Tubuh Tari Hari Ini: Catatan dari Perayaan Hari Tari Dunia 2020 -->
close
Pojok Seni
03 May 2020, 5/03/2020 09:39:00 PM WIB
Terbaru 2020-05-03T14:39:54Z
ArtikelSeni

Tubuh Tari Hari Ini: Catatan dari Perayaan Hari Tari Dunia 2020

Advertisement
oleh: Roza Muliati*

Di tengah pandemik covid-19, sebuah pesan dari perayaan Hari Tari Dunia yang ditulis oleh Gregory Vuyani Maqoma menarik untuk disimak, “We are living through unimaginable tragedies, in a time that I could best describe as the post-human era. More than ever, we need to dance with purpose, to remind the world that humanity still exists”. Pesan yang disampaikan ke seluruh Aliansi Tari Dunia (World Dance Alliance) ini menyerukan sebuah perubahan paradigma dalam memaknai tari di tengah situasi pandemic. Kita tengah memasuki era post-human, masa di mana manusia dihadapkan pada musuh yang hampir tak terlihat namun bisa memporak-porandakan kehidupan dan peradaban. 

Tanggal 29 April lalu, semua seniman tari dunia merayakan Hari Tari Dunia dengan cara yang berbeda. Jika sebelumnya perayaan diwarnai oleh pelbagai festival, parade, dan forum-forum diskusi yang riuh dan dihadiri oleh banyak orang, tahun ini semuanya berubah. 

Pandemik Covid-19 memaksa kita mengisolasi diri di rumah, jauh dari hiruk-pikuk pertunjukan dan festival. Disinilah pesan dari Gregory Maqoma menjadi penting disimak. Sudah saatnya kita memperingati Hari Tari untuk mengingatkan dunia bahwa kemanusiaan masih ada.

Komunitas Ruang Tumbuh Padangpanjang yang bergerak di bidang riset, penciptaan seni, pemberdayaan, dan edukasi, memaknai pesan ini dengan menggelar sejumlah kegiatan dalam rangka perayaan Hari Tari Dunia (World Dance Day) 2020, dengan mengingatkan kembali pentingnya arti tari bagi kemanusiaan melalui serangkaian acara diskusi yang menghidupkan kembali wacana kritis tentang tari. 

Dengan mengangkat tema “Tubuh Tari Hari Ini”, Ruang Tumbuh menggelar dua jenis diskusi, yaitu: Sharing Session yang menghadirkan dua koreografer muda, dan seorang kritikus tari;  Master Class yang menghadirkan tiga tokoh tari Indonesia; dan puncaknya pidato kebudayaan dari ilmuwan tari Indonesia, Sal Murgiyanto dengan judul Sal Murgiyanto: Refleksi Kritis Menyambut Hari Tari Dunia 2020. 
  

Tari sebagai Praktik Ketubuhan


Acara Sharing Session yang merupakan forum bincang-bincang dengan dua koreografer muda, Ayu Permata dan Kurniadi Ilham, serta seorang kritikus tari Renee Sariwulan menyoal tari sebagai sebuah praktik ketubuhan. Ayu Permata, seorang koreografer asal Lampung dan moderator Frisdo Ekardo, menghadirkan perspketif tubuh tari dari seorang koreografer perempuan. 

Dengan latar belakangnya sebagai seorang muslim yang berjilbab tidak mudah bagi Ayu mengambil pilihan hidup di dunia tari. Pada awalnya ia dihadapkan pada penolakan dari keluarganya sendiri. Namun kesungguhannya mampu meluluhkan hati mereka hingga kini kepercayaan itu menjadi motivasi baginya untuk terus menari dan berkarya. Ayu dikenal sebagai koreografer yang disiplin dan keras, “jangan harap bisa menjadi penari dan koreografer yang baik jika tidak disiplin dan keras terhadap diri sendiri untuk berlatih dan belajar” ujarnya. Dengan tari, Ayu belajar bergerak dengan hati, dengan kejujuran, seperti disampaikannya dalam salah satu karya, Tubuh Dangdut (2009). Ayu juga menambahkan bagaimana tari mengajarinya mengenal kembali tubuh dan dirinya sendiri.

