Beban Politik (Mengenang Ibu Ani Yudhoyono): Catatan Rudolf Puspa -->
close
Pojok Seni
10 June 2019, 6/10/2019 10:56:00 PM WIB
Terbaru 2019-06-10T15:56:50Z
ArtikelUlasan

Beban Politik (Mengenang Ibu Ani Yudhoyono): Catatan Rudolf Puspa

Advertisement

pojokseni.com - Mencermati cerita Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenang keinginan bu Kristiani (Ani Yudhoyono), sang istri bahwa bu Ani ingin pulang dan menekuni hobinya memotret dan tak ada beban politik. Sebuah kalimat yang menusuk hati saya sebagai salah satu warga bangsa Indonesia. Pertanyaan besarpun mencuat dan kucoba mencari jawabnya.

Benarkah langkah-langkah politik di tanah air kita bukan merupakan pengayom hidup berbangsa dan bernegara? Benarkah justru menjadi beban politik kita semua dan bukan hanya seorang mantan ibu negara selama 10 tahun? Benarkah perpolitikan kita sangat melelahkan pikiran dan emosi? Jika mengacu pada pernyataan bu Ani maka saya jadi merenung mendalam bahwa jika seorang yang pernah menjadi ibu nomor satu di negeri ini merasakan hal itu apalagi rakyat tak bernama yang jumlahnya ratusan juta?

Saya kebetulan mengalami zaman pemerintahan Bung Karno yang hampir tiap hari menghangatkan bangsa dengan pidato-pidatonya yang terasa mengobarkan jiwa nasionalisme. Memberikan keyakinan bahwa kita harus berani dan mampu menghidupi keadaan yang memang sulit dari segi ekonomi.

Selanjutnya mengalami pemerintahan Suharto selama 32 tahun yang tenang namun makin hari bergolak kasak kusuk dibawah tanah yang mulai merasakan adanya kepemimpinan yang otoriter. Rasa takut tumbuh di mana-mana dicengkeram rasa was was besok akan mati.

Peristiwa 1998 muncul dan begitu dahsyatnya hingga bisa dikatakan sebuah people power yang sedang meluap. Tidak tahu lagi siapa musuh siapa lawan dan toko, mal jadi sasaran tembak pembakaran dan penjarahan.

Berganti lagi orde reformasi yang masih belum juga berhasil menenteramkan kehidupan rakyat pada umumnya. Partai-partai politik bermunculan dengan kembali diberlakukan UU kebebasan menyampaikan pendapat. Tiada hari tanpa demontrasi yang lama kelamaan membosankan karena demo menjadi sebuah kegiatan bagai pertunjukkan sandiwara saja.

Sandiwara lucu-lucuan, kosong dan selesai demo ya selesai. Akhirnya muncul calo atau makelar atau kelompok usaha demo yang ujung-ujungnya ya bayaran. Demo kok menerima pesanan kan jadi lelucon politik yang mengenaskan.

Mulailah tiap lima tahun diselenggarakan pilpres dan juga sejak berlakunya UU otonomi daerah maka sepanjang tahun sibuk ada pilkada tingkat propinsi, pemerintahan daerah tingkat dua yang berbeda2 waktunya. Kesibukan partai di daerah diarahkan pada persiapan pilkada dan lupa harus memberikan pendidikan politik pada kader-kadernya.

Maka munculah (maaf) dagang sapi untuk kedudukan pimpinan daerah. Partai-partai yang tidak punya kader yang layak dicalonkan akhirnya mencari dari luar dan tentu awalnya bersih lama lama jadi dagang sapi tadi. Munculah istilah yang terkenal yakni “wani piro” bukan hanya untuk pemimpin daerah tapi juga anggota dprd. Partai jadinya terkesan sibuk jualan jabatan pada akhirnya.

Amandemen UU dasar pun muncul dan ada disepakati pemilihan presiden secara langsung dan memang berlangsung baik. Pada pilpres mulai tumbuh yang namanya koalisi partai karena ada batasan partai yang boleh mencalonkan capres harus memiliki treshold yang ada batasnya di DPR. Mulailah pemilihan SBY yang maju lagi untuk kedua kalinya suasana panas karena yang ingin menjadi presiden makin banyak.

Hanya sayangnya yang maju ya itu ke itu saja tokoh-tokohnya. Selalu dari lingkaran-lingkaran yang sudah tampak menjadi satu kekuatan besar selama ini. Kelompok turunan Sukarno, Kelompok Cendana, Kelompok saudagar-saudagar besar yang selama ini mendapat kemudahan-kemudahan dari penguasa, kelompok tentara yang memiliki tokoh-tokoh tersendiri.

Antar mereka berlomba dan sambi berkoalisi tentunya. Pilpres dan pilkada bukan agi berdasar musyawarah mufakat tapi voting.  Istilah kerennya  itu one man one vote. Dasar hukumnya memang kuat yakni seiap warganegara memiliki hak memilih dan dipilih.
Sebagai petahana tentunya kerja sangat keras karena jika kalah tentu saja akan malu sebab memiliki celah2 untuk bermain di kalangan pemerintahan yang adalah bawahannya. Kecenderungan untuk curang memang memungkinkan.

Sampai disini saya bisa paham bila seorang bu Ani yang tak berlatar belakang politikus akan mengalami kelelahan mengikuti sepak terjang kaum politisi terutama di lingkaran partai suaminya yang mau tidak mau harus dibelanya. Kecintaan pada suami dan negara serta pada dirinya menjadi kegelisahan tersendiri tentunya. Beruntung memiliki hobi memotret yang artinya memiliki kegiatan yang mengolah rasa seni.

