Bukik Tui dan Kritik Atas Modernitas -->
close
Pojok Seni
21 June 2019, 6/21/2019 02:41:00 AM WIB
Terbaru 2019-06-20T19:42:27Z
Artikelteater

Bukik Tui dan Kritik Atas Modernitas

Advertisement
(Pertunjukan Teater bertajuk “Bukik Tui” karya/sutradara Frisdo Ekardo)
Oleh Ikhsan Satria Irianto

pojokseni.comBerpijak pada teori Darwin, sejak 4 miliar tahun yang lalu manusia telah berevolusi secara natural melalui proses seleksi alam. Manusia mengalami perubahan biologis yang dapat teridentifikasikan melalui struktur tubuh yang dimilikinya. Revolusi kognitif telah berhasil mengubah manusia kera (primitif) menjadi manusia modern. Pada tahap ini, perkembangan manusia modern dari manusia primitif sangat signifikan. Dari manusia primitif yang memiliki kadar intelektual rendah dan memiliki tingkah laku masih menyerupai binatang, menuju manusia modern yang cerdas.  

Berkembangnya kecerdasan manusia ternyata tidak hanya memberikan sebuah kemajuan, tetapi juga menawarkan sebuah resiko yang besar. Perkembangan kecerdasan manusia ditandai dengan revolusi industri, dimana seluruh aspek kehidupan manusia berkembang dan mengalami perubahan secara besar-besar. Sebuah era baru telah lahir, dimana  modernitas membuat roda zaman berputar kian tak terkendali dan menggilas manusia-manusia yang tidak siap untuk berhadapan dengan era modern.

Modernitas telah melahirkan manusia-manusia yang konsumtif, pragmatis, hedonis dan matrealistis, sehingga kapitalisme menjadi salah satu aktor determinasi modernitas. Inilah dampak negatif yang dibawa oleh gelombang modern, dimana manusia modern semakin kehilangan kemanusiaannya. Untuk sebuah kepentingan, manusia akan saling menindas, mengatur, memaksa, membunuh sesama manusia. Seperti yang dikatakan oleh Karl Marx, bahwa modernisasi semakin memperluas jurang ketidaksetaraan antar manusia dan berpotensi membuat manusia semakin berjarak dari manusia lainnya.

Kritik atas dapak negatif dari modernitas inilah yang menjadikan ide penciptaan karya dari pertunjukan teater Bukik Tui karya/sutradara Frisdo Ekardo. Pertunjukan teater yang berdurasi 50 menit ini merupakan karya Tugas Akhir Mahasiswa Pascasarjana Institut Seni Indonesia, dengan minat Penciptaan Seni Teater. Karya Bukik Tui ini dipentaskan di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam pada tanggal 18 Juni 2019 pukul 20:00 WIB. Teater eksperimental berbasis riset ini mendapatkan bimbingan dari Dr. Sulaiman Juned, M.Sn dan Dr. Edwar Zebua M.Pd.

Bukik Tui menceritakan tentang lelaki tua yang bernama Jang dan berkerja sebagai penambang kapur di Bukit Tui. Jang adalah tokoh perwakilan dari para penambang kapur yang telah tersungkur menjadi korban revolusi idustri. Jang bersama para penambang lainnya adalah saksi, dimana manusia dipaksa bekerja seperti sapi perah untuk kemakmuran manusia lainnya. Jang adalah salah satu contoh dari manusia yang tergilas roda zaman karena tidak mampu melawan modernitas.

Frisdo sebagai pengkarya membaca fenomena sosial yang tragis di Bukit Tui sebagai ide karyanya. Dimana fenomena ini seakan tertutup kabut tebal dan tersembunyi dibalik bongkahan-bongkahan kapur di Bukit Tui. Melalui karya teater Bukik Tui, kiranya Frisdo ingin membawa keadaan yang sesungguhnya yang terjadi di balik Bukik Tui ke permukaan publik. Tidak hanya itu saja, Frisdo juga mengajak para penonton untuk kembali mengkritisi modernitas secara rasional dan logis untuk kebutuhan menjadi manusia yang seutuhnya.



Eksplorasi Tubuh Pantomim

Hal berbeda ditawarkan oleh Frisdo dari karya Bukik Tui-nya, dimana Frisdo menggunakan tubuh pantomim sebagai media ucap dan media penyampaian makna.  Frisdo melakukan eksplorasi terhadap seni pantomim dan memberikan tawaran baru dalam bentuk teater eksperimental. Tubuh pantomim ditata ulang, dibongkar dan direkonstruksi oleh Frisdo, kemudian disusun kembali dalam pola yang baru untuk kebutuhan karyanya.

Pantomin yang biasanya berangkat dari kisah-kisah yang sederhana dengan gerakan-gerakan yang lucu dan komunikatif. Di tangan Frisdo, pantomim dapat membawa pesan yang jauh lebih dalam dan filosofis. Sungguhpun begitu, Frisdo tetap tidak menghilangkan ciri khas pantomim yang lucu dan karikatural. Sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh Frisdo berhasil tersampaikan melalui spektakel yang mencuri perhatian.  Melalui karya ini, Frisdo telah mematahkan paradigma klasik yang menganggap pantomim hanya sekedar pertunjukan hiburan yang hanya mengutamakan kelucuan saja.

Sayangnya, para aktor Bukik Tui memiliki teknik gestur pantomim yang berbeda, ketimpangan inilah yang membuat kesatuan dan kepadupadanan karya menjadi terganggu. Ketidakseimbangan teknik dari para aktor sangat kentara terlihat pada peritiwa yang menggunakan pola-pola rampak. Meskipun tidak mengganggu jalannya cerita, tetapi sebagai kebutuhan spektakel, teknik aktor yang tidak balance cukup disayangkan.

Frisdo juga tidak menggunakan rias topeng khas pantomim untuk aktor-aktornya, keputusan ini tentunya cukup berisiko. Dimana setiap mimik dan ekspresi para aktor tidak dapat tertangkap dengan jelas oleh penonton. Hal ini tentunya sedikit menggangu hubungan emosional antara spektakel dan spektator, karena para penonton kesulitan untuk menangkap perasaan yang disampaikan oleh aktor. Pilihan rias tersebut tentunya sangat krusial pada pertunjukan yang menjadikan pantomim sebagai basis, karena selain bahasa tubuh, mimik wajah juga menjadi elemen penting bagi pantomim.

Secara keseluruhan, pertunjuakan teater Bukik Tui berhasil menyita perhatian penonton untuk tidak berpaling dari awal hingga akhir pertunjukan. Gimmick, suspense dan surprise yang ditawarkan Frisdo terasa begitu tergarap, inilah yang menjadi alasan penonton tetap betah dan terbawa ikut ke dalam cerita. Melalui karya Bukik Tui, Frisdo berhasil memberikan sebuah tawaran baru pada bentuk karya pantomim. (isi/pojokseni.com)

Ads