Mengenal Persagi, Persatuan Para Pelukis yang Berdiri Tahun 1938 -->
close
Pojok Seni
16 July 2020, 7/16/2020 03:20:00 AM WIB
Terbaru 2020-07-15T20:20:07Z
ArtikelSejarahSeni

Mengenal Persagi, Persatuan Para Pelukis yang Berdiri Tahun 1938

Advertisement
Lukisan karya Agus Djaja berjudul Dancer 2

PojokSeni.com - Persagi, singkatan dari Persatuan Ahli Gambar Indonesia adalah asosiasi para pelukis dan gambar di Indonesia yang sudah lama berdiri.

Sejumlah sumber menyebut bahwa Persagi berdiri di Jakarta pada tahun 1938, sedangkan sumber lainnya menyebutkan berdiri di tahun 1937 akhir.

Berikut, Pojokseni membagikan cerita terkait berdirinya Persagi di tahun 1938 ini.

Tentang Agus Djaya, Ketua Persagi Pertama


Bila menyebut pelukis Indonesia zaman dahulu, selain Raden Saleh yang hidup di era 1850-an, maka nama lain yang dikenal selanjutnya adalah Raden Agoes Djajasoeminta alias Agus Djaya. 

Ia menjadi salah seorang pelukis yang direkomendasikan oleh pendiri bangsa, Soekarno menjadi ketua Pusat Kebudayaan Bagian Seni Rupa di era sebelum kemerdekaan, tepatnya pada zaman pendudukan Jepang.

Bersama dengan pelukis legendaris Indonesia lainnya, Sindoedarsono Soedjojono dan para pelukis kenamaan Indonesia lainnya di tahun 1937, mereka memprakarsai berdirinya Persagi.

Ide awalnya memang datang dari Sudjojono, namun berdirinya Persagi tidak bisa dilepaskan dari pergerakan seni rupa di beberapa tempat di Indonesia.

Berdirinya Persagi dan Mooi Indie

Lukisan bertema Mooi Indie (sumber: Wikipedia)

Sejak Raden Saleh meninggal, nyatanya hampir setengah abad belum muncul nama-nama pelukis lainnya. 

Awal abad ke-20, barulah berkembang lagi nama-nama pelukis anyar di Nusantara yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda. 

Selain nama-nama pelukis legendaris Indonesia bermunculan, Nusantara juga kedatangan pelukis asal Eropa yang memberikan pengaruh gaya dan mazhab para pelukis bumiputera.

Meski demikian, tahun 1920-an sampai 1938, idealisme seni lukis modern Indonesia masih belum nyata.

Bermula dari semangat pergerakan nasional yang begitu bangkit di dekade tersebut, maka S Sudjojono menyebut bahwa pelukis Indonesia saat itu menganut mooi indie (Hindia Elok).

Ungkapan tersebut adalah sindiran, karena karya-karya sebelumnya hanya menyebutkan bahwa Hindia Belanda memiliki lanskap yang indah belaka.

Kemudian, para pelukis di era itu mulai mencoba menyusun identitas karya seni rupa Indonesia.

Nama Sudjojono dan Agus Djaja memang disebut-sebut sebagai perintis seni lukis modern, tapi awalnya idealisme dan pemikiran dari Affandi di Bandung-lah yang memulai ide untuk mempersatukan para "ahli gambar" Indonesia dalam satu entitas dan identitas.

Adalah Kelompok Lima, sebuah grup para pelukis yang didirikan Affandi dan teman-temannya sesama pelukis di Bandung yang kemudian menjadi antitesis dari "mooi Indie" yang hanya menampilkan pemandangan agar lukisan laku dijual.

Kelompok ini tidak hanya mengajarkan teknik lukis dan sebagainya (mengingat Affandi dan teman-teman berasal dari sekolah lukis), tapi juga mencoba untuk melukis secara jujur keadaan Nusantara saat itu.

Gerakan yang sama juga muncul di Bali yang dianggap sebagai perlawanan terhadap "mooi Indie". 

Sampai akhirnya, Sudjojono menginisiasi berdirinya Persagi dan hasil perkumpulan pertama menunjuk Agus Djaja sebagai ketua, sedangkan Sudjojono menjadi sekretarisnya.

Persagi menjadi pertanda para pelukis di Indonesia mencoba melawan barat, dengan mengindahkan teknik barat dan mencoba mencari identitas dan corak seni rupa di Indonesia.

Sayangnya, Persagi dan beberapa gerakan perlawanan terhadap Mooi Indie yang begitu panas ini justru mulai perlahan meredup di era tahun 1942.

Tepatnya, ketika Jepang masuk dan mendirikan lembaga kesenian bernama Keimin Bunka Shidoso.

Ads