Ruang Tumbuh Padangpanjang Gelar Sharing Session Online 3 Hari Berturut -->
close
Pojok Seni
25 April 2020, 4/25/2020 12:06:00 AM WIB
Terbaru 2020-04-24T17:06:12Z
eventMedia Patner

Ruang Tumbuh Padangpanjang Gelar Sharing Session Online 3 Hari Berturut

Advertisement
Pojokseni.com - Di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat untuk menjaga jarak dan berdiam diri dirumah, Komunitas Ruang Tumbuh Padangpanjang menggelar kegiatan Sharing Session melalui Live (siaran langsung) Instagram.

Sharing Session adalah forum bincang-bincang yang digagas oleh komunitas Ruang Tumbuh Padangpanjang dalam rangka memperingati Hari Tari Dunia (World Dance Day) yang jatuh pada tanggal 29 April mendatang. Adapun tema yang diangkat yaitu “Tubuh Tari Hari Ini” dengan mengundang dua orang koreografer muda dan seorang kritikus tari sebagai pembicaranya.
Kegiatan Sharing Session dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut pada tanggal 20-22 April 2020.

Hari Pertama (Senin, 20/4/2020)



Pada hari pertama (Senin, 20/4/2020), yang menjadi pembicara adalah Ayu Permata Sari, seorang koreografer muda asal Lampung yang menempuh pendidikan Strata 1 dan 2 di Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan Seni Tari. Kegiatan dipandu oleh Frisdo Ekardo, seorang sutradara teater sekaligus Direktur Program Ruang Tumbuh.

Acara berlangsung pukul 16.00-17.00 WIB. Ayu dikenal sebagai koreografer yang disiplin dan keras, “Jangan harap bisa menjadi penari dan koreografer yang baik jika tidak disiplin dan keras terhadap diri sendiri untuk berlatih dan belajar” ujarnya. Karir yang sudah Ayu bangun tidak serta merta selalu mulus, sebelumnya Ayu sempat mendapat penolakan dari pihak keluarga karena mereka menganggap bahwa jurusan Seni Tari yang dipilih Ayu tidak ada gunanya dan mau jadi apa kelak.

Terlebih lagi latar belakang keluarga Ayu merupakan keluarga yang taat agama, “bagaimana bisa menjadi seorang seniman tari yang jarang menutup aurat saat menari” tambah Ayu. Pada akhirnya, semua dapat dilaluinya dan keluarga pun mendukung, “Mau jadi apapun kamu tidak masalah yang penting jangan setengah-setengah, jika sudah memilih jangan lagi berhenti, kejar dan wujudkan” nasihat orang tua Ayu.

Ayu menceritakan pengalamannya menjadi seorang koreografer. Menurut Ayu, dengan melatih diri mengikuti berbagai kegiatan seperti workshop, diskusi, serta melihat dan terlibat dalam pertunjukan seniman lain dapat membuatnya menjadi termotivasi dalam menciptakan karya tari. Kunjungan ke luar negeri seperti Jerman, Singapura, dan Korea membawakan karya tarinya juga menambah track recordnya didunia tari dan mendapat pengalaman seperti perbedaan perspektif orang luar tentang tari yang secara latar belakang budaya sudah beda.

Menurut Ayu, seni tari sebenarnya kompleks, “Tari itu sebenarnya bisa dilihat dari segi apa saja, tari memang sebuah bentuk karya yang visualnya berdasarkan laku tubuh yang diberikan kesadaran menari. Ketika kamu memasukkan sebuah tubuh dan kamu sadar akan itu ia sedang menari, maka ia menari” tambahnya.

Setiap tahun Ayu menciptakan karya tari, yakni pada tahun 2017 berjudul Kita, tahun 2018 berjudul Litutu, dan tahun 2019 berjudul Tubuh Dangdut. Ayu menceritakan bagaimana proses ia menciptakan tari Tubuh Dangdut. Awalnya, Ayu keluar dari kejenuhan menari dengan fikiran. Menurutnya, sebagai penari selama ini ia merasa menari dengan fikiran, menghafal gerakan, mengingat hitungan, dan sebagainya.

