelesetan kata anjing. Ada kata lain yang juga populer, seperti anjrit dan anjir. Juga ada anjrot, anjim, anyeng, dan sebagainya. Maka khusus untuk kata plesetan dari anjing saja sudah ada 5 yang disebutkan di atas. Kenyataan di lapangan, masih banyak kata lain yang juga berasal dari kata "anjing".


Maka berapa surat edaran untuk melarang semua kata-kata itu?


Kata anjay dilarang, maka kata anjir akan sering dipakai. Kata anjir dilarang, maka kata anjrit yang bakal sering dipakai. Begitu seterusnya, berputar-putar dan seakan tidak ada habisnya.


Sebenarnya perkaranya bukan karena kata anjay atau apapun kata lain yang berasal dari kata yang sama. Tapi bagaimana Komnas PA melupakan bahwa ada banyak hal yang sebaiknya diurus tapi masih terbengkalai. Untuk urusan kata, dia arbitrer. Maknanya bisa berubah, meluas, menyempit, berkembang, bahkan berganti. Semuanya tergantung dengan pemaknaan dari penutur dan pendengarnya. 


Kata cabe bermakna positif, tapi cabe-cabean saat ini bermakna negatif. Hal itu tidak berlaku pada kata orang dan orang-orangan misalnya. Kata anjay bisa saja tidak berpengaruh atau berdampak negatif, bahkan ketika seseorang tidak saling mengenal mengucapkan kata tersebut.


Wajar, karena kata anjay-anjir-anjrit-anjing-anyeng dan sebangsanya itu kerap menjadi kata ganti untuk menujukkan keterkejutan, kekaguman dan ketidakpercayaan atas sesuatu yang dilihatnya. Ada seseorang yang pendiam di kelas, ternyata maju ke depan kelas dan memainkan gitar persis seperti Steve Vai misalnya. Lalu temannya refleks berteriak "anjing!!". Apakah si pemain gitar akan tersinggung?


Mungkin sebaiknya anak-anak yang tidur sembarangan kadang di fasilitas umum, sehingga keesokan harinya dikejar-kejar satpol PP, atau anak-anak yang tinggal di daerah minim sinyal internet jadi kesulitan belajar dari rumah selama pandemi, atau anak yang meminta-minta di lampu merah, atau anak perempuan yang tak pernah aman dari predator seksual  dan sebagainya, lebih baik jadi fokus utama Komnas PA. 


Itu masalah yang sampai saat ini belum ketemu jalan keluarnya. Dan membahas serta mencari solusi dari masalah itu masih jauh lebih bermakna, ketimbang mengurusi perkara bahasa, kolam renang, dan urusan lain yang justru menimbulkan lebih banyak kontra di publik.


Intinya, jangan terus-terusan membuat pemerintah dan institusi di pemerintahan terlihat konyol karena hal-hal yang tidak perlu.

Ads