Menjadi Seniman: Ekspektasi vs Realitas -->
close
Pojok Seni
19 October 2019, 10/19/2019 04:36:00 AM WIB
Terbaru 2019-10-18T21:36:00Z
Artikel

Menjadi Seniman: Ekspektasi vs Realitas

Advertisement


pojokseni.com - Apakah Anda salah satu yang pernah terpikir untuk menjadi seorang seniman; pekerja seni, perupa, dramawan, penari, musisi dan sebagainya? Apa impian yang paling ingin Anda wujudkan dengan cita-cita itu?

Manusia, selalu ingin merasa dicintai, merasa dibutuhkan, merasa dihormati dan tentunya mendapatkan tempat yang spesial. Seseorang tentu (apapun cita-citanya) juga menginginkan hal itu. Bila Anda adalah orang yang terpikir menjadi seorang seniman, tentunya panggung yang bermandikan cahaya, tepuk tangan riuh dari penonton yang memadati gedung, nama yang tersohor, karya yang mendunia dan sebagainya menjadi impian yang paling ingin dicapai. Setidaknya, sebagian besar dari orang yang bermimpi jadi seniman, memimpikan hal tersebut.

Ibarat puncak gunung yang indah dan serasa berada di atap dunia, maka Anda perlu mendaki, melewati berbagai rintangan, menghadapi cuaca yang ekstrim dan medan yang terjal untuk mencapainya. Sayangnya, tidak banyak yang tahan dengan itu.

Ada yang bermimpi menjadi seorang seniman terbaik dengan semua pencapaian yang mengagumkan. Tapi, tidak tahan dengan latihan saban hari, membaca setiap hari, dan melatih tubuh juga skill setiap waktu. Bagaimana caranya mencapai puncak, bila tidak mau mendaki?

Namun, bila telah mencapai (atau setidaknya sepertiga perjalanan) puncak "kesuksesan", maka ada beberapa hal yang tentunya berbeda dengan ekspektasi awal Anda. Berikut beberapa di antaranya yang dirangkum PojokSeni.

1. Seniman Berarti Bebas?


Tidak. Karena kebebasan itu sejatinya memang tidak ada. Awalnya, Anda mengejar mimpi, passion dan cita-cita. Lalu, passion dan mimpi itu yang mengejar-ngejar Anda. Anda mulai harus lebih disiplin dan terjadwal. Tidak pentas, atau tidak membuat sebuah karya, maka Anda tidak makan.

Bebas yang dimaksud adalah bebas dari tuntutan "atasan", atau bebas dari jam kerja yang mengikat. Tapi, tak pernah bisa bebas dari tanggung jawab. Apalagi, bila Anda sudah berkeluarga. Ketika masih hidup sendirian, mungkin melukis satu lukisan dalam satu tahun bisa Anda lakukan. Tapi, bila sudah berkeluarga, maka ketika satu lukisan sudah laku terjual, berikutnya Anda mesti mempersiapkan karya selanjutnya.

Bila sudah terlalu sibuk, beberapa seniman profesional memperkerjakan asisten. Asisten atau mungkin sekretaris pribadi akan mengatur jadwal tertentu, seperti menjadi pembicara/pemateri, jadwal pameran, jadwal pentas, jadwal ini-jadwal itu.

Bagaimana bila seorang seniman yang kita anggap tidak begitu sukses. Mungkin hidupnya bebas, lebih bebas dari seniman yang sukses tadi. Tapi, untuk urusan "bebas urusan finansial", nah seniman yang lebih "bebas" ini akan iri pada seniman yang sudah sukses.

2. Berkarya Menunggu Ide


Ketika tidur, serta merta sebuah ide (mungkin dari malaikat) masuk ke dalam kepala. Sebuah mahakarya! Lalu, selagi ide masih hangat dan segar, segera diwujudkan, dan jadilah sebuah mahakarya. Bisa menjadi buku sastra, atau mungkin sebuah lagu, atau mungkin juga sebuah lukisan.

Setelah karya itu mendapatkan apresiasi yang sesuai, maka lanjutkan tidur, menunggu ide kembali datang. Apakah begitu pola kerjanya?

Lagi-lagi, tidak! Ide tidak datang semudah itu, dan kalaupun datang dengan mudah, juga tidak seindah yang diimpikan ketika telah selesai. Bisa jadi, itu menjadi karya terburukmu. Maka, proses mencari ide menjadi sebuah rutinitas bagi seniman. Beristirahat sejenak, ketika otak tengah capek, tapi ketika istirahat selesai, maka langsung bergerilya lagi.

Ada seorang yang menyebut dirinya pecundang, selama ini hanya bekerja sebagai penjual koran, selama puluhan tahun. Lalu, ia menuliskan kisah hidupnya menjadi sebuah novel. Dan, ajaib, karya itu laris manis di pasaran. Ia menjadi penulis terkenal.

Tapi, setelah itu, menerbitkan buku keduanya saja sudah setengah mati mencari ide. Ketika terbit, tidak sampai 300 eksemplar yang laku.

Atau, si Opa Gangnam Style, Psy dari Korea. Ia mengejutkan dunia dengan lagu plus video klip yang ajaib Gangnam Style. Kemudian, ia setengah mati mencari ide berikutnya, hingga mengeluarkan single kedua, ketiga dan berikutnya, tak ada yang mampu mengalahkan single pertamanya. Kini, di tahun 2019, namanya nyaris tak pernah muncul di media manapun lagi.

Kehabisan ide, sering menjadi masalah serius bagi seorang seniman. Apalagi, yang selama ini tak begitu serius belajar, membaca, menonton film yang berkualitas dan sebagainya.

3. Tak Akan Pernah Bosan Karena Hidup Begitu Bergairah


Nah, impian orang ketika memilih seniman menjadi cita-cita adalah tidak mau hidup dalam kebosanan. Hidup yang teratur, dengan jadwal yang mengikat, tentu dianggap sebagai hidup yang membosankan bukan?

Tapi faktanya, ketika menjadi seniman, toh hidup Anda juga seperti itu. Sudah sering mendengar seorang seniman bunuh diri? Apalagi di Korea, bahkan baru-baru ini ada juga yang bunuh diri. Kenapa?

Karena depresi. Tuh, seniman juga bisa depresi, loh.

Jadi, bagaimana bila Anda ingin menjadi seniman?

Syaratnya mudah, Anda harus mampu menikmati penderitaan, kelaparan, dan semua tekanan hidup. Tidak hanya itu, Anda juga musti siap apabila nantinya menjadi seorang yang super sibuk, jadwal penuh, dan tak bisa punya waktu luang untuk sekedar bermain bersama keluarga.

Anda musti siap dengan dua keadaan tersebut. Siap apabila gagal, siap pula apabila berhasil. Bila Anda gagal, menjadi seniman yang "kelaparan", Anda musti siap menghadapinya. Bila Anda sukses, dan menjadi "seniman dengan banyak jam terbang", Anda juga mesti siap menghadapinya.

Tidak semua orang dilahirkan untuk menjadi sukses. Ada juga yang menjadi tidak sukses, meski sudah berusaha setengah mati. Namun, bukan sukses atau tidaknya yang penting di sini. Tapi, apakah Anda siap dengan segala yang akan terjadi pada diri Anda, dengan cita-cita itu? (pojokseni)  

Ads