Melalui tari Tubuh Dangdut, ia mencoba bergerak dengan hati. Karya tarinya ini tercipta dari pengalaman perjalanan kerja yang mengharuskan ia bolak-balik Yogyakarta-Cilacap menggunakan bus. Setiap kali naik bus, ia selalu mendengarkan musik dangdut diputar dalam bus. Sampai suatu ketika tubuhnya berjoget mengikuti irama dangdut di dalam bus, lantas ia melakukan serangkaian riset.

Mendengarkan musik dangdut dengan berlama-lama di dalam kamar, hingga mendatangi konser atau klub dangdut di sekitaran Yogyakarta. Dari riset kecil-kecilan itu ia menemukan fakta menarik, “Penonton pertunjukkan dangdut seakan-akan bergerak dengan hati, mereka berjoget seolah sadar mengikuti irama ketukan gendang atau tabla pada musik dangdut yang mereka dengarkan” ujarnya.

Ia pun terdorong untuk mengobservasi beberapa penonton dangdut untuk mengetahui latar belakang mereka, “Rupanya setiap gerakkan mereka ketika berjoget itu berhubungan dengan latar belakang pekerjaan atau kesehariannya” tambah Ayu. Terdapat lima orang yang menjadi bahan riset Ayu, dan memang betul setiap gerak yang mereka lakukan saat berdangdut secara tidak sadar berhubungan dengan profesi mereka, Ayu melihat orang yang menari atau bergerak dengan hati itu terdapat pada tubuh penonton dangdut, mereka bergerak dengan sesuka hati. Dalam tari ini Ayu mencoba menubuhkan tubuh penonton dangdut laki-laki di tubuh penari perempuan.

Ketika ditanya tanggapannya tentang Tubuh Tari Hari ini, menurut Ayu “masih banyak seniman tari termasuk saya masih mencari bagaimana menanggapi tubuh untuk tubuh kita sendiri, karena tari itu sudah ditubuhkan diluar diri kita, sebelumnya tari tersebut sudah memiliki tubuhnya sendiri kemudian kita tubuhkan ketubuh kita sendiri, nah dari situ kita sudah memasukkan elemen baru kedalam tubuh kita bagaimana kita menanggapi.

Tari hari ini bagaimana penari mengenal tubuhnya, paham tubuh yang ditubuhkan dalam tubuhnya yang tidak hanya sebatas tempelan”.

Hari Kedua (Selasa, 21/4/2020)



Pada hari kedua (Selasa, 21/4/2020), yang menjadi pembicara adalah Kurniadi Ilham, seorang koreografer muda asal nagari Paninggahan, Sumatera Barat. Acara ini dipandu oleh Yogi Afria yang juga seorang koreografer muda sekaligus Ketua Pelaksana kegiatan Sharing Session Ruang Tumbuh. Acara dilakukan secara live di IG Ruang Rumbuh dan berlangsung pukul 16.00-17.00 WIB.
Ilham memulai karir seninya dari sanggar silek kampungnya di Nagari Paninggahan, Solok. Kemudian ia melanjutkan pendidikan S1 di Institut Seni Indonesia Padangpanjang dan S2 di Institut Seni Indonesia Surakarta jurusan Seni Tari. Saat ini Ilham menjadi salah seorang staf pengajar di Universitas Jambi. Menurut Ilham, seni tari itu tergantung dari mata yang melihat dan orang yang memaknai sendiri. Ilham menambahkan “Tari itu pengalaman hidup yang diungkapkan melalui gerak. Tari tidak hanya bentuk saja, tetapi juga gagasan.”.

Pada tugas akhir S1, Ilham menciptakan sebuah karya berjudul Remuk. Sedangkan pada tugas akhir S2, ia menciptakan karya berjudul Tanangan. Ilham menceritakan proses kreatifnya dalam menciptakan karya tugas akhir S2 nya di ISI Surakarta. Ilham terinspirasi dari tiga silat yang ada di Sumatera Barat dan Jawa, yaitu silek tuo harimau gagoan, silek bima, dan silek cempaka putih dimana semua jenis silat ini memiliki esensi yang sama, yaitu silat/silek sama dengan ibadah dan pengendalian diri. Dari esensi tersebut, Ia menemukan tradisi di kampungnya dimana masyarakat tersebut mengendalikan diri dengan kondisi alamnya.