Sementara bincang-bincang dengan Kurniadi Ilham, seorang penari dan koreografer dari nagari Paninggahan, Sumatera Barat yang dipandu oleh Yogi Afria, menghadirkan diskusi tentang tubuh silat. Ilham yang juga seorang pesilat, banyak terinspirasi oleh tubuh silat. Silat baginya tidak saja persoalan bela diri tapi silat adalah juga pengendalian diri. Tubuh silat inilah yang kemudian ia hadirkan ke dalam salah satu karyanya Tanangan (2019) yang menampilkan penari-penari yang berjalan di atas bilah bambu dengan kewaspadaan dan pengedalian tubuh yang luar biasa. 

Selanjutnya, Renee Sariwulan, seorang antropolog dan kritikus tari yang menutup Sharing Session hari terakhir yang dipandu Wahyudha Herman sebagai moderator, mengupas banyak hal menarik dibalik tubuh tari. Renee lebih tertarik membongkar praktik eksplorasi tubuh dalam proses kreatif penciptaan tubuh baru yang berbeda dari tubuh-tubuh tradisi. Renee juga menyoal bagaimana tradisi dibaca kembali oleh koreografer ke dalam karya-karya mereka sehingga tradisi tidak berhenti sebagai sebuah benda mati, tetapi berlanjut dan dihidupkan kembali ke ruang-ruang pertunjukan kontemporer.
  

Refleksi Kritis


Pada program Master Class, perbincangan tentang tari bersama tiga tokoh tari Indonesia, mengupas lebih dalam tentang tari sebagai sebuah jalan hidup.  Bincang-bincang dengan Ery Mefri, seorang tokoh tari yang berasal dari Sumatera Barat dan dipandu oleh Roza Muliati, menghadirkan diskusi menarik tentang proses kreatif dan pikiran-pikiran kritis Ery Mefri. Ery Mefri bersama kelompok tarinya Nan Jombang, melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi di dalam karya-karyanya.  Dalam Rantau Berbisik ia menggugat tradisi merantau pada masyarakat Minangkabau melalui tubuh yang menghidupkan kembali tradisi randai yang memadukan unsur tari, sastra lisan (kaba), dan musik.  Ery menjelaskan bahwa ia membaca ulang tradisi dengan menggali ke dalam tubuhnya sendiri karena setiap tubuh manusia menurutnya sudah membawa tubuh tradisinya masing-masing. 

Ery menambahkan bahwa, “mengikuti proses dan menjalaninya tanpa henti adalah kunci melatih tubuh agar selalu menemukan hal baru dalam tubuh tradisi pada setiap individu.” Dalam hal ini, proses menurutnya menjadi penting, “seorang seniman jangan pernah berhenti atau cepat puas pada satu proses, tetapi lakukan pencarian melalui proses. Terakhir, Ery Mefri menyampaikan dalam berkesenian kita dapat berguru kepada siapa saja namun jangan melupakan jasa seorang guru, sekecil apapun kontribusinya.

Bincang-bincang dengan Rianto yang berasal dari Banyumas dan dipandu oleh Sherli Novalinda, mengungkap cara lain membaca ulang tradisi. Rianto awalnya dikenal sebagai seorang penari lengger. Lengger atau disebut juga ronggeng adalah kesenian tradisional Banyumas.  Tubuh lengger sendiri adalah perpaduan antara tubuh yang maskulin dan feminim. Menjadi penari lengger menurutnya bukanlah pilihannya tetapi tarilah yang memilih dirinya, sebuah hal yang menurutnya di luar dari kendalinya.  

Di dalam dalah satu karyanya Soft Machine (2016) berkolaborasi dengan Choi Ka Fai (Singapura), Rianto menghadirkan tubuh yang berbicara lebih lembut dari sebuah mesin. Ide tersebut ia sampaikan melalui tubuh lengger dalam bentuk tradisi sekaligus kontemporer. Tubuh tradisi sendiri baginya adalah spirit karya kontemporer. Rianto menjabarkan bahwa tradisional maupun kontemporer ataupun istilah lainnya hanyalah sebuah penyebutan. Pada dasarnya tradisi atau kontemporer itu adalah tubuh itu sendiri, walau sudah dikembangkan ke dalam bentuk baru sekalipun.