Orang yang berkesenian akan menjadi kuat daya rasa nya dan akan menjadi penyeimbang otak kirinya yang keras kasar dan mudah melakukan tindak kekerasan. Saya tidak tahu apakah ibu ini memiliki kelompok yang sama penggemar berkesenian sehingga dapat menyalurkan kebutuhan batinnya sekaligus disalurkan kepada pembinaan bangsa untuk menjadi bangsa yang mampu menjalin kebersamaan yang indah. Tentunya bisa karena seorang ibu negara memiliki tanggung jawab membina bangsa.

Ketika suaminya akan selesai menjalankan tugas sebagai presiden ada beberapa petinggi partainya mengusulkan bu Ani nyapres. Bu Ani menolak dan itu pilihan yang sangat baik karena memang tidak memiliki kelayakan untuk jabatan tersebut. Tak terlihat selama 5 tahun terakhir di istana memiliki kegiatan yang mengarah ke jabatan seorang presiden.

Barangkali jiwa seninya jauh lebih menuntut mendapat porsi hidup yang lebih banyak. Kegiatan kesenian yang disenangi dan bisa dilakukan sebebas-bebasnya sehingga justru menyenangkan dan bukan menjadi beban hidup di hari tuanya. Namun barangkali keinginan tersebut tertunda karena sang suami masih begitu sibuk menjadi pemimpn partai yang mau tidak mau harus bekerja keras untuk partainya tetap eksis, tetap diperhitungkan walau dia bukan presiden lagi.

Anaknya didorong untuk bisa mengikuti jalan ayahnya dan turut mencalonkan dirinya menjadi cagub DKI. Dan kegagalannya tentu pukulan yang cukup keras. Yang kurang diperhatikan adalah bagaimana perasaan seorang ibu yang kemungkinan besar lebih mengenal anak-anaknya. Inilah barangkali yang menjadikan rasa bahwa politik hanyalah beban hidup yang menyakitkan.

Selanjutnya pilpres 2014 terasa semakin mulai intrik-intrik politik yang sungguh menyakitkan dan memalukan. Kampanye hitam, berita fitnah, hoax mulai bertebarn di medsos. Karena muncul lawan yang bukan tokoh dari lingkaran-lingkaran di atas. Rakyat biasa tukang kayu yang tak punya kekayaan melimpah dan dari keluarga rakyat kecil juga. 

Dengan perolehan tipis pak Jokowi menang dan memerintah hingga 2019. Namun pemerintahan nya tidak tenang karena di DPR tidak cukup pendukungnya dan harus bekerja keras memutar keadaan itu dan memamg berhasil. Dilanjutkan goyangan2 mulai tampak semakin keras dengan mendekatnya pilpres dan pemilu DPR dilakukan bersamaan tahun 2019. Tidak tampak lagi ujaran-ujaran yang adem atau penyampaian program2 yang bagus untuk pembangunan bangsa dan negara namun penuh dengan intrik politik lewat fitnah dan hoax bertebar selama 8 bulan masa kampanye.

Karena partai demokrat ikut serta aktif dalam koalisi tentunya kegiatan dalam rumah sang pemimpin sangat sibuk siang malam dengan kegiatan politik. Masa tenang hidup nyaman yang diidamkan bu Ani pastilah tak tercapai. Suka atau tidak suka maka kini harus diterima bahwa bu Ani kena beban politik. Namun sebagai istri yang baik menurut adat Jawa beliau memilih diam sambil terus hoby memotret dijalankan.

Kampanye semakin memanas dan semakin brutal dan jika bu Ani memilih istirahat di Singapura bisa dipahami jika kita percaya bahwa beliau memang tak kuat berada di putaran intrik politik yang semakin membabi buta. Maka tumbuhlah kebahagiaan memancar dari diri beliau bisa setiap saat berdua dengan suami yang dicintainya hingga akhir hayatnya.

Dari foto-foto yang muncul di media selama beliau di RS NUH Singapura tampak betapa bu Ani sangat menikmati hidupnya. Masih sempat berjalan walau dengan kursi roda didorong suaminya. Menghirup udara bebas diluar kamar, merangkul cucu-cucunya. Sebuah kebahagiaan yang mahal tentunya dan bisa diraihnya.

Ibu Kristiani kini teah berpulang selamanya disaat masih bisa menikmati hari-hari yang diidamkan yakni bebas dari beban politik. Saya yakin beliau sangat menikmati kebahagiaan tersebut bersama suami, kedua anaknya dan mantu-mantunya serta cucu-cucunya. Dokter menyatakan beliau dibius ditidurkan istilahnya, namun sang suami yakin apapun yang disampaikan tetap didengar yang mana terbukti selalu ada air mata mengalir di ujung matanya.

Ya, beliau mendengar dan beliau bahagia karenanya. Beliau kembali ke pangkuanNya dengan tenang dalam senyum kebahagiaan di dunia.

Kembali kepada kita yang ditinggalkan mampukah hal ini menjadi sebuah peringatan bahwa kita semua sudah kelelahan dengan hiruk pikuk politik yang sangat buruk. Sebuah pilpres dan pemilu yang melelahkan dan membuat kita terpecah belah antara yang bersih dan yang termakan hoaks yang sangat terstruktur sistimatis dan masif.

Para pendekar-pendekar perpolitikan kitalah yang seharusnya menyadari bahwa rakyat Indonesia yang dikenal sangat kuat hidup dalam keberagaman kini sedang kelelahan dan tentu ingin mendapatkan kembali udara segar yang selama ini sudah didapatkan sejak kemerdekaan berhasil kita rebut.

Selamat jalan ibu Kristiani dan harapan ku agar bangsa ini segera terbebas dari beban politik.

Jakarta 3 Juni 2019.
Rudolf Puspa

Ads