Adapun bentuk pertunjukkan tugas akhir S2 Ilham, dikembalikan kepada mata audiens yang melihat, dimana setiap mata yang melihat itu akan berbeda beda pemaknaannya. “Karya tari tidak selalu berbentuk konvensional. Melihat, berjalan,  berlari, dan diam itu termasuk dalam tari” tambah Ilham.

Pengalaman-pengalaman lainnya Ilham dapatkan dari koreografer-koreogrefer lain. Koreografer yang paling berkesan baginya adalah Arco Renz, Ali Sukri, Sherli Novalinda, dan Otnil Tasman. Sedangkan koreografer yang paling membuatnya berfikir ialah Arco Renz, Otmil Tasman, dan Sherli Novalinda. Selama berkuliah di Institut Seni Indonesia Padangpanjang, pengalaman menari bersama senior sedikit banyak mempengaruhi kebutuhan Ilham.

Menurutnya, pengalaman-pengalaman menarinya dapat membentuk ketubuhannya sendiri. Terakhir, Ilham menambahkan “Berkesenian adalah kerja kolektif, kita membutuhkan orang lain, tidak bisa sendiri”.

Hari Ketiga (Rabu, 22/4/2020)



Pada hari ketiga (Rabu, 22/4/2020), yang menjadi pembicara adalah Renee Sariwulan, seorang antropolog dan kritikus tari yang dipandu oleh Wahyudha Herman, mahasiswa Televisi & Film ISI Padangpanjang yang baru bergabung di komunitas Ruang Tumbuh. Sharing Session berlangsung pukul 11.00-12.00 WIB. Renee Sariwulan yang lahir di Malang tahun 1973, adalah salah satu antropolog dan penulis tari di Indonesia.

Renee menamatkan pendidikan Antropologi Tari di Institut Kesenian Jakarta. Pada tahun 2012-2016, Renee menjadi anggota Komite Tari di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Renee memiliki ketertarikan pada riset dan penulisan tari, terutama kajian tubuh tari Indonesia. Pada tahun 2017-2018, ia terlibat sebagai editor buku tari Ikat Kait Implusif Sarira yang ditulis oleh Eko Supriyanto, kemudian ia diminta terlibat sebagai dramaturg dalam proses kerja koreografi dari tiga koreografer Indonesia, yaitu; Hartati, “Wajah #2” di tahun 2017;  Tulus, “Pasir” di tahun 2018, dan Eko Supriyanto, “Ibu-Ibu Belu: Bodies of Border” tahun 2019.

Pengalaman Renee diawali dari usia 6 tahun, berawal dari melihat tubuh penari Bali dengan ekspresinya yang kuat di TVRI yang pada masa itu masih hitam putih, membuat tubuhnya ikut bergoyang. Tingkah laku Renee tersebut diamati oleh orang tuanya dan memasukkan Renee kursus Tari Bali di Malang. Pada masa itu, Renee sudah mengenal tari kreasi dan tari-tari hiburan ABG. 
Lalu Renee mulai mencoba mengekspresikan diri melalui ujicoba membuat tari sendiri dengan lagu-lagu pop yang beredar pada zaman itu. Yang menarik adalah ketika Renee duduk dibangku SMA, ia sudah mulai tidak tertarik lagi dengan tarian seperti pada waktu SD dan SMP. Renee bertemu dengan seorang guru dan mengenal Ruang Koreografi yang sesungguhnya. Saat ia mengikuti lomba tari tradisi antar sekolah sampai tingkat Provinsi tari, berhubung Rene dari Jawa Timur maka menampilkan tari Jawa Timur. Pada saat itulah pertama kalinya Renee mengenal tubuh tari Jawa Timur dan koreografi.

Renee tidak dikenalkan tari sebagai bentuk seperti yang dipelajari sebelumnya, tapi guru Renee  membawa pengalaman empiris mereka untuk memotivasi dan bergerak dalam bentuk tari tradisi. “Sebenarnya ada tabrakan yang luar biasa, tapi disitu kami di dorong untuk melakukan itu” ujar Renee. Awalnya ia tidak mengerti dan tidak bisa menjelaskannya. Kemudian Ayah Renee memasukannya ke Institut Kesenian Jakarta jurusan Antropologi Tari, dari sini Renee mengenal hal yang baru. Dari kecil Renee suka menari, tapi ia tidak ingin menjadikan menari sebagai profesi ataupun menciptakan tarian.