Sementara Hartati yang diundang pada Master Class hari terakhir (28/4)  dipandu oleh Roza Muliati, menceritakan kembali tentang arti tari sebagai jalan hidupnya. Hartati merupakan murid dari Gusmiati Suid dan turut membesarkan kelompok tari yang didirikan oleh Gusmiati Suid, Gumarang Sakti Dance Company di era tahun 1980-1990-an. Banyak hal dari Gusmiati yang dipelajarinya, khususnya tentang silat. Silat bukan hanya persoalan gerak tapi ada hal lain yang jauh lebih esensial yakni sikap dan karakter, kewaspadaan, kepekaan terhadap ruang dan kepekaan terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita. 

Esensi silat inilah yang kemudian ia hadirkan kembali ke dalam karya-karyanya yang menembus sekat-sekat tubuh tradisi dan non tradisi seperti ia hadirkan ke dalam beberapa karyanya seperti Serpihan Jejak Tubuh (2012) dan Wajah (2013) yang menghadirkan perpaduan tubuh silat, balet, dan yoga. Hartati juga menceritakan pengalaman lintas kultural yang ia alami sebagai penari dan koreografer ketika berguru kepada sejumlah tokoh-tokoh tari seperti Sardono W Koesumo, Tom Ibnur, Retno Maruti, Farida Utoyo, dan banyak tokoh tari lainnya. Pengalaman ulang alik tubuh inilah yang kemudian membuatnya tidak lagi mempersoalkan bentuk, sebab bentuk lahir karena ada kebutuhan untuk menyampaikan suatu ide atau gagasan.
Sal Murgiyanto yang menutup gelaran perayaan Hari Tari Dunia oleh komunitas Ruang Tumbuh, menghadirkan refleksi kritis menyambut hari tari dunia 2020.  Dalam refleksi kritisnya, Pak Sal secara lugas bicara tentang arti tari sebagai jalan hidupnya. Dengan mengutip dua mahasiswanya (Casey Avaunt dan Lin Yuchen), Pak Sal bicara tentang tari sebagai kendaraan baginya untuk mengenal diri sendiri. Pak Sal juga menyinggung praktek tari di Indonesia yang lebih menekankan pada olah tubuh dan menepikan olah rasa dan olah pikir.  

Dibutuhkan kemampuan berpikir yang meliputi kemampuan melakukan refleksi, berpikir kritis, dan menyarikan esensi. Di sisi lain, Pak Sal juga mengingatkan bahaya narsisisme bagi penari dan penata tari muda yang berujung pamer diri dan terjebak dalam paradigma tari sebagai craft. Pak Sal menyimpulkan hidup sebagai sebuah perjalanan, dan melalui tari ia belajar mengenali dirinya dan dunia sebagai langkah menjalani dan memahami hidup. Terakhir, jalan tari yang telah dipilihnya akan membawanya kembali ke asal, kepada Sang Pencipta.


Penutup

Perayaan Hari Tari Dunia yang digelar oleh komunitas Ruang Tumbuh Padangpanjang mengingatkan kembali arti penting tari bagi kemanusiaan. Tubuh tari hari ini tidak saja dimaknai sebagai praktik ketubuhan yang menembus sekat-sekat perbedaan tetapi lebih dari itu, tari adalah refleksi kritis dalam memaknai hidup itu sendiri.  Tubuh tari hari ini mungkin akan lebih banyak hadir di ruang-ruang virtual melalui teknologi digital. Namun arti penting tari sesungguhnya terletak pada pesan-pesan kemanusiaan yang disampaikan. 

Di masa pandemik, tari memiliki daya untuk menyampaikan pesan kepada dunia tentang nilai-nilai cinta kasih, kepedulian kepada sesama, dan spiritualitas. Namun yang tak kalah penting, tari adalah perjalanan menemukan diri sendiri karena sejatinya tari adalah milik tubuh itu sendiri, sebagaimana dikemukakan Chandralekha, seorang koreografer India, “….dance doesn’t belong to the temple or to the court or even to one’s country. It must go back to the people, to the body.”

Roza Muliati
Founder dan Direktur komunitas Ruang Tumbuh Padangpanjang
Dosen Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Ads