Renee sempat bertanya kepada ayahnya tentang Antropologi. Ayahnya menjelaskan, antropologi itu mempelajari tentang manusia dan kebudayaan. Sedangkan menurut Renee itu adalah hal yang aneh dari awal beliau menari tiba tiba masuk ke dunia yang mempelajari manusia dan kebudayaan. Lalu Renee berusaha menjalaninya, ternyata ia asik bertemu dengan guru-guru antropologi dari Universitas Indonesia. Karena mereka menjelaskan tentang ilmu antropologi, tentang manusia dan kebudayaan dengan sangat teliti dan mudah di pahami dari pada membaca buku.

Di sisi lain, Renee membantu teman-temannya yang koreografer sebagai penari ataupun sebagai tim produksi. Disitu Renee berdiri pada dua kaki yang berbeda, pertama ekspresi individual koreografer tari tradisi dan kedua Renee meriset kebudayaan komunal yang menulis hanya pada satu objek saja. Pada saat itu, dosen Renee berkata “kalian bantu koreografer dengan kemampuan kalian di bidang antropolog dan kebudayaan manusia”, tapi Renee belum menemukan titik yang pas untuk hal itu “karena diskusi yang saya pelajari belum ada ruangnya untuk mempertemukan dua hal, tari sebagai ruang penciptaan ekspresi individu dan tari sebagai ekspresi komunal dengan pengetahuan kebudayaannya” ujarnya.

Pada saat lulus dari Institut Kesenian Jakarta, Renee tetap aktif membantu teman-teman koreografernya, justru disanalah Renee menemukan ruang penulisan dan dramaturgi. Pada saat Renee masuk dewan kesenian pada tahun 2006, kegelisahannya tentang tari terutama tubuh sedang berada di puncaknya. Karena media pada saat itu yang membahas tentang tari sangat jarang sekali membahas tentang tubuh. Itulah yang menjadi dorongan Renee untuk melakukan sendiri, karena di media yang menulis tentang tari bukanlah orang yang berkecimpung di dunia tari, melainkan wartawan.

“Mereka menulis seni, sastra, dan filsafat dengan perspektif pengetahuan mereka, terus kapan tari dibicarakan sebagai tari? Nah ini harus diseimbangkan, karena nanti pengetahuan tentang tari tidak tumbuh” ujar Renee. Itulah yang Renee fikirkan pada saat itu, kemudian ia mencoba membaca isu-isu yang ada dan menjawab pertanyaannya sendiri, lalu ia tuliskan.

Motivasi Renee dalam menulis ialah saat setelah ia menyaksikan sebuah tarian, menurutnya “itu tentang kegelisahan tentang tubuh saya selalu berangkat dari situ, sehingga yang menjadi motivasi menonton pertunjukan tari itu saya melihat tubuhnya dulu, apa yang saya bisa bongkar lalu ada temuan apa dalam proses kreatif. Karena dalam tari ada dua hal yang terjadi, ada proses eksplorasi, jadi memunculkan ekspresi tubuh yang baru atau yang berbeda. Bisa jadi gagasan itu tidak ada hubungannnya dengan saya secara langsung, atau tubuh yang nge-blend dengan gagasan yang ingin di sampaikan, jadi itu yang saya lihat”.

Renee juga mencontohkan, “Misalnya banyak koreografer berangkat dari tradisi, tapi dari tradisi yang iya baca kembali. Nah disitulah proses eksplorasi gerak muncul atau terjadi ketika koreografer mengambil beberapa elemen dari tarian tradisi dan kemudian dia ungkapan ekspresi yang berbeda itu menarik bagi saya. Ada kelanjutan dari proses tradisi itu sendiri sihingga tradisi itu tidak berhenti gitu loh”, Tradisi menurut Renee harus seperti itu, bukan sebagai benda yang diam lalu dijaga, tidak bergerak seumur hidupnya, tapi harus dibaca dan ditafsirkan berkali-kali diruang penciptaan. Sehinga disini peran koreografer memegang kunci untuknya.

